Sudah
susah payah, tapi ia tak juga berhasil mengkonstruksikan sebuah cerita. Semua
itu karena ia punya standar yang tinggi. Ia harus yakin dan percaya diri bahwa kualitas
setiap karya fiksinya, bukan main-main. Selain menghibur, tulisannya harus memberi
pelajaran positif. Gubahannya mesti menjadi yang terbaik di antara ciptaan pengarang
yang lain, menurut ukurannya sendiri. Tak peduli karena prinsip itu, sampai
sekarang, ia tak memiliki banyak pembaca, apalagi penggemar.
Nama
penulis karatan itu adalah Joshua. Ia mencap dirinya sebagai penulis idealis. Ogah
asal menulis kalau hanya untuk meraup penggemar, apalagi keuntungan materi.
Baginya, penulis harus menjadi tuan bagi tulisannya sendiri. Tuan tulisan
bukanlah pembaca. Mau dibaca orang atau tidak, ia tak ambil pusing. Baginya, tolok
ukur keberhasilan tulisan bukan banyaknya pembaca, seperti pandangan penulis
umumnya, melainkan ketika penulis merasa puas dengan tulisannya sendiri. Cukup
itu.
Popularitas
tak penting bagi Joshua selama berpuluh-puluh tahun ia jadi penyusun aksara.
Kalau saja mau, dari dulu, mungkin tanda tangannya telah diburu banyak orang. Ia
tahu jalannya. Tak ada yang menyangkal, kecenderungan pembaca menentukan dalam peningkatan popularitas seorang penulis. Mengetahui kencenderungan itu, tidaklah sulit.
Cukup mengamati bagaimana psikologi pembaca untuk waktu-waktu tertentu. Kala nuansa
melankolis tengah membius orang-orang, maka tulisan seputar percintaan menjadi
barang jualan yang laku keras.
Itu
dulu. Bagaimana sekarang?
“Aku sudah terlalu tua. Karyaku
hanya menumpuk di gudang senyap. Jika begitu, tak mungkinlah karyaku menjadi
sebuah warisan. Mana mungkin aku bisa abadi? apakah aku harus mengalah pada kehendak
dunia? Bagaimana idealismeku?” Ia bertanya pada dirinya sendiri.
“Sebaiknya berubah, Jos. Sudah tak
ada gunanya bertahan sebagai penulis idealis. Tak perlu ada dalam norma tulisan fiksi.
Ini dunia seni bung! Bebas! Jualah drama percintaan yang menyayat hati,
laku-laku sadistis, ditambah bumbu-bumbu romantika berbau seksualitas, maka kau
akan tenar. Sudah waktunya tenar bung!” nasihat sisi lain jiwanya.
Ia
mengangguk-angguk sendiri, seperti membenarkan petuah sisi lain jiwanya yang
sudah lama dibungkam, dikubur hidup-hidup.
***
Dua
tokoh sedang beradu. Mereka tengah menghadapi kenyataan hidup yang pelik. Takdir
tuan telah menuliskan mereka sebagai pelakon yang berbeda watak.
“Kau
tahu, aku mencintai Rahel, Jon. Aku tak peduli kau mencintainya juga,” tutur
Ray, mengadu. “Kita memang saudara kandung. Tapi demi Rahel, aku tak peduli
padamu.”
“Tapi
Dik, dia itu istriku. Bagaimana mungkin kau setega itu?" balas Joni, berharap
adiknya iba.
“Ia,
aku tahu! Tapi kami saling mencintai, bahkan jauh sebelum kau menikahinya. Dia
terpaksa saja menikah denganmu, demi menutupi aib kami. Hatinya masih untukku
Jon!” gertak Ray.
“Kau
jangan menuduh iparmu sembarangan Dik. Itu dosa. Dia itu wanita baik-baik,” nasihat
Joni, berharap kebekuan hati adiknya segera meluluh.
“Baik?
Untukku, iya. Tapi untukmu, dia hanya pura-pura,” balas Ray, sambil terkekeh. “Saatnya
aku jujur, kalau anak yang selama ini kau kira sebagai keturunanmu, adalah anak
kami. Lihat saja rupanya kalau tak percaya. Jelas mirip aku Jon!”
“Cukup
Dik. Tenangkan hatimu. Pakailah akal sehatmu. Aku tak pernah merebut Rahel
darimu. Dia masih lajang waktu aku memintanya menikah denganku. Begitu katanya.
Aku pun meminangnya dengan maskawin yang tak terkira, dan dia bersedia,” balas
Joni dengan lemah lembut. “Cinta tak bisa dipaksakan Dik. Landasannya bukan
nafsu yang hina. Cinta itu suci. Cinta itu nikah.”
“Apa
gunanya menikah? Tanpa menikah, semua bisa kita lakukan. Itu ritual usang.
Buktinya, Rahel telah hamil karenaku, tanpa pernikahan. Keintiman kami bahkan
telah dirinci serinci-rincinya sebagaiman Tuan telah menuliskan. Tak perlu aku
perinci. Terlalu romantis,” olokn Ray. “Kau tahu kenapa Rehel menikah
denganmu? Itu karena aku memaksanya. Demi harta Jon!”
“Harta?
Jangan mengarang lagi Dik. Cinta kami itu tulus,” pelasnya, lagi.
“Ini
fakta Jon. Kau tahu, aku tak dapat warisan apa-apa dari orang tua kita? Itu karena aku aku membunuh
mereka berdua. Yakinlah, aku pembunuh! Aku gerah mendengar ceramah-ceramah kuno
dari mulut mereka,” jujur Ray, terlihat bangga.
“Apa?
Teganya kau.” Air mata Joni mulai menetes.
“Demi
harta, kedudukan, dan Rahel, Aku harus membunuhmu, Jon! Maafkan aku. Begitulah
takdir yang Tuan telah tuliskan!” kata Ray, sambil melintangkan pedang tepat di
urat leher Joni. Sekali tarik, nyawa pun melayang. “Aku telah diciptakan
sebagai penjahat, dan kau sebaliknya Jon. Begitulah takdir kita. Itu tak akan
bisa diubah!”
“Pakai
akal dan nuranimu Dik!” seru Joni. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Apalagi ia
tahu, dirinya tak ada kuasa untuk mengubah keadaan.
“Tak
ada gunanya akal dan nurani kalau takdir sudah ditetapkan Jon!” sanggah Ray.
“Menggugatlah kepada Tuan jika kau bisa! Sentuh hati nuraninya!”
Seketika
juga, Joni tersadar. Ia tahu, bahwa Tuan itu
bisa segalanya, bahkan bisa mengubah takdir. Nurani Tuan bisa tergugah
dengan jalan memohon, berdoa.
Ya Tuan, mengapa kau ciptakan kami
dengan takdir seperti ini? Kisah hidup kami, akan abadi Tuan. Kelak, kisah
tanpa norma ini akan diwariskan ke anak cucu kami tanpa akhir. Sudikah Tuan
kalau cerita pelanggaraan norma diwariskan, bahkan dicontohi anak manusia? Demi
manusia, aku memohon Tuan. Ubah takdir kami. Tuliskanlah takdir yang baik bagi
kisah kami. Jadikanlah sebagai kisah yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan.
Janganlah kebajikan dikalahkan oleh kebiadaban. Sekali lagi, aku mohon Tuan.
***
Joshua
menghentikan ketikannya. Di bagian paling akhir cerita, ia malah merasa dilema.
Cerita yang dibuatnya sendiri, seakan menggugat batinnya.
“Bagaimana seni tanpa norma?” Ia
bertanya pada dirinya sendiri.
Joshua menggugat dirinya sendiri, sudah tepatkah pilihannya untuk meruntuhkan idealismenya sebagai penulis.
“Apa arti seni tanpa penikmat?
Bukankah penikmat seni adalah Tuan bagi para seniman?” Ia bertanya kembali,
mencoba menemukan celah bahwa keputusannya sejauh ini, tepat.
Akhirnya,
ia mengikuti pernyataan sisi lain jiwanya yang berkoar hebat, yang selama ini
dilawannya sendiri. Hasratnya memuncak!
“Joni harus terbunuh. Kekalahan
kebajikan, akan membuat cerita gubahanmu menjadi semakin tragis Jos. Selera
pembaca pasti tergugah. Ini kesempatan Jos! Mengaranglah sebebas-benarnya.
Tulis apa saja! Jangan peduli norma!” Ia pun sepakat dengan bisikan jiwanya itu.
Dan,
untuk kali pertama, terbitlah ceritanya demi para tuan cerita: pembaca. Kisahnya
tentang Joni dan Ray. Sebuah kisah bertema klasik tentang percintaan yang
diselubungi persoalan harta, tahta, seksualitas, keasusilaan, dan konflik
keluarga. Penguraian ceritanya apik, mendetail, tanpa batas-batas kesusilaan. Unsur
komplit untuk menghantam psikologi pembaca di zaman ini.
Cerita
itu, akhirnya mendapat sambutan meriah. Harapan Jos terwujud. Tapi kini, ia
bukan lagi tuan cerita.
***
Aku
sejujurnya tak sepakat dengan keputusan Joshua. Ide cerita gubahannya, sudah
terlalu pasaran dan menyesakkan bumi. Di semua media, baik cetak maupun
elektronik, kisah yang disuguhkan, tak jauh beda dengan cerita hidup Joni dan
Ray. Kadang aku pikir, imajinasi manusia harusnya lebih lihai untuk merangkai kisah
di luar mainstream cerita fiksi masa
kini.
Tapi
akhirnya kupikir kembali, memang sulit hidup sebagai Joshua. Hidup sudah begitu
keras. Berpikir untuk mengubah dunia, hanya watak orang-orang aneh yang harus
siap terasing. Katanya, demi hidup, biarkanlah dunia mengubah hidup kita.
Melawan arus sama dengan bunuh diri. Untuk bisa hidup, cukup mengalah pada
keadaan dan pasrah terbawa ke mana pun. Ringkasnya, jangan jadi diri sendiri!
Tapi
kepasrahan itu tidak berlaku bagi siapa saja yang meyakini bahwa imajinasi itu
luar biasa dan tak terbatas, bahwa tak perlu jadi murahan untuk jadi rebutan,
bahwa seni tak boleh lepas dari norma, bahwa apa yang dituliskan harus
memberikan motivasi positif kepada pembaca. Bagi mereka, melawan arus adalah
jalan tepat untuk tampil sebagai pemenang sejati.
Dan,
akhirnya, aku putuskan untuk menjadikan Joshua kambing hitam, sekaligus kelinci
percobaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar