Minggu, 31 Juli 2016

Reshuffle Kabinet Semau Presiden?

Salah satu topik pemberitaan yang menjadi polemik belakangan ini adalah keputusan Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet jilid II. Sejumlah menteri pun diganti, tapi ada juga yang hanya bergeser posisi. Terhitung, ada 12 menteri yang di-reshuffle
 
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa reshuffle kali ini, ditujukan untuk memperkuat ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan global, termasuk dengan memperluas lapangan kerja. Selain itu, juga untuk membuat kabinet bekerja lebih cepat, efektif, dan solid.

Keputusan reshuffle itu pun menjadi bahan analisis sejumlah pengamat, terutama pengamat politik. Sebagian besar di antaranya menyimpulkan kalau reshuffle kali ini, dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Yang paling santer terdengar adalah untuk “mengikat” partai Golkar dan PAN yang baru bergabung dengan pemerintah. Semuanya demi meningkatkan kekuatan partai pendukung pemerintah di legislatif.

Reshuffle kabinet sejak dari dulu, memang dinilai sebagai lahan kekuasaan presiden yang tak bisa direcoki siapa pun. Hak prerogatif istilahnya. Imbasnya, pengamat dan masyarakat biasa yang merasa keputusan reshuffle tidak tepat, bahkan dinilai menghianati kepentingan rakyat, hanya bisa menggerutu dalam hati dan gigit jari.

Demi melindungi kepentingan rakyat, kiranya reshuffle kabinet perlu dikaji dari perspektif hukum, bukan sekadar perspektif politik yang sifatnya prediksi dan konklusinya tidak mengikat. Tujuannya untuk mengelaborasi “rambu-rambu” hukum reshuffle kabinet, agar tak dilakukan secara serampangan. 

Uji Konstitusionalitas

Secara tersurat, dasar konstitusional terkait reshuffle kabinet, tercantum di dalam Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD NRI Tahun 1945. Bunyi ayat-ayat itu berturut-turut: (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden; (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Jika diktum konstitusi itu dicermati, maka terkait dengan kewenangan konstitusional presiden dalam pengisian jabatan menteri, hanya gamblang disebutkan pada ayat (2), bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Tapi itu masih perlu dikaji, apakah kewenangan tersebut juga mencakup proses, dalam hal ini memilih sosok menteri, ataukah sekadar mengesahkan pemberhentian/pengangkatan seorang menteri.

Bahasa konstitusi yang umum, memang tidak merinci bagaimana proses pengisian jabatan menteri. Karenanya, berdasarkan konstitusi, belum bisa dikatakan bahwa presiden mengusai wilayah jabatan kementerian secara penuh. Kalau dikatakan menteri harus disahkan oleh presiden, jawabannya: iya. 

Di sisi lain, memang tidak berdasar juga kalau pengisian jabatan menteri dipersyaratkan harus dengan pertimbangan atau persetujuan lembaga lain, semisal harus dengan pertimbangan DPR sebagaimana pengangkatan duta besar. Bisa dikatakan bahwa pengisian jabatan menteri memang merupakan wilayah eksekutif. Namun, itu tidak berarti presiden dapat bertindak semaunya.

Tidak salah kemudian, jika para perumus UUD mengamanahkan pengaturan lebih lanjut tentang kementerian negara sebagaimana disebutkan pada ayat (4). Wujudnya kini adalah UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Di situ, diatur secara rinci terkait kelembagaan kementerian, termasuk juga tentang pengisian jabatan menteri.

Dasar pengangkatan menteri diatur secara jelas pada Pasal 22-23 UU tersebut. Syarat pengangkatan menteri di antaranya: memiliki kepribadian dan integritas yang baik, serta tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Selain itu, juga tidak merangkap jabatan, baik sebagai pejabat negara, komisaris/direksi di sebuah perusahaan swasta, ataupun sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan APBD.

Selanjutnya, pada Pasal 24 ayat (2) UU tersebut, dinyatakan bahwa menteri diberhentikan karena alasan mengundurkan diri, tidak dapat melaksanakan tugas selama tiga bulan berturut-turut, dipidana karena perbuatan dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih, serta melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan. 

Memang, pada Pasal 24 ayat (2) huruf e, dinyatakan bahwa presiden dapat menetapkan alasan pemberhentian yang lain. Tapi sama sekali, kewengan tersebut tak boleh mengingkari secara penuh alasan pemberhentian lainnya, yang disebutkan secara tegas. Apalagi kalau alasan presiden itu, tidak ditetapkan menurut formalitas aturan hukum, tetapi hanya berdasar ketetapan batin presiden: suka atau tidak suka, lalu diumumkan secara verbal.

Negara Bukan Perusahaan Keluarga

Berkaca pada konstitusi dan aturan hukum, tak bisa dibantah bahwa pengisian jabatan menteri, memang menjadi kewenangan presiden. Tapi bukan berarti presiden bisa melakukan reshuffle kabinet semaunya. Itu karena konstitusi dan aturan hukum, telah menggariskan syarat-syarat tertentu dalam pengisian jabatan menteri. 

Mengingat menteri adalah jabatan pemerintahan yang memiliki dasar konstitusional serta menggunakan fasilitas kenegaraan, maka selayaknya, pengisian jabatan itu harus dilakukan menurut aturan hukum bernegara. Makanya, keputusan pengangkatan dan pemberhentian menteri, harus disertai dengan alasan-alasan yang rasional sesuai aturan hukum, dan demi kepentingan masyarakat. 

Kalau pun reshuffle dinilai urgen untuk dilakukan, maka berbarengan dengan itu, presiden harus mengemukakan alasan-alasannya kepada rakyat. Tolak ukurnya adalah bagaimana tantangan yang bangsa yang tengah dihadapi, serta bagaimana kinerja seorang menteri. Tak kalah pentingnya, aspirasi masyarakat juga harus dipertimbangkan. Reshuffle harus semata-mata untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, bukan untuk kepentingan politik semata.  

Yang terendus pada reshuffle kabinet jilid II kali ini, dan mungkin pada reshuffle sebelum-sebelumnya, bahwa kepentingan politik, selalu saja menjadi dasar utamanya. Tak mengherankan, timbul banyak kekecewaan dari masyarakat. Bahkan diduga kuat, reshuffle dijadikan momen bagi-bagi “kue”. Termasuk juga, menuruti pesanan jabatan “dewa-dewi bayangan” yang selalu menghantui kemerdekaan presiden. 

Sudah waktunya mengembalikan pengisian jabatan menteri untuk kepentingan rakyat. Janganlah menteri sebagai jabatan pemerintahan negara, digadaikan demi kepentingan politik. Janganlah, kerja kementerian menjadi amburadul karena reshuffle berulang-ulang, akibat mengikuti “cuaca politik” yang tak menentu. Terlebih, kedudukan menteri terkait dengan pelaksanaan program pemerintah yang akan berdampak langsung kepada masyarakat, sehingga membutuhkan iklim kerja yang kondusif secara berkesinambungan.

Berdiri di atas diktum negara hukum sebagaimana digariskan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, maka selayaknya, perangkat negara dikelola berdasarkan aturan hukum. Bahkan Presiden sebagai pejabat negara pun, harus patuh pada aturan hukum, apalagi selevel konsitusi dan UU. Ini negara, bukan perusahaan keluarga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar