Selasa, 19 Juli 2016

Tuan Cerita


Sudah susah payah, tapi ia tak juga berhasil mengkonstruksikan sebuah cerita. Semua itu karena ia punya standar yang tinggi. Ia harus yakin dan percaya diri bahwa kualitas setiap karya fiksinya, bukan main-main. Selain menghibur, tulisannya harus memberi pelajaran positif. Gubahannya mesti menjadi yang terbaik di antara ciptaan pengarang yang lain, menurut ukurannya sendiri. Tak peduli karena prinsip itu, sampai sekarang, ia tak memiliki banyak pembaca, apalagi penggemar. 

Nama penulis karatan itu adalah Joshua. Ia mencap dirinya sebagai penulis idealis. Ogah asal menulis kalau hanya untuk meraup penggemar, apalagi keuntungan materi. Baginya, penulis harus menjadi tuan bagi tulisannya sendiri. Tuan tulisan bukanlah pembaca. Mau dibaca orang atau tidak, ia tak ambil pusing. Baginya, tolok ukur keberhasilan tulisan bukan banyaknya pembaca, seperti pandangan penulis umumnya, melainkan ketika penulis merasa puas dengan tulisannya sendiri. Cukup itu.

Popularitas tak penting bagi Joshua selama berpuluh-puluh tahun ia jadi penyusun aksara. Kalau saja mau, dari dulu, mungkin tanda tangannya telah diburu banyak orang. Ia tahu jalannya. Tak ada yang menyangkal, kecenderungan pembaca menentukan dalam peningkatan popularitas seorang penulis. Mengetahui kencenderungan itu, tidaklah sulit. Cukup mengamati bagaimana psikologi pembaca untuk waktu-waktu tertentu. Kala nuansa melankolis tengah membius orang-orang, maka tulisan seputar percintaan menjadi barang jualan yang laku keras.

Itu dulu. Bagaimana sekarang?

“Aku sudah terlalu tua. Karyaku hanya menumpuk di gudang senyap. Jika begitu, tak mungkinlah karyaku menjadi sebuah warisan. Mana mungkin aku bisa abadi? apakah aku harus mengalah pada kehendak dunia? Bagaimana idealismeku?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.

“Sebaiknya berubah, Jos. Sudah tak ada gunanya bertahan sebagai penulis idealis. Tak perlu ada dalam norma tulisan fiksi. Ini dunia seni bung! Bebas! Jualah drama percintaan yang menyayat hati, laku-laku sadistis, ditambah bumbu-bumbu romantika berbau seksualitas, maka kau akan tenar. Sudah waktunya tenar bung!” nasihat sisi lain jiwanya.  

Ia mengangguk-angguk sendiri, seperti membenarkan petuah sisi lain jiwanya yang sudah lama dibungkam, dikubur hidup-hidup.

***

Dua tokoh sedang beradu. Mereka tengah menghadapi kenyataan hidup yang pelik. Takdir tuan telah menuliskan mereka sebagai pelakon yang berbeda watak. 

“Kau tahu, aku mencintai Rahel, Jon. Aku tak peduli kau mencintainya juga,” tutur Ray, mengadu. “Kita memang saudara kandung. Tapi demi Rahel, aku tak peduli padamu.”

“Tapi Dik, dia itu istriku. Bagaimana mungkin kau setega itu?" balas Joni, berharap adiknya iba.

“Ia, aku tahu! Tapi kami saling mencintai, bahkan jauh sebelum kau menikahinya. Dia terpaksa saja menikah denganmu, demi menutupi aib kami. Hatinya masih untukku Jon!” gertak Ray.

“Kau jangan menuduh iparmu sembarangan Dik. Itu dosa. Dia itu wanita baik-baik,” nasihat Joni, berharap kebekuan hati adiknya segera meluluh.

“Baik? Untukku, iya. Tapi untukmu, dia hanya pura-pura,” balas Ray, sambil terkekeh. “Saatnya aku jujur, kalau anak yang selama ini kau kira sebagai keturunanmu, adalah anak kami. Lihat saja rupanya kalau tak percaya. Jelas mirip aku Jon!”

“Cukup Dik. Tenangkan hatimu. Pakailah akal sehatmu. Aku tak pernah merebut Rahel darimu. Dia masih lajang waktu aku memintanya menikah denganku. Begitu katanya. Aku pun meminangnya dengan maskawin yang tak terkira, dan dia bersedia,” balas Joni dengan lemah lembut. “Cinta tak bisa dipaksakan Dik. Landasannya bukan nafsu yang hina. Cinta itu suci. Cinta itu nikah.”

“Apa gunanya menikah? Tanpa menikah, semua bisa kita lakukan. Itu ritual usang. Buktinya, Rahel telah hamil karenaku, tanpa pernikahan. Keintiman kami bahkan telah dirinci serinci-rincinya sebagaiman Tuan telah menuliskan. Tak perlu aku perinci. Terlalu romantis,” olokn Ray. “Kau tahu kenapa Rehel menikah denganmu? Itu karena aku memaksanya. Demi harta Jon!”

“Harta? Jangan mengarang lagi Dik. Cinta kami itu tulus,” pelasnya, lagi.

“Ini fakta Jon. Kau tahu, aku tak dapat warisan apa-apa dari  orang tua kita? Itu karena aku aku membunuh mereka berdua. Yakinlah, aku pembunuh! Aku gerah mendengar ceramah-ceramah kuno dari mulut mereka,” jujur Ray, terlihat bangga.

“Apa? Teganya kau.” Air mata Joni mulai menetes.

“Demi harta, kedudukan, dan Rahel, Aku harus membunuhmu, Jon! Maafkan aku. Begitulah takdir yang Tuan telah tuliskan!” kata Ray, sambil melintangkan pedang tepat di urat leher Joni. Sekali tarik, nyawa pun melayang. “Aku telah diciptakan sebagai penjahat, dan kau sebaliknya Jon. Begitulah takdir kita. Itu tak akan bisa diubah!”

“Pakai akal dan nuranimu Dik!” seru Joni. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Apalagi ia tahu, dirinya tak ada kuasa untuk mengubah keadaan.

“Tak ada gunanya akal dan nurani kalau takdir sudah ditetapkan Jon!” sanggah Ray. “Menggugatlah kepada Tuan jika kau bisa! Sentuh hati nuraninya!”

Seketika juga, Joni tersadar. Ia tahu, bahwa Tuan itu  bisa segalanya, bahkan bisa mengubah takdir. Nurani Tuan bisa tergugah dengan jalan memohon, berdoa.

Ya Tuan, mengapa kau ciptakan kami dengan takdir seperti ini? Kisah hidup kami, akan abadi Tuan. Kelak, kisah tanpa norma ini akan diwariskan ke anak cucu kami tanpa akhir. Sudikah Tuan kalau cerita pelanggaraan norma diwariskan, bahkan dicontohi anak manusia? Demi manusia, aku memohon Tuan. Ubah takdir kami. Tuliskanlah takdir yang baik bagi kisah kami. Jadikanlah sebagai kisah yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Janganlah kebajikan dikalahkan oleh kebiadaban. Sekali lagi, aku mohon Tuan.

***

Joshua menghentikan ketikannya. Di bagian paling akhir cerita, ia malah merasa dilema. Cerita yang dibuatnya sendiri, seakan menggugat batinnya. 

“Bagaimana seni tanpa norma?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.

Joshua menggugat dirinya sendiri, sudah tepatkah pilihannya untuk meruntuhkan idealismenya sebagai penulis. 

“Apa arti seni tanpa penikmat? Bukankah penikmat seni adalah Tuan bagi para seniman?” Ia bertanya kembali, mencoba menemukan celah bahwa keputusannya sejauh ini, tepat.

Akhirnya, ia mengikuti pernyataan sisi lain jiwanya yang berkoar hebat, yang selama ini dilawannya sendiri. Hasratnya memuncak!

“Joni harus terbunuh. Kekalahan kebajikan, akan membuat cerita gubahanmu menjadi semakin tragis Jos. Selera pembaca pasti tergugah. Ini kesempatan Jos! Mengaranglah sebebas-benarnya. Tulis apa saja! Jangan peduli norma!” Ia pun sepakat dengan bisikan jiwanya itu.

Dan, untuk kali pertama, terbitlah ceritanya demi para tuan cerita: pembaca. Kisahnya tentang Joni dan Ray. Sebuah kisah bertema klasik tentang percintaan yang diselubungi persoalan harta, tahta, seksualitas, keasusilaan, dan konflik keluarga. Penguraian ceritanya apik, mendetail, tanpa batas-batas kesusilaan. Unsur komplit untuk menghantam psikologi pembaca di zaman ini. 

Cerita itu, akhirnya mendapat sambutan meriah. Harapan Jos terwujud. Tapi kini, ia bukan lagi tuan cerita. 

***

Aku sejujurnya tak sepakat dengan keputusan Joshua. Ide cerita gubahannya, sudah terlalu pasaran dan menyesakkan bumi. Di semua media, baik cetak maupun elektronik, kisah yang disuguhkan, tak jauh beda dengan cerita hidup Joni dan Ray. Kadang aku pikir, imajinasi manusia harusnya lebih lihai untuk merangkai kisah di luar mainstream cerita fiksi masa kini. 

Tapi akhirnya kupikir kembali, memang sulit hidup sebagai Joshua. Hidup sudah begitu keras. Berpikir untuk mengubah dunia, hanya watak orang-orang aneh yang harus siap terasing. Katanya, demi hidup, biarkanlah dunia mengubah hidup kita. Melawan arus sama dengan bunuh diri. Untuk bisa hidup, cukup mengalah pada keadaan dan pasrah terbawa ke mana pun. Ringkasnya, jangan jadi diri sendiri!

Tapi kepasrahan itu tidak berlaku bagi siapa saja yang meyakini bahwa imajinasi itu luar biasa dan tak terbatas, bahwa tak perlu jadi murahan untuk jadi rebutan, bahwa seni tak boleh lepas dari norma, bahwa apa yang dituliskan harus memberikan motivasi positif kepada pembaca. Bagi mereka, melawan arus adalah jalan tepat untuk tampil sebagai pemenang sejati.

Dan, akhirnya, aku putuskan untuk menjadikan Joshua kambing hitam, sekaligus kelinci percobaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar