Kawan,
di balik keangkuhanku, diam-diam, besar terima kasihku padamu. Jika aku dipaksa
menyebut seseorang yang paling berarti di antara teman-temanku, aku pasti
menyebut namamu. Kau sangat berarti bagiku. Kuharap kita jadi dua sejoli yang
tak terpisahkan, sampai kapanpun.
Kita
adalah sekawan sesama jenis yang mencintai lebih dari sekadar cinta lawan
jenis. Bukan homoseksual tentunya. Bisa dibilang, pasangan kekasih
sesungguhnya, tanpa unsur seksualitas. Sampai jadinya, kita pun sama-sama tak
tergoyahkan hiruk-pikuk pemuda di luar yang sibuk tebar pesona di hadapan
lawan jenis. Itu tak penting lagi.
Cinta
kita terwujud dalam kebersamaan yang tulus. Sama-sama saling membutuhkan. Jujur
tanpa segan-segan. Lebih suka memberi daripada menerima. Kedudukan kita dalam
relasi ini, seimbang. Tak ada tuan dan budak seperti pada hubungan muda-mudi
kekinian. Entah bagaimana mengistilahkannya. Intinya, kita adalah sahabat
sejati.
Memang
baru sekitar tiga tahun aku mengenalmu, di awal kita sebagai mahasiswa. Tapi
itu sudah lebih dari cukup untuk menobatkanmu sebagai seseorang yang berarti
dalam hidupku. Karena kamulah, aku bergelut pada sebuah organisasi olahraga
otak, catur. Di medan perang persegi empat itulah, kita menghabiskan waktu bersama
sama. Kutemukan hidupku di situ, bersamamu.
Mungkin
karena keseringan beradu denganmu, aku dipandang masuk di level pemain catur
hebat, setidaknya di tingkat kampus kita. Buktinya, kini, sudah tiga piala aku
koleksi. Dua untuk kejuaraan kampus, dan satunya untuk kompetisi umum tingkat
kota. Semua itu berkat dirimu, kawan. Kaulah partner handalku. Sepertinya memang
benar, kalau melawan orang hebat, akan mengantarkan diri kita menjadi orang
hebat juga.
Sudah
menjadi kebiasaan, setiap kali menjelang kompetisi, kita akan menghabiskan
banyak waktu beradu taktik di atas papan hitam putih. Hari-hari dalam seminggu,
tak terlewatkan tanpa pertempuran kita. Entah kau yang menantang, ataukah aku,
kita sama-sama selalu siap untuk saling meladeni. Kita selalu larut dalam
permainan yang menantang. Waktu jadi tak terasa menjemukan.
Dan,
minggu depan, akan ada kompetisi catur tingkat nasional yang diselenggarakan
organisasi kita. Pesertanya terbuka untuk umum, tanpa batasan jenis kelamin.
Jika tak ada aral melintang, maka jadwal latihan akan kita padatkan dalam
seminggu, seperti sebelum-sebelumnya.
Di
satu sore yang hangat, kita sedang melepas penat di beranda organisasi. Aku
merencanakan rutinitas kita lagi.
“Joni,
siap maraton lagi? Aku tak ada kesibukan berarti minggu ini,” ajakku padamu.
“Sepertinya,
aku tak berhasrat untuk kompetisi kali ini. Aku tak yakin tahan bertarung
dengan pemain-pemain tingkat nasional,” balasmu dengan sangat malas.
“Aduh,
ayolah, kawan! Setidaknya, kau mencoba. Ini juga kesempatan untukmu membuktikan
kalau kau lebih baik dariku di kompetisi sesungguhnya,” pancingku, mencoba
meledek agar kau berubah pikiran.
“Hah,
kau bukan tandinganku!” tangkismu.
Tiba-tiba,
seorang gadis berwajah lugu, menghampiri kita.
“Kak,
aku ingin mengembalikan formulir pendaftaran kompetisi catur. Tempatnya di mana, ya?” tanyanya, lemah lembut.
Aku
melirikmu, kau melirikku.
“Ozal,
antarkan!” tuturmu, seperti membentak.
“Kau
saja. Hitung-hitung belajar bagaimana cara berlaku perhatian kepada wanita,”
olokku. “Lelaki tampan ini, yang akan mengantarmu, Dek,” tuturku, sambil menepuk-nepuk
punggungmu.
Dengan
gaya malas, kau akhirnya mengantarkan gadis itu. Dari kejauhan, aku melihat kalian
bercakap dengan akrab. Kau tampak menutupi kegugupanmu. Pastinya kau gerogi
berdampingan dengan wanita sememesona itu. Menurutku kecantikannya di atas
rata-rata. Tapi mungkin seleramu berbeda. Aku tak tahu.
Malam
menjelang. Pesan singkat darimu masuk di ponselku. “Zal, aku jadi ikut deh. Aku
rasa kau perlu bukti bahwa aku lebih baik darimu.”
“Langkah
bunuh diri! Baiklah, kita butikan saja. Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa
berubah pikiran? Kukira kau orangnya konsisten? Sekali tidak, ya, tidak,” tanyaku
penasaran.
Kau
tak menjawab pertanyaanku. Akhirnya, aku hanya menduga-duga. Masalahnya, tempo
hari, kurasa kau belum jujur tentang alasanmu enggan turut berkompetisi. Kalau
alasannya karena wanita memesona itu, kurasa bukan. Kau tak mungkin semudah itu
takluk di bawah keanggunan ataupun kemanjaan wanita. Entahlah. Alasanmu, bukan
urusanku.
Hari-hari
mendebarkan di antara arena catur, kupikir akan kita lalui. Nyatanya tidak. Kau
beralasan punya banyak kesibukan di luar. Akhirnya, dari sisa tujuh hari menuju
kompetisi, kita hanya sempat baradu di waktu sengggang selama empat hari. Pada
tiga hari lainnya, aku tak tahu apa yang menghalangimu menghabiskan waktu beberapa
jam saja bersamaku.
Waktu
berlalu cepat, pertandingan pun dilangsungkan. Sejumlah kompetitor jatuh di
tahap penyisihan. Kudengar, kau bertahan. Di babak selanjutnya, kau masih juga
tak terkalahkan. Tapi aku yakin, kau tak akan sampai babak final. Tapi
nyatanya, aku salah. Kita akhirnya sama-sama masih bertahan. Termasuk juga wanita
memesona di tempo hari.
Setelah
pengundian dilakukan, sial! Kau berlawan denganku. Pupus sudah kesempatan kita
beradu untuk memperebutkan posisi juara I. Harus ada yang kalah di antara kita.
Kita
akhirnya bertempur sungguhan. Dari hasil latihan yang berimbang, aku tak mungkin
meremehkanmu. Kau jelas lihai menerapkan taktik jebakan. Tapi pertahananku
tentu tak mudah kau jebol. Pertarungan kita berjalan sengit.
“Ayolah,
mengalah saja! Itu lebih terhormat kawan. Daripada aku mengalahkanmu?” ledekku.
“Ya,
mengalahkanmu. Aku mengalahkanmu. Sekak mati!” tegasmu, lalu tertawa
terbahak-bahak.
Aku
terkejut, bagaimana bisa aku begitu ceroboh. Tapi sudahlah. Kemenanganmu adalah
kemenangan bagiku. Kemenanganku, pastilah kemenangan juga untukmu. Kita tak
sedang mempertaruhkan harga diri di sini. Kuduga, kita sama-sama berusaha
tampil professional. Dan untuk persahabatan kita, kuharap kau juara I.
Di
arena lain, kejutan lagi-lagi terjadi. Si wanita memesona yang kudengar bernama
Yori, juga mengalahkan lawannya. Di partai puncak, kau pun berlawan dengan
wanita berwajah manis itu.
Pertarungan
kalian berlangsung sengit. Aku menjadadak menjadi pengamat. Tapi berkomentar,
tentu tindakan terlarang. Aku pun hanya bisa menyimak kalian baik-baik.
Kau
melakukan gerakan awal yang berarti. Seranganmu sejauh ini, terlihat terencana. Hulubalang
lawanmu, bertumbangan. Sepertinya, ia mulai tersudut.
Sampai
akhirnya, perjuangnmu menjadi sia-sia. Tembok pelindung rajamu, terbuka.
Peluncur miliknya pun menikam sang rajamu. Tak kuduga, kau akan seceroboh itu.
Jelas, kau cermat dalam bermain. Apa yang terjadi denganmu kawan? Apa karena
kau gugup berhadapan dengan wanita?
“Hei
kawan, kenapa bisa?” tanyaku, sesaat setelah kau beranjak dengan sikap biasa-biasa
saja.
“Bisa
apanya? Bisa kalah? Ya, bisalah, namanya juga pertandingan,” jawabmu, santai.
“Tapi
itu bukan karena ia hebat. Itu karena kecerobohanmu, kawan!” bantahku.
“Alah,
kau sok menilai lagi,” balasmu sembari cekikan. “Yang penting, aku berhasil mengalahkanmu.
Itu sudah cukup membuatku puas.”
Aku
tak mengerti jalan pikiranmu. “Hei, ini kompetisi bergengsi, sobat!”
“Aduh,
sudahlah. Semua telah berlalu, kawan,” balasmu, terkesan menasihati. “Aku akui,
dia wanita yang hebat. Tapi seperti katamu, kita harus mengalahkan orang hebat
untuk menjadi hebat. Kita harus mengalahkan yang terhebat untuk menjadi yang
terhebat. Dan, nanti, aku pasti akan menaklukkannya,” tegasmu, lalu beranjak
pergi.
Sikapmu
semakin mengherankan dan membingungkan.
Kau
lalu membalik badanmu. Sepertinya ada yang lupa kau ucapkan. “Kawan, satu lagi,
pertempuran sesungguhnya ada di luar lapangan. Bukan di sini,” kau
menunjuk kepalamu, “Tapi di sini,” kau menunjuk ke arah hatimu.
Di
hari-hari berikutnya, sikapmu semakin berubah. Kau seperti lelaki lain yang
tampak kebingungan pada dirinya sendiri. Memilih menyendiri daripada berkawan. Mendadak
banyak rahasia. Kebersamaan kita jadinya tak semencair dahulu lagi. Kau malah semakin
sering menolak ajakanku untuk bertanding catur. Dan, akhirnya aku tahu, kau menghabiskan
banyak waktu-waktumu bersama Yori.
Kini,
pertempuran tengah berkecamuk di hatimu, kawan. Semoga kau tak membunuh akal. Berakallah dalam berhati. Hanya dengan begitu kau akan memenangkan
pertempuran itu!
Nyali dan taktik caturmu, harus semakin terasah bersama Yori. Tak mengapa dia menggantikanku sebagai partnermu. Tak usah pedulikan bagaimana aku akan melewati hari-hariku tanpa keseruan bersamamu.
Nyali dan taktik caturmu, harus semakin terasah bersama Yori. Tak mengapa dia menggantikanku sebagai partnermu. Tak usah pedulikan bagaimana aku akan melewati hari-hariku tanpa keseruan bersamamu.
Kita
memang semakin menua tanpa terasa. Akan sampai waktunya kita harus mengikuti
ajakan hati. Ini hanya masalah waktu. Jika bukan kau, maka akulah yang akan
meninggalkanmu menuju pertempuran sejati itu. Tunggulah, suatu saat, kenyataan
akan memaksaku juga untuk menyusulmu. Aku akan menyegerakannya.
Seperti
yang kuyakini sebelum mengenalmu, benar tak ada ikatan yang abadi, kecuali ikatan
terhadap diri sendiri. Maka, aku ikatkan tentang kita pada diriku. Kawan,
dalam keangkuhanku, diam-diam, kuabadikan persahabatan kita dalam kenanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar