Penghargaan
atas dedikasi dan prestasinya seseorang, sering kali diganjar dengan gelar
tertentu. Gelar menyimbolkan pribadi seseorang. Setiap orang akan selalu
dinilai berperilaku sejalan dengan gelar yang disandangnya. Melalui gelar juga,
derajat seseorang dapat dibaca. Sampai akhirnya, seseorang dihargai karena
gelar, bukan karena perilaku atas gelar. Dengan begitu, kesesuaian antara gelar
dengan kualitas pribadinya, menjadi sangat penting. Itu karena gelar berdampak
terhadap relasi soasial.
Karena
“harga” sebuah gelar, dunia pun penuh dengan hiruk-pikuk pencari gelar. Gelar
diperebutkan untuk dijadikan modal menikmati perlakuan khusus. Apalagi sudah
menjadi kebiasaan umum, bahwa setiap orang cenderung hormat sehormat-hormatnya
pada penyandang gelar. Kualitas dinilai tak perlu dipersoalkan, yang penting
bergelar. Tak heran, gelar menjadi buruan orang-orang, baik di bidang
pendidikan, sosial, budaya, bahkan agama.
Demi
mendapatkan gelar, tak jarang, cara-cara tak sepantasnya pun ditempuh. Proses
dikesampingkan, sebab gelar hanya perlambangan di akhir usaha. Proses dilalui
sekadar memenuhi persyaratan formal-prosedural, tanpa peduli tujuannya (baca:
substansi). Tak heran jika banyak bermunculan orang lulusan lembaga pendidikan yang
tidaklah terdidik, orang dengan panggilan kehormatan yang tidak terhormat,
ataukah orang penyandang gelar keagamaan tapi sama sekali tak memahami apalagi
mengamalkan nilai agama.
Gelar
bodong, jelas menimbulkan dampak menyimpang. Orang diharapkan berkontribusi
positif sesuai gelar yang ia miliki, tapi nyatanya tidak, bahkan sebaliknya.
Tidak jarang, orang bergelar, malah melecehkan hakikat substansial dari gelar
yang disandangnya. Kalau begini, gelar nantinya, akan menjadi susunan huruf
semata. Penyandang gelar kehilangan wibawa dan tak lagi dihormati. Kekecewaan,
kemarahan, sampai sikap tak menghargai embel-embel gelar pun, lama-lama akan
menuncak. Gelar jadi hampa.
Menyadari
penyimpangan yang semakin menjadi-jadi, penyucian gelar, penting untuk
dilakukan. Gelar yang tercemar oleh tindak-tanduk oknum yang tidak bertanggung
jawab, harus diminimalisir. Itu penting sebab bagaimana pun juga, gelar adalah
tolok ukur untuk menilai kepribadian seseorang. Gelar jadi predikat bagi
seseorang yang memiliki perilaku mulia. Jadinya, gelar menjadi kebutuhan untuk
mematenkan sosok teladan, agar dapat dicontoh siapa pun.
Mekanisme dalam penyematan gelar, juga penting untuk terus diperbaiki dan ditegakkan. Sistem
harus mampu menjamin bahwa kualitas seseorang, sejalan dengan gelar yang disandangnya.
Masyarakat dan otoritas pemberi gelar pun, harus selektif dan penuh
kehati-hatian dalam memberikan gelar kepada siapa pun. Kalau begitu, maka celah
untuk terciptanya gelar-gelar rekayasa atau gelar hampa, akan semakin mengecil.
Di
sisi lain, penting juga bagi setiap orang yang telah menyandang gelar, untuk
terus mempertahankan, atau malah meningkatkan kualitas dirinya sesuai gelar yang
disematkan padanya. Setiap orang harus menimbang-nimbang, lalu berupaya
memantaskan diri atas serangkaian gelarnya. Memantaskan diri, juga berarti menolak gelar
atau tidak menerima gelar untuk sementara waktu, selama belum siap untuk amanah
atas gelar.
Gelar
bukanlah hak seseorang, melainkan menjadi wewenang masyarakat atau otoritas
tertentu untuk memberikannya kepada siapa pun. Calon penyandang gelar, hanya mampu
sebatas memantaskan diri, yaitu dengan melalui proses secara sungguh-sungguh.
Proses itu tidaklah sebatas formal-prosedural belaka, sebab tahap evaluasi akan
senantiasa dilakukan. Dari tahap evaluasi itulah, gelar dapat disematkan,
ditunda dengan syarat tertentu, atau bahkan dicabut. Jika proses dan evaluasi ini
berjalan dengan baik, maka munculnya gelar hampa, kecil kemungkinan terjadi.
Tapi
di luar semua itu, gelar tetaplah menjadi tanggung jawab pribadi. Proses dan
evaluasi yang dilakukan oleh menusia, tentu rentan terhadap tindak kesalahan.
Oleh karena itu, sikap malu sangat menentukan dalam pemberantasan gelar hampa.
Rasa malu yang tinggi akan mengikis kebiasaan menuntut gelar yang tidak
sepantasnya melalui cara-cara yang tidak dibenarkan. Kalau sistem penyematan
gelar cacat, dan setiap orang tak lagi malu “membeli atau mencuri gelar, maka gelar
hanya akan jadi predikat kosong, tak mengesankan wibawa, dan sumber kehampaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar