Masa
remaja memang penuh gairah. Selalu semangat mencoba hal baru. Melakukan apa pun demi
mencuri perhatian banyak orang. Haus pujian. Gemar ikut-ikutan. Tak peduli
bertindak benar atau salah. Asalkan kesetiakawanan masih kuat, akal sehat dan
hati nurani jadi tak berguna. Bebas dalam bertindak. Maka diukirlah sebanyak
mungkin kenangan untuk jadi bahan nostalgia di masa mendatang. Keadaan itu
cocok dengan semboyan: nakal-nakalah semasih muda, nanti tua baru tobat.
Kisahku
ini, bercerita tentang masa-masa itu.
Dahulu,
aku punya teman baik di bangku SMP. Namanya Harun. Tapi orang-orang
memanggilnya Binggo, sebuah istilah yang biasa dituturkan Mr. Bean kala
mendapatkan keberuntungan. Perilakunya memang konyol seperti sang comedian
dunia. Rajin membuat lelucon yang menyenangkan. Semisal kesanggupannya mencabut
bulu hidung hanya dengan imbalan satu permen. Uniknya, ia tetaplah sosok yang
cerdas, alim, dan tampak rupawan. Darinyalah aku banyak belajar tentang
kepribadian remaja yang baik. Aku beruntung berkawan dengannya.
Setelah
kami duduk di bangku SMA, di sekolah favorit yang sama, ia berubah. Wataknya
berkebalikan dari sebelumnya. Begitu labil. Mungkin karena di usia itu adalah
masa peralihan dalam mencari jati diri. Ia jadi tak bisa mengendalikan
gairahnya. Aku, tetap seperti yang dulu. Masih kuasa melawan diri sendiri.
Imbasnya, kelompok pergaulan kami pun berbeda karena perbedaan sikap. Aku menjadi
pengurus OSIS, sedangkan ia menjadi anggota Geng Sabit, kumpulan anak bandel
khas anak SMA pada umumnya.
Sesekali,
Binggo menyarankanku bergabung pada gengnya. Katanya, supaya terlihat keren dan
gaul. Ditakuti. Menjadi penguasa sekolah. Tapi kutolak. Aku tetap memilih
menjadi anak penurut pada kata orang tua dan guru. Pilihan hidup yang menurut
mereka kuno. Ketinggalan zaman. Tapi beruntung, ia tak memaksaku. Bahkan, ia setia
menjadi pelindungku. Menghindarkan aku dari aksi palak Geng Sabit. Apalagi, ia
memang petinggi geng, satu level di bawah sang ketua, Jongos.
Masa-masa
itu, kini telah terukir sebagai kenangan. Dan, sekarang kami berdua
bernostalgia kembali. Tanpa sengaja, setelah sembilan tahun tak bertemu, kami
berpapasan di sebuah pusat perbelanjaan. Aku pun mengajaknya mampir ke rumahku.
Terakhir, kebersamaan kami waktu setahun setelah lulus SMA. Setelah itu, aku
meninggalkannya untuk pergi ke kota, di pulau seberang, tempat tinggal orang
tuaku, untuk melanjutkan kuliah. Sampai sekarang, kami telah sama-sama
berkeluarga.
Sore
ini, kami tengah duduk berdua di teras rumahku. Berbicang-bincang sembari
menyeruput kopi.
“Agus,
masih ingat masa sekolah kita dahulu? Waktu aku masih sang jagoan,” tutur
Binggo, memancing petualangan kami ke masa lalu.
“Iyalah.
Aku tak akan lupa itu. Masa kau masih labil. Jadi monster yang ditakuti siswa
lain,” akuku.
“Ya,
benar. Dulu, aku memang raja di sekolah. Kau tahu, si Jongos itu, ketua Geng
Sabit, tak ada apa-apanya dibanding aku. Mulutnya saja yang besar,” tuturnya
sambil tertawa. Tampak meremahkan mantan ketuanya. “Kau tahu tidak, siapa orang
yang mencuri komputer di laboratorium sekolah, yang membuat perpustakaan nyaris
ludes terbakar, yang merusak pagar sekolah, yang mengecet dinding kelas dengan kata-kata
sadis? Itu aku Gus!”
Sungguh?
Serangkaian peristiwa yang disebutkannya itu, jelas membuat pihak sekolah
dahulu, kalang-kabut. Memang sudah kuduga kalau Geng Sabit adalah pelaku. Tapi menganggap
Binggo sebagai pelaku utama, terpernah terpikirkan olehku. “Memang tak ada yang
meragukan keberanianmu saat itu Bing. Kau memang hebat,” tuturku,
membesar-besarkannya. Aku tahu ucapanku itu akan membuat ia semakin besar
kepala.
“Terus,
kau tahu tidak, kenapa Ratih, si gadis manis, pidah sekolah?” tanyanya lagi.
Aku
menggeleng. Tak ingin menebak lebih dulu. Meski kuduga, ia akan mengakui lagi
dirinya sebagai pelaku.
“Aku
mempermainkannya Gus! Aku dekati dia, eh, ternyata mau juga sama aku. Biasalah,
kan dulu aku tampan dan berwibawa. Benar kan?” katanya, sembari tersenyum
bangga. “Saat ia sedang kasmaran karenaku, aku masih menjalin hubungan dengan
empat wanita lain, sekaligus. Hebat kan? Tapi sial, akhirnya, ia tahu kalau aku
playboy. Ia begitu terpukul Gus.”
Kuberi
senyuman padanya. Seakan mengiyakan bahwa melukai perasaan wanita yang jelas
berbekas sampai kapan pun, adalah prestasi, “Kau memang hebat Bing,” tuturku.
Lagi-lagi menjilati nafsunya untuk terus membanggakan diri.
“Dan,
puncaknya Gus, kau tak akan mengira. Kau tahu siapa yang membakar markas Geng
Sabit?” tanyanya, sembari memandangi mataku dalam-dalam. Jawabanku seakan
sangat dinantinya.
Pertanyaannya
itu, jelas membuatku tersentak. Aku deg-degan mengetahui jawaban yang segera
meluncur dari mulutnya sendiri. Kugelengkan lagi kepalaku. Kali ini, aku
pura-pura tak tahu.
“Aku
Gus!” tegasnya, lalu tertawa terbahak-bahak. Ia tak menjelaskan lebih detail
alasannya melakukan itu.
Aku
pun tak berhasrat melanjutkan obrolan dengannya. Kurasa, nostalgia ini tak
terlalu penting. Tak ada makna kebaikan yang sepatutnya direfleksikan. Karena
itu, aku enggan menjadi seperti wartawan yang mengulik masa lalu ini, sebab ia
pasti terus-terusan membanggakan diri. Itu tak baik.
Lama-lama
terdiam dalam perenungan masing-masing, ia pun mengalihkan percakapan dengan
bahasan yang baru.
“Gus,
kau sibuk apa sekarang?” tanya Binggo dengan santai.
“Ya,
biasalah. Aku bekerja sebagai karyawan swasta, sambil mengurusi usaha warung
makan yang kurintis dua tahun lalu,” balasku. “Kamu sendiri?”
“Ya,
beginilah aku. Tak punya kesibukan apa-apa. Aku baru sibuk kalau bosku dapat
proyek pembangunan. Biasalah, jadi pemborong. Pekerjaan kasar,” jelasnya dengan
mimik yang tak sesemringah sebelumnya. “Jalan hidupku memang tak sebaik dirimu
Gus. Andai saja aku serius belajar sepertimu, sampai sarjana, mungkin sekarang
aku sudah jadi bos di sebuah perusahaan. Penyesalan memang selalu datang di belakang
Gus.”
“Ah,
jangan merendah begitu. Apalah aku ini,” balasku. Kali ini, rasa kasihan
membuatku berusaha membesarkan hatinya. “Pemborong kan juga mendatangkan untung
banyak. Yang benting halal Bing.”
“Iya.
Kau benar. Tapi terus terang, bagaimana pun juga, aku menyesali jalan hidupku,”
tegasnya lagi. “Aku jelas tak ingin anakku seperti diriku. Karena itu, semua
cerita hidupku yang kelam di masa lalu, telah kuceritakan padanya. Kuharap ia
tak meniruku.”
Kali
ini, aku menganggukkan tuturnya.
Di
sela-sela obrolan kami yang tengah mengulas tentang rencana masa depan, anakku,
Amin, datang bersama anak Binggo, Johan. Umur mereka hanya beda setahun. Johan
7 tahun, sedangkan Amin 6 tahun. Syukurlah, mereka bisa akrab, meski baru
bertemu. Mereka sedari tadi pergi bersama, entah bermain apa.
Sambil
berjalan menghampiri kami, Johan terus berucap, “Pokoknya, ayahku lebih hebat
dari ayahmu! Laki-laki, ya, seperti Ayahkulah!” tegas Johan, lalu duduk di
samping ayahnya.
Amin
yang tampak lesu, lalu duduk di sampingku.
“Ayahku
ini pernah bercerita, kalau dulu, ia adalah penguasa di sekolah. Tak ada yang
berani padanya. Jago kan? Karena itu juga, dulu, dia punya banyak pacar loh.
Ada lebih sepuluh kalau tak salah. Benar kan?” ucap Johan, lalu berpaling ke
ayahnya, meminta penegasan.
Binggo
tersenyum mendengar penuturan anaknya.
Amin
hanya cemberut dan keseringan menunduk. Ia mungkin takut membalas seruan Johan
tentang kehebatan Ayahnya. Mungkin juga karena ia tak punya bahan untuk
dibanggakan. Aku memang tak pernah menceritakan masa laluku, tentang aku yang
melawan kelabilan, meski harus dicap cupu. Kurasa tak ada yang perlu
dibangga-banggakan, walaupun kuyakin, itu punya nilai yang patut dicontohinya.
“Apa
benar Ayah tak gaul waktu sekolah? Tak pernah punya pacar? Bukan jagoan?” tanya
Amin dengan suara rendah, menggerutu.
“Ia Nak. Ayahmu memang seperti itu,” balasku,
sambil mengusap-usap kepalanya. “Tapi anak yang hebat itu, ya anak yang tidak
nakal, seperti ayah dulu, seperti kau sekarang.”
Kuyakin
jawaban itu tak akan memuaskannya. Persepsinya tentang lelaki hebat, mungkin
berbeda. Tapi sekali lagi, aku tak ingin jadi pahlawan di benaknya. Tak perlu
menelanjangi diri dengan masa lalu, untuk menunjukkannya arti kemaluan. Biarlah
ia jadi dirinya sendiri. Ia berhak atas kenangannya sendiri. Tugasku hanya mendidiknya,
memperdengarkannya cerita-cerita tentang para pengalah dan pelawan yang konsisten
pada kebenaran dan kebaikan, serta menunjukkan perilakuku yang patut ia
teladani.
Di
dalam hatiku yang terdalam, sebenarnya aku punya cerita kepahlawanan yang
kupendam sendiri. Kurasa kalian perlu tahu, agar mengerti kalau banyak hal yang
memang sebaiknya dipendam, meski itu patut untuk diceritakan pada anak-anak. Sebenarnya,
akulah yang membakar markas Geng Sabit dahulu. Kemarahanku memuncak setelah
menyaksikan perilaku mereka yang kerap tak menghormati guru. Apalagi setelah
kutahu kalau seorang guru wanita menangis akibat kabandelan mereka.
“Bos,
ayo pulang!” seru Johan pada ayahnya. “Aku tak suka sama anak cupu ini. Bodoh
dan tak gaul.”
Binggo
nyengir mendengar ucapan anaknya. “Baiklah anakku yang hebat, kita pulang
sekarang,” balasnya pada sang anak.
Amin
hanya menunduk.
Aku
tersenyum terpaksa. Merasa miris mendengar etika mengobrol anak-ayah di
depanku, Johan-Binggo. Entahlah. Aku tak bisa memastikan bagaimana watak kedua
anak ini di masa mendatang. Yang pasti, aku adalah pagar nilai untuk anakku,
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar