Salah
satu topik pemberitaan yang menjadi polemik belakangan ini adalah keputusan
Presiden Jokowi melakukan reshuffle
kabinet jilid II. Sejumlah menteri pun diganti, tapi ada juga yang hanya bergeser
posisi. Terhitung, ada 12 menteri yang di-reshuffle.
Dalam
pidatonya, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa reshuffle kali ini, ditujukan untuk memperkuat ekonomi nasional
dalam menghadapi tantangan global, termasuk dengan memperluas lapangan kerja.
Selain itu, juga untuk membuat kabinet bekerja lebih cepat, efektif, dan solid.
Keputusan
reshuffle itu pun menjadi bahan analisis
sejumlah pengamat, terutama pengamat politik. Sebagian besar di antaranya
menyimpulkan kalau reshuffle kali
ini, dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Yang paling santer terdengar
adalah untuk “mengikat” partai Golkar dan PAN yang baru bergabung dengan
pemerintah. Semuanya demi meningkatkan kekuatan partai pendukung pemerintah di legislatif.
Reshuffle
kabinet sejak dari dulu, memang dinilai sebagai lahan kekuasaan presiden yang
tak bisa direcoki siapa pun. Hak prerogatif istilahnya. Imbasnya, pengamat dan
masyarakat biasa yang merasa keputusan reshuffle
tidak tepat, bahkan dinilai menghianati kepentingan rakyat, hanya bisa
menggerutu dalam hati dan gigit jari.
Demi
melindungi kepentingan rakyat, kiranya reshuffle
kabinet perlu dikaji dari perspektif hukum, bukan sekadar perspektif politik
yang sifatnya prediksi dan konklusinya tidak mengikat. Tujuannya untuk
mengelaborasi “rambu-rambu” hukum reshuffle
kabinet, agar tak dilakukan secara serampangan.
Uji Konstitusionalitas
Secara
tersurat, dasar konstitusional terkait reshuffle
kabinet, tercantum di dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD NRI Tahun
1945. Bunyi ayat-ayat itu berturut-turut: (1) Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara; (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
presiden; (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; (4)
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.
Jika
diktum konstitusi itu dicermati, maka terkait dengan kewenangan konstitusional
presiden dalam pengisian jabatan menteri, hanya gamblang disebutkan pada ayat
(2), bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Tapi itu masih
perlu dikaji, apakah kewenangan tersebut juga mencakup proses, dalam hal ini
memilih sosok menteri, ataukah sekadar mengesahkan pemberhentian/pengangkatan
seorang menteri.
Bahasa
konstitusi yang umum, memang tidak merinci bagaimana proses pengisian jabatan
menteri. Karenanya, berdasarkan konstitusi, belum bisa dikatakan bahwa presiden
mengusai wilayah jabatan kementerian secara penuh. Kalau dikatakan menteri
harus disahkan oleh presiden, jawabannya: iya.
Di
sisi lain, memang tidak berdasar juga kalau pengisian jabatan menteri dipersyaratkan
harus dengan pertimbangan atau persetujuan lembaga lain, semisal harus dengan
pertimbangan DPR sebagaimana pengangkatan duta besar. Bisa dikatakan bahwa
pengisian jabatan menteri memang merupakan wilayah eksekutif. Namun, itu tidak
berarti presiden dapat bertindak semaunya.
Tidak
salah kemudian, jika para perumus UUD mengamanahkan pengaturan lebih lanjut
tentang kementerian negara sebagaimana disebutkan pada ayat (4). Wujudnya kini adalah
UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Di situ, diatur secara rinci
terkait kelembagaan kementerian, termasuk juga tentang pengisian jabatan
menteri.
Dasar
pengangkatan menteri diatur secara jelas pada Pasal 22-23 UU tersebut. Syarat
pengangkatan menteri di antaranya: memiliki kepribadian dan integritas yang
baik, serta tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Selain itu, juga tidak merangkap
jabatan, baik sebagai pejabat negara, komisaris/direksi di sebuah perusahaan
swasta, ataupun sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan APBD.
Selanjutnya,
pada Pasal 24 ayat (2) UU tersebut, dinyatakan bahwa menteri diberhentikan
karena alasan mengundurkan diri, tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga
bulan berturut-turut, dipidana karena perbuatan dengan ancaman pidana lima
tahun atau lebih, serta melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan.
Memang,
pada Pasal 24 ayat (2) huruf e, dinyatakan bahwa presiden dapat menetapkan
alasan pemberhentian yang lain. Tapi sama sekali, kewengan tersebut tak boleh
mengingkari secara penuh alasan pemberhentian lainnya, yang disebutkan secara
tegas. Apalagi kalau alasan presiden itu, tidak ditetapkan menurut formalitas
aturan hukum, tetapi hanya berdasar ketetapan batin presiden: suka atau tidak
suka, lalu diumumkan secara verbal.
Negara Bukan Perusahaan Keluarga
Berkaca
pada konstitusi dan aturan hukum, tak bisa dibantah bahwa pengisian jabatan
menteri, memang menjadi kewenangan presiden. Tapi bukan berarti presiden bisa melakukan
reshuffle kabinet semaunya. Itu
karena konstitusi dan aturan hukum, telah menggariskan syarat-syarat tertentu
dalam pengisian jabatan menteri.
Mengingat
menteri adalah jabatan pemerintahan yang memiliki dasar konstitusional serta menggunakan
fasilitas kenegaraan, maka selayaknya, pengisian jabatan itu harus dilakukan
menurut aturan hukum bernegara. Makanya, keputusan pengangkatan dan
pemberhentian menteri, harus disertai dengan alasan-alasan yang rasional sesuai
aturan hukum, dan demi kepentingan masyarakat.
Kalau
pun reshuffle dinilai urgen untuk
dilakukan, maka berbarengan dengan itu, presiden harus mengemukakan
alasan-alasannya kepada rakyat. Tolak ukurnya adalah bagaimana tantangan yang bangsa
yang tengah dihadapi, serta bagaimana kinerja seorang menteri. Tak kalah pentingnya,
aspirasi masyarakat juga harus dipertimbangkan. Reshuffle harus semata-mata untuk meningkatkan kinerja
pemerintahan, bukan untuk kepentingan politik semata.
Yang
terendus pada reshuffle kabinet jilid
II kali ini, dan mungkin pada reshuffle sebelum-sebelumnya, bahwa kepentingan
politik, selalu saja menjadi dasar utamanya. Tak mengherankan, timbul banyak kekecewaan
dari masyarakat. Bahkan diduga kuat, reshuffle
dijadikan momen bagi-bagi “kue”. Termasuk juga, menuruti pesanan jabatan “dewa-dewi
bayangan” yang selalu menghantui kemerdekaan presiden.
Sudah
waktunya mengembalikan pengisian jabatan menteri untuk kepentingan rakyat. Janganlah
menteri sebagai jabatan pemerintahan negara, digadaikan demi kepentingan
politik. Janganlah, kerja kementerian menjadi amburadul karena reshuffle berulang-ulang, akibat mengikuti
“cuaca politik” yang tak menentu. Terlebih, kedudukan menteri terkait dengan pelaksanaan
program pemerintah yang akan berdampak langsung kepada masyarakat, sehingga
membutuhkan iklim kerja yang kondusif secara berkesinambungan.
Berdiri
di atas diktum negara hukum sebagaimana digariskan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945, maka selayaknya, perangkat negara dikelola berdasarkan aturan
hukum. Bahkan Presiden sebagai pejabat negara pun, harus patuh pada aturan
hukum, apalagi selevel konsitusi dan UU. Ini negara, bukan perusahaan keluarga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar