Setiap
orang sampai di zaman sekarang setelah melalui proses waktu yang panjang. Perjalanan
menuju masa depan, selalu berangkat dari masa lalu. Keadaan masa kini hanyalah
ujung dari dinamika kehidupan di masa silam. Keadaan hidup saat ini hanyalah hasil
dari pergulatan-pergulatan dalam mewujudkan harapan-harapan sepanjang waktu sebelumnya.
Pada
awal kehidupan, di masa kanak-kanak, setiap orang belumlah memiliki harapan
tentang masa depan. Mereka belum memiliki gambaran tentang akan menjadi apa,
sebab mereka belum memahami kenyataan hidup yang penuh dengan tantangan. Mereka
belum memiliki cita-cita, sebab mereka belum memegang tanggung jawab terhadap
kehidupan mereka sendiri.
Namun
seiring berjalannya waktu, ketika mulai mendewasa, lingkungan hidup akan
membentuk cita-cita setiap orang secara perlahan. Mereka mulai menyadari tentang
kehidupan yang keras, dan mereka mulai belajar untuk menjadi seorang petarung.
Mereka mulai menyadari tentang persaingan hidup, dan mereka mulai belajar untuk
menjadi seorang pemenang.
Di
sepanjang waktu pendewasaan, setiap orang niscaya mengalami serangkaian
kekalahan, sedang orang lain berhasil menggapai kemenangan. Lantas mereka yang
mempertanyakan takdir akan larut ke dalam perbandingan-perbandingan hidup yang
membuat mereka iri hati. Lalu perlahan-lahan, mereka akan menumpuk dendam dan
menuntut balas atas takdir mereka di masa mendatang.
Dendam
masa lalu, akhirnya menjadi bahan bakar bagi mereka untuk menuju ke masa depan.
Mereka ingin segera membalikkan keadaan. Mereka sudah tak ingin lagi memperpanjang
masa menjadi pencundang. Karena itu, mereka mencanangkan serangkaian harapan
yang berusaha mereka wujudkan, entah bagaimana pun caranya.
Secara
tidak sadar, kehidupan masa lalu telah membentuk cita-cita mereka. Pencapaian yang
mereka inginkan di masa depan, hanyalah untuk membalas ketertinggalan mereka di
masa lalu. Mereka ingin sekolah tinggi-tinggi karena mereka berasal dari masa
lalu yang tidak berpendidikan; mereka ingin kaya karena mereka berasal dari
masa lalu yang tidak mampu; dan seterusnya.
Cita-cita
sebagai dendam kesumat terhadap masa lalu semata, akhirnya melenyapkan kesabaran
mereka untuk segera memenangkan masa depan dan mengambil seluruhnya. Mereka
kehilangan kebijaksanaan untuk mendamaikan keadaan. Mereka begitu bernafsu
untuk membalas di luar batas kewajaran, sebagaimana dendam yang memang selalu
menuntut balas yang lebih pedih.
Akhirnya,
terjadilah. Karena dahulu mereka miskin, mereka tak ingin sekadar berkecukupan,
mereka ingin kaya raya, meski harus korupsi. Karena dahulu mereka terhina, mereka
tak ingin sekadar dihargai, mereka ingin berkuasa total, meski harus berkolusi.
Karena dahulu mereka dicampakkan, mereka tak ingin sekadar diperhatikan, mereka
ingin atensi penuh, meski harus berselingkuh. Dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar