Kaki
kurus Siman mengarah ke sekolah dasarnya dengan cepat-cepat. Jarak satu
kilometer lebih, terhitung jauh bagi langkah pendeknya. Jika lambat-lambat, ia
bisa terlambat. Apalagi, ia harus menyimpang ke rumah Ibu Mira terlebih dahulu untuk
mengambil setermos es lilin beragam rasa yang akan ia jajakan kepada
teman-teman sekolahnya.
Tetapi
kedisiplinan selalu membuat Siman tiba di sekolah sebelum lonceng berbunyi.
Begitu pula hari ini. Ia berhasil sampai lebih awal dari kebanyakan teman-temanya.
Itu berarti ia punya waktu untuk menunggu jam pelajaran di teras depan sekolah,
sambil melayani satu-dua pembeli yang butuh pelepas dahaga setelah menjejaki bukit-bukit
menuju ke sekolah.
Namun
ketika jam pelajaran mulai, Siman pun berlaku seperti anak-anak yang lain. Ia akan
menghentikan urusan bisnisnya untuk sementara waktu, kemudian masuk ke dalam ruang
kelas IV. Ia akan duduk di sebuah bangku, sembari menempatkan setermos es itu
tepat di sampingnya, demi menjaganya dari tangan-tangan usil beberapa temannya.
Ketika
jam istrirahat tiba, Siman akan bergegas keluar kelas. Tetapi ia keluar bukan untuk
melepaskan kebosanan belajar seperti teman-temannya yang lain, tetapi untuk
menjajakan es jualannya demi mendapatkan keuntungan yang memuaskan. Ia akan
berjalan-jalan ke beberapa titik, ke sana-sini, untuk menggugah selera teman-temannya
atas es lilin itu.
Setelah
berkitar-kitar, Siman kemudian akan duduk di bawah sebuah pohon jambu yang telah
terkenal sebagai lapak jualnya. Ia hanya akan berdiam diri di sana, sambil menonton
teman-temannya melakoni segala macam permainan. Ia hanya akan menunggu, hingga
satu per satu temannya kelelahan dan membeli es jualannya.
Sebagaimana
anak-anak, tentu saja Siman berhasrat melakoni permainan sebebas-bebasnya. Ia juga
ingin bermain tanpa memikirkan apa-apa selain bermain. Namun urusan penjualan tetap
lebih penting baginya. Bagaimana pun, ia tak ingin waktu jam istirahat berakhir,
tetapi jualannya tidak laku hanya karena ia abai melayani pembeli.
Namun
kali ini, nasib baik sepertinya memang tak berpihak pada Siman. Meski telah
melakukan cara penjualan seperti kemarin-kemarin, hasilnya tetap rendah. Sampai
lonceng jam pelajaran berbunyi, esnya cuma laku sepertiga. Padahal di hari-hari
kemarin, penjualannya rata-rata laku tiga per empat bagian, atau malah laku
seluruhnya.
Siman
lantas mengikuti jam pelajaran tanpa semangat. Ia terpikir pada nasib buruknya
hari ini. Waktu istirahat sebagai kesempatan emas untuk berjualan telah lewat
dengan hasil yang mengecewakan. Sedang sepulang sekolah, biasanya, cuma akan
ada sedikit batang es yang kembali terjual. Yang pasti, jualannya masih akan
tersisa banyak.
Sampai
akhirnya, jam pulang sekolah pun tiba. Di bawah terik matahari, Siman melangkah
pulang sembari menenteng setermos es yang masih terasa berat. Sesekali, ia
tegoda juga untuk memakan es jualannya itu, sebatang saja. Tapi seketika juga
ia redam. Ia takut Ibu Mira tahu, dan ia akan kehilangan usaha untuk membantu
pendapatan ibunya yang hanya seorang penjual sayur.
Ketakutan
Siman berasalan karena Ibu Mira adalah orang yang terkenal perhitungan. Dipikir
Siman, jika ia berbuat nakal, bisa-bisa, Ibu Mira akan kembali mengkalkulasi
hasil penjualannya, lantas mendapati nominal uang penjualan yang tidak berbanding
lurus dengan es yang terjual. Keadaan itu akan membuat Ibu Mira curiga dan
membahayakan dirinya sendiri.
Akhirnya,
dengan lesu hati, Siman pun tiba di rumah Ibu Mira. Ia pun harus menerima kenyataan
bahwa ia hanya mendapatkan sedikit uang jasa penjualan dari Ibu Mira, menyusul
hasil penjualan yang juga sedikit. Namun untuk besok, ia menyimpan harapan,
semoga hasil penjualannya kembali membaik, seperti kemarin-kemarin.
Dengan
perasaan kelabu, Siman pun melanjutkan sisa perjalanan menuju rumah. Ia melangkah
sambil membawa uang hasil kerjanya yang sebagian besar akan ia setorkan kepada
sang ibu. Ia hanya akan mengambil sedikit dari upahnya itu untuk ia tabung
sendiri, sebab ia selalu tak berhasrat untuk membeli apa-apa.
Setelah
beberapa lama, tibalah Siman di rumahnya dengan kelelahan sepenuh jiwa dan
raga. Ia lantas masuk ke dalam rumah dan segera menuju ke ruang dapur untuk
mencari minuman pelepas dahaga. Sampai akhirnya, ia tersentak melihat sebuah
kulkas berdiri di pojok ruangan.
“Ibu…!
Ibu…!” seru Siman, seperti ingin mendapatkan penjelasan segera.
Ibunya
pun muncul di gerbang dapur.
“Ini
punya kita, Bu?” tanya Siman seketika, dengan penuh penasaran.
Sang
Ibu tersenyum, lantas mengangguk pelan.
“Itu kulkasmu, Nak. Aku beli dari uang hasil kerjamu yang kau serahkan kepadaku
sejak dahulu.”
Siman
jadi terharu.
“Besok-besok,
kau bisa menjual es buatanmu sendiri, Nak. Kau akan mendapatkan hasil yang
lebih baik untuk kau tabung sebagai bekal kebutuhan hidup di masa mendatang,”
tutur ibunya lagi.
Siman
pun mendekat dan memeluk ibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar