Selasa, 19 Juli 2016

Gelar Hampa

Penghargaan atas dedikasi dan prestasinya seseorang, sering kali diganjar dengan gelar tertentu. Gelar menyimbolkan pribadi seseorang. Setiap orang akan selalu dinilai berperilaku sejalan dengan gelar yang disandangnya. Melalui gelar juga, derajat seseorang dapat dibaca. Sampai akhirnya, seseorang dihargai karena gelar, bukan karena perilaku atas gelar. Dengan begitu, kesesuaian antara gelar dengan kualitas pribadinya, menjadi sangat penting. Itu karena gelar berdampak terhadap relasi soasial.
 
Karena “harga” sebuah gelar, dunia pun penuh dengan hiruk-pikuk pencari gelar. Gelar diperebutkan untuk dijadikan modal menikmati perlakuan khusus. Apalagi sudah menjadi kebiasaan umum, bahwa setiap orang cenderung hormat sehormat-hormatnya pada penyandang gelar. Kualitas dinilai tak perlu dipersoalkan, yang penting bergelar. Tak heran, gelar menjadi buruan orang-orang, baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, bahkan agama.

Demi mendapatkan gelar, tak jarang, cara-cara tak sepantasnya pun ditempuh. Proses dikesampingkan, sebab gelar hanya perlambangan di akhir usaha. Proses dilalui sekadar memenuhi persyaratan formal-prosedural, tanpa peduli tujuannya (baca: substansi). Tak heran jika banyak bermunculan orang lulusan lembaga pendidikan yang tidaklah terdidik, orang dengan panggilan kehormatan yang tidak terhormat, ataukah orang penyandang gelar keagamaan tapi sama sekali tak memahami apalagi mengamalkan nilai agama.

Gelar bodong, jelas menimbulkan dampak menyimpang. Orang diharapkan berkontribusi positif sesuai gelar yang ia miliki, tapi nyatanya tidak, bahkan sebaliknya. Tidak jarang, orang bergelar, malah melecehkan hakikat substansial dari gelar yang disandangnya. Kalau begini, gelar nantinya, akan menjadi susunan huruf semata. Penyandang gelar kehilangan wibawa dan tak lagi dihormati. Kekecewaan, kemarahan, sampai sikap tak menghargai embel-embel gelar pun, lama-lama akan menuncak. Gelar jadi hampa.

Menyadari penyimpangan yang semakin menjadi-jadi, penyucian gelar, penting untuk dilakukan. Gelar yang tercemar oleh tindak-tanduk oknum yang tidak bertanggung jawab, harus diminimalisir. Itu penting sebab bagaimana pun juga, gelar adalah tolok ukur untuk menilai kepribadian seseorang. Gelar jadi predikat bagi seseorang yang memiliki perilaku mulia. Jadinya, gelar menjadi kebutuhan untuk mematenkan sosok teladan, agar dapat dicontoh siapa pun. 

Mekanisme dalam penyematan gelar, juga penting untuk terus diperbaiki dan ditegakkan. Sistem harus mampu menjamin bahwa kualitas seseorang, sejalan dengan gelar yang disandangnya. Masyarakat dan otoritas pemberi gelar pun, harus selektif dan penuh kehati-hatian dalam memberikan gelar kepada siapa pun. Kalau begitu, maka celah untuk terciptanya gelar-gelar rekayasa atau gelar hampa, akan semakin mengecil.

Di sisi lain, penting juga bagi setiap orang yang telah menyandang gelar, untuk terus mempertahankan, atau malah meningkatkan kualitas dirinya sesuai gelar yang disematkan padanya. Setiap orang harus menimbang-nimbang, lalu berupaya memantaskan diri atas serangkaian gelarnya.  Memantaskan diri, juga berarti menolak gelar atau tidak menerima gelar untuk sementara waktu, selama belum siap untuk amanah atas gelar.

Gelar bukanlah hak seseorang, melainkan menjadi wewenang masyarakat atau otoritas tertentu untuk memberikannya kepada siapa pun. Calon penyandang gelar, hanya mampu sebatas memantaskan diri, yaitu dengan melalui proses secara sungguh-sungguh. Proses itu tidaklah sebatas formal-prosedural belaka, sebab tahap evaluasi akan senantiasa dilakukan. Dari tahap evaluasi itulah, gelar dapat disematkan, ditunda dengan syarat tertentu, atau bahkan dicabut. Jika proses dan evaluasi ini berjalan dengan baik, maka munculnya gelar hampa, kecil kemungkinan terjadi.

Tapi di luar semua itu, gelar tetaplah menjadi tanggung jawab pribadi. Proses dan evaluasi yang dilakukan oleh menusia, tentu rentan terhadap tindak kesalahan. Oleh karena itu, sikap malu sangat menentukan dalam pemberantasan gelar hampa. Rasa malu yang tinggi akan mengikis kebiasaan menuntut gelar yang tidak sepantasnya melalui cara-cara yang tidak dibenarkan. Kalau sistem penyematan gelar cacat, dan setiap orang tak lagi malu “membeli atau mencuri gelar, maka gelar hanya akan jadi predikat kosong, tak mengesankan wibawa, dan sumber kehampaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar