Jumat, 15 Juli 2016

Pertempuran Hati

Kawan, di balik keangkuhanku, diam-diam, besar terima kasihku padamu. Jika aku dipaksa menyebut seseorang yang paling berarti di antara teman-temanku, aku pasti menyebut namamu. Kau sangat berarti bagiku. Kuharap kita jadi dua sejoli yang tak terpisahkan, sampai kapanpun.

Kita adalah sekawan sesama jenis yang mencintai lebih dari sekadar cinta lawan jenis. Bukan homoseksual tentunya. Bisa dibilang, pasangan kekasih sesungguhnya, tanpa unsur seksualitas. Sampai jadinya, kita pun sama-sama tak tergoyahkan hiruk-pikuk pemuda di luar yang sibuk tebar pesona di hadapan lawan jenis. Itu tak penting lagi.

Cinta kita terwujud dalam kebersamaan yang tulus. Sama-sama saling membutuhkan. Jujur tanpa segan-segan. Lebih suka memberi daripada menerima. Kedudukan kita dalam relasi ini, seimbang. Tak ada tuan dan budak seperti pada hubungan muda-mudi kekinian. Entah bagaimana mengistilahkannya. Intinya, kita adalah sahabat sejati.

Memang baru sekitar tiga tahun aku mengenalmu, di awal kita sebagai mahasiswa. Tapi itu sudah lebih dari cukup untuk menobatkanmu sebagai seseorang yang berarti dalam hidupku. Karena kamulah, aku bergelut pada sebuah organisasi olahraga otak, catur. Di medan perang persegi empat itulah, kita menghabiskan waktu bersama sama. Kutemukan hidupku di situ, bersamamu.

Mungkin karena keseringan beradu denganmu, aku dipandang masuk di level pemain catur hebat, setidaknya di tingkat kampus kita. Buktinya, kini, sudah tiga piala aku koleksi. Dua untuk kejuaraan kampus, dan satunya untuk kompetisi umum tingkat kota. Semua itu berkat dirimu, kawan. Kaulah partner handalku. Sepertinya memang benar, kalau melawan orang hebat, akan mengantarkan diri kita menjadi orang hebat juga. 

Sudah menjadi kebiasaan, setiap kali menjelang kompetisi, kita akan menghabiskan banyak waktu beradu taktik di atas papan hitam putih. Hari-hari dalam seminggu, tak terlewatkan tanpa pertempuran kita. Entah kau yang menantang, ataukah aku, kita sama-sama selalu siap untuk saling meladeni. Kita selalu larut dalam permainan yang menantang. Waktu jadi tak terasa menjemukan.

Dan, minggu depan, akan ada kompetisi catur tingkat nasional yang diselenggarakan organisasi kita. Pesertanya terbuka untuk umum, tanpa batasan jenis kelamin. Jika tak ada aral melintang, maka jadwal latihan akan kita padatkan dalam seminggu, seperti sebelum-sebelumnya.

Di satu sore yang hangat, kita sedang melepas penat di beranda organisasi. Aku merencanakan rutinitas kita lagi. 

“Joni, siap maraton lagi? Aku tak ada kesibukan berarti minggu ini,” ajakku padamu.

“Sepertinya, aku tak berhasrat untuk kompetisi kali ini. Aku tak yakin tahan bertarung dengan pemain-pemain tingkat nasional,” balasmu dengan sangat malas. 

“Aduh, ayolah, kawan! Setidaknya, kau mencoba. Ini juga kesempatan untukmu membuktikan kalau kau lebih baik dariku di kompetisi sesungguhnya,” pancingku, mencoba meledek agar kau berubah pikiran.

“Hah, kau bukan tandinganku!” tangkismu.

Tiba-tiba, seorang gadis berwajah lugu, menghampiri kita.

“Kak, aku ingin mengembalikan formulir pendaftaran kompetisi catur. Tempatnya di mana, ya?” tanyanya, lemah lembut.

Aku melirikmu, kau melirikku.

“Ozal, antarkan!” tuturmu, seperti membentak.

“Kau saja. Hitung-hitung belajar bagaimana cara berlaku perhatian kepada wanita,” olokku. “Lelaki tampan ini, yang akan mengantarmu, Dek,” tuturku, sambil menepuk-nepuk punggungmu.

Dengan gaya malas, kau akhirnya mengantarkan gadis itu. Dari kejauhan, aku melihat kalian bercakap dengan akrab. Kau tampak menutupi kegugupanmu. Pastinya kau gerogi berdampingan dengan wanita sememesona itu. Menurutku kecantikannya di atas rata-rata. Tapi mungkin seleramu berbeda. Aku tak tahu. 

Malam menjelang. Pesan singkat darimu masuk di ponselku. “Zal, aku jadi ikut deh. Aku rasa kau perlu bukti bahwa aku lebih baik darimu.”

“Langkah bunuh diri! Baiklah, kita butikan saja. Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa berubah pikiran? Kukira kau orangnya konsisten? Sekali tidak, ya, tidak,” tanyaku penasaran.

Kau tak menjawab pertanyaanku. Akhirnya, aku hanya menduga-duga. Masalahnya, tempo hari, kurasa kau belum jujur tentang alasanmu enggan turut berkompetisi. Kalau alasannya karena wanita memesona itu, kurasa bukan. Kau tak mungkin semudah itu takluk di bawah keanggunan ataupun kemanjaan wanita. Entahlah. Alasanmu, bukan urusanku.

Hari-hari mendebarkan di antara arena catur, kupikir akan kita lalui. Nyatanya tidak. Kau beralasan punya banyak kesibukan di luar. Akhirnya, dari sisa tujuh hari menuju kompetisi, kita hanya sempat baradu di waktu sengggang selama empat hari. Pada tiga hari lainnya, aku tak tahu apa yang menghalangimu menghabiskan waktu beberapa jam saja bersamaku.

Waktu berlalu cepat, pertandingan pun dilangsungkan. Sejumlah kompetitor jatuh di tahap penyisihan. Kudengar, kau bertahan. Di babak selanjutnya, kau masih juga tak terkalahkan. Tapi aku yakin, kau tak akan sampai babak final. Tapi nyatanya, aku salah. Kita akhirnya sama-sama masih bertahan. Termasuk juga wanita memesona di tempo hari.

Setelah pengundian dilakukan, sial! Kau berlawan denganku. Pupus sudah kesempatan kita beradu untuk memperebutkan posisi juara I. Harus ada yang kalah di antara kita. 

Kita akhirnya bertempur sungguhan. Dari hasil latihan yang berimbang, aku tak mungkin meremehkanmu. Kau jelas lihai menerapkan taktik jebakan. Tapi pertahananku tentu tak mudah kau jebol. Pertarungan kita berjalan sengit. 

“Ayolah, mengalah saja! Itu lebih terhormat kawan. Daripada aku mengalahkanmu?” ledekku.

“Ya, mengalahkanmu. Aku mengalahkanmu. Sekak mati!” tegasmu, lalu tertawa terbahak-bahak.

Aku terkejut, bagaimana bisa aku begitu ceroboh. Tapi sudahlah. Kemenanganmu adalah kemenangan bagiku. Kemenanganku, pastilah kemenangan juga untukmu. Kita tak sedang mempertaruhkan harga diri di sini. Kuduga, kita sama-sama berusaha tampil professional. Dan untuk persahabatan kita, kuharap kau juara I.

Di arena lain, kejutan lagi-lagi terjadi. Si wanita memesona yang kudengar bernama Yori, juga mengalahkan lawannya. Di partai puncak, kau pun berlawan dengan wanita berwajah manis itu.

Pertarungan kalian berlangsung sengit. Aku menjadadak menjadi pengamat. Tapi berkomentar, tentu tindakan terlarang. Aku pun hanya bisa menyimak kalian baik-baik. 

Kau melakukan gerakan awal yang berarti. Seranganmu sejauh ini, terlihat terencana. Hulubalang lawanmu, bertumbangan. Sepertinya, ia mulai tersudut. 

Sampai akhirnya, perjuangnmu menjadi sia-sia. Tembok pelindung rajamu, terbuka. Peluncur miliknya pun menikam sang rajamu. Tak kuduga, kau akan seceroboh itu. Jelas, kau cermat dalam bermain. Apa yang terjadi denganmu kawan? Apa karena kau gugup berhadapan dengan wanita?

“Hei kawan, kenapa bisa?” tanyaku, sesaat setelah kau beranjak dengan sikap biasa-biasa saja.  

“Bisa apanya? Bisa kalah? Ya, bisalah, namanya juga pertandingan,” jawabmu, santai.

“Tapi itu bukan karena ia hebat. Itu karena kecerobohanmu, kawan!” bantahku.

“Alah, kau sok menilai lagi,” balasmu sembari cekikan. “Yang penting, aku berhasil mengalahkanmu. Itu sudah cukup membuatku puas.” 

Aku tak mengerti jalan pikiranmu. “Hei, ini kompetisi bergengsi, sobat!”

“Aduh, sudahlah. Semua telah berlalu, kawan,” balasmu, terkesan menasihati. “Aku akui, dia wanita yang hebat. Tapi seperti katamu, kita harus mengalahkan orang hebat untuk menjadi hebat. Kita harus mengalahkan yang terhebat untuk menjadi yang terhebat. Dan, nanti, aku pasti akan menaklukkannya,” tegasmu, lalu beranjak pergi.

Sikapmu semakin mengherankan dan membingungkan.

Kau lalu membalik badanmu. Sepertinya ada yang lupa kau ucapkan. “Kawan, satu lagi, pertempuran sesungguhnya ada di luar lapangan. Bukan di sini,” kau menunjuk kepalamu, “Tapi di sini,” kau menunjuk ke arah hatimu.

Di hari-hari berikutnya, sikapmu semakin berubah. Kau seperti lelaki lain yang tampak kebingungan pada dirinya sendiri. Memilih menyendiri daripada berkawan. Mendadak banyak rahasia. Kebersamaan kita jadinya tak semencair dahulu lagi. Kau malah semakin sering menolak ajakanku untuk bertanding catur. Dan, akhirnya aku tahu, kau menghabiskan banyak waktu-waktumu bersama Yori.

Kini, pertempuran tengah berkecamuk di hatimu, kawan. Semoga kau tak membunuh akal. Berakallah dalam berhati. Hanya dengan begitu kau akan memenangkan pertempuran itu! 

Nyali dan taktik caturmu, harus semakin terasah bersama Yori. Tak mengapa dia menggantikanku sebagai partnermu. Tak usah pedulikan bagaimana aku akan melewati hari-hariku tanpa keseruan bersamamu.

Kita memang semakin menua tanpa terasa. Akan sampai waktunya kita harus mengikuti ajakan hati. Ini hanya masalah waktu. Jika bukan kau, maka akulah yang akan meninggalkanmu menuju pertempuran sejati itu. Tunggulah, suatu saat, kenyataan akan memaksaku juga untuk menyusulmu. Aku akan menyegerakannya.

Seperti yang kuyakini sebelum mengenalmu, benar tak ada ikatan yang abadi, kecuali ikatan terhadap diri sendiri. Maka, aku ikatkan tentang kita pada diriku. Kawan, dalam keangkuhanku, diam-diam, kuabadikan persahabatan kita dalam kenanganku.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar