Minggu, 24 Juli 2016

Pengukir Rasa

Sekeras apa pun kau memaksaku menyukaimu, aku tetap tak bisa. Perasaan tak mungkin dibohongi. Itu bukan karena parasmu yang tak menawan. Jelas, lelaki biasa akan merasa bola matamu menggetarkan, lengkungan hidungmu mengagumkan, garis-garis bibirmu menawan, dan semuanya. Kau layak dikategorikan cantik. Tapi bagiku, mungkin berbeda. Kau bukan tipeku. Aku punya kriteria sendiri tentang wanita yang kukagumi dan akan kucintai, bukan kau.
 
Entah berapa kali sudah kau memberiku tanda bila kau punya perasaan padaku, tapi sebanyak itu pula aku mengabaikannya. Kau selalu mengandalkanku, senang mengobrol denganku, bahkan sering kali memujiku. Itu sangat terbaca. Tapi jika aku tak menanggapinya, bukan berarti aku tak peka. Aku cuma menahan diri. Tak ingin memberimu kesan kalau aku menolak atau mengiyakan tawaran perasaanmu. Setidaknya, aku tak membuatmu terluka atau berharap.

Sejujurnya, aku memiliki wanita idaman. Dialah satu-satunya yang membuatku terkesan dan terkagum-kagum. Mungkin selamanya. Itulah alasan terbesarku terus mengabaikan godaan wanita, juga melawan kerapuhanku sebagai laki-laki, termasuk terhadapmu. Kuyakin, dia akan menjadi milikmu, maka sepantasnyalah aku mengabaikanmu.

Kuingat lagi empat tahun lalu, kala kami masih duduk di bangku SMA. Aku dan wanita idamanku itu, sama-sama mengikuti kegiatan perkemahan dan pelatihan penulisan untuk siswa-siswi. Di waktu itulah, kali pertama aku tertegun menatap wajahnya. Cantik sekali. Seketika juga, perasaanku direnggutnya. Aku tak bisa berpaling, sampai kapan pun. Jika tak ada penegasan kalau aku diharamkan memilikinya, aku akan tetap berharap. 

Momen yang paling berkesan adalah, saat kami tengah berdiskusi tentang beragam perspektif penulisan tentang cinta.

Cinta menurutku, tidak lain dari kerelaan kita untuk saling menerima kekurangan, saling menyayangi dan mencintai tanpa pamrih, sebab tak ada manusia yang sempurna. 

Begitulah definisiku tentang cinta ketika instruktur meminta pendapatku. Entah bagaimana bisa aku secepat itu membuat definisi cinta.  Yang pasti, aku mengkonstruksikannya sambil berharap dia yang duduk di sampingku, merasa terkesima atas pikiranku. Dan, kukira, harapanku itu tercapai. Dia tampak menolehi dan memandangiku dengan tatapan yang aneh. Seakan mengatakan: Aku suka cara berpikirmu, karena itu, aku juga menyukaimu.

Ketika instruktur memerintahkan kami untuk menulis esai tentang cinta, beruntung lagi, ternyata dia lupa membawa pulpen. Untunglah, waktu itu aku membawa pulpen cadangan. Kuserahkanlah padanya. Dan, senyum di bibirnya menjadi tanda terima kasih yang kurasa terlalu berharga. Jelas, waktu itu aku jadi malaikat penolong untuknya.

Seusai kegiatan perkemahan penuh kenangan itu, semua kembali pada kehidupan masing-masing. Kami tak berkenalan apa-apa. Tapi perasaanku padanya, tetap. Hatiku telah tercuri olehnya, bersama pena yang lupa ia kembalikan. Sampai sekarang, saat aku menempuh semester II di perguruan tinggi, harapan itu masih sama. Sebuah keputusan hidup yang membabi-buta tentunya: memaksakan takdir. Apalagi, sama sekali aku tak pernah melihatnya lagi. Tapi, suatu saat, aku akan mencarinya jika aku telah siap mencintainya. 

Sebagai rintisan jalanku, sampai sekarang, aku masih suka menulis tentang kerinduanku padanya. Terus terang, jika aku menulis tentang persoalan cinta di setiap gubahanku, dia adalah satu-satunya inspirasi dan motivasiku. Aku ingin terus menulis untuk mengabadikan tentang kami. Jika takdir mengiyakan, kala suatu saat aku punya nama, aku akan katakan, semua itu karena dirinya. Dengan jalan itulah, aku menemukannya. 

Aku yakin, ia pun tak akan tersesat ke hati yang lain. Kami pernah sama-sama berjanji, akan bertemu di alam yang sama: dunia penulisan. Karena itu, aku sudah beberapa kali menulis tentang dia, termasuk tentang keteguhanku menolak tawaran hati wanita, termasuk dirimu, untuk parasaanku padanya. 

Dan, nyatanya, kini aku begelut di dunia penulisan denganmu. Ya, kita sekarang sedunia. Tentang kebersamaanku di dunia aksara dengan dirinya yang kukagumi, kami, masih menjadi harapan terbesarku. 

Datanglah hari ketika kau menghampiriku di sebuah bangku pelataran kampus. Ini untuk kesekian kalinya kau mendatangiku tanpa ada keperluan apa-apa. Biasanya kau akan mengajakku berbasa-basi, dan meluap-luapkan perasaanmu padaku. Ataukah menyanyaiku tentang cerita fiksi gubahanmu, yang jelas menjadikan aku sebagai tokoh utama. Kau memang gemar mengekor kepadaku sejak kita saling mengenal. Tapi nyatanya, dugaanku salah. Tujuan kedatanganmu kali ini berbeda. Kau menghampiriku dengan sikapmu yang tak ceria seperti biasanya, lalu bicara sepolos hatimu.

“Hai, aku minta kau jelaskan padaku, bagaimana pendapatmu tentang cinta?” tanyamu dengan mimik sangat serius. Matamu menatapku dalam-dalam. 

“Maksudmu?” tanyaku balik. Aku jelas heran dengan sikap lancangmu kali ini. Terlalu berani bagi seorang wanita. Aneh.

“Aku ingin kau mengulanginya! Kau pernah mengucapkannya!” tegasmu.

Aku semakin bingung. “Kapan aku mengucapkan tentang cinta padamu?”

“Kau tak ingat? Dulu, aku disampingmu ketika kau mengatakan ‘Cinta menurutku tidak lain dari kerelaan kita untuk saling menerima kekurangan, saling menyayangi dan mencintai tanpa pamrih, sebab tak ada manusia yang sempurna’. Kau ingat itu?!” tuturmu, dengan intonasi yang semakin meninggi.

“Aku tak paham maksudmu,” jawabku, dengan sikap yang biasa saja. 

Jelas, aku tahu kalau arti cinta yang kau sebutkan barusan adalah definisiku sendiri. Tapi aku tak bisa menebak dari mana kau tahu. Apakah kau gadis idamanku? Aku tak yakin. Jelas kau berbeda dengannya. Kau memang cantik, tapi tak mungkin melebihinya. Jika kalian disandingkan, maka pastilah kau akan terlihat jelek, dan dia malah tampak semakin rupawan.

Aku jelas tak mengerti kau saat ini.

Akhirnya, kau jadi tak berhasrat lagi menyanyaiku yang masih saja kebingungan. Kau pun memalingkan wajahmu, membalikkan badanmu, lalu melangkah pergi. Aku lihat, di balik itu, kau meneteskan air mata.

Apa salahku?

Tidak berselang lama, aku melihat sebuah pulpen tergeletak di atas meja. Model pulpen favoritku. Jenis pupen yang dahulu kupinjamkan padanya, si wanita idamanku, sembari berucap: menulislah! Tentang kita juga tak mengapa. Ya, kedua pulpen itu persis. Gulungan kertas yang membungkus silinder tintanya, menunjukkan namaku, dengan model tulisan tangan yang persis tulisanku sendiri.

Apakah kau adalah…? Tapi kenapa penampilanmu telah berubah? Kenapa kau tak cantik lagi?

Kubayangkan lagi sejenak raut wajahnya. Kupikirkan dalam-dalam. Sampai akhirnya aku mulai memberitahu diriku sendiri, bahwa dalam waktu yang berubah dan mengubah apa pun, wajahnya tersamar di balik wajahmu yang tak lebih rupawan. 

Aku telah dibutakan obsesiku tentang kecantikan. Maafkan aku. Jika suatu saat rasa perih yang kuukir di hatimu telah sembuh, kumohon, berilah aku kesempatan untuk menegakkan prinsipku tentang cinta, seperti definisiku tentang cinta, untukmu. Aku akan belajar mencintaimu. Tapi jika pun tidak, tak mengapa bagiku, asalkan kau baik-baik saja. Dan, kuharap, satu waktu, kau membaca gubahan ceritaku ini, yang tak menyebut satu nama pun di dalamnya. Aku ingin kau tahu, tak ada tokoh lain dalam ceritaku selain dirimu, begitu pun dalam hatiku. Kalau benar kau telah tahu, maka janganlah cemburu, sebab dia adalah kau. Ya, kau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar