Jumat, 15 Mei 2020

Bocah Penjual Es

Kaki kurus Siman mengarah ke sekolah dasarnya dengan cepat-cepat. Jarak satu kilometer lebih, terhitung jauh bagi langkah pendeknya. Jika lambat-lambat, ia bisa terlambat. Apalagi, ia harus menyimpang ke rumah Ibu Mira terlebih dahulu untuk mengambil setermos es lilin beragam rasa yang akan ia jajakan kepada teman-teman sekolahnya.
 
Tetapi kedisiplinan selalu membuat Siman tiba di sekolah sebelum lonceng berbunyi. Begitu pula hari ini. Ia berhasil sampai lebih awal dari kebanyakan teman-temanya. Itu berarti ia punya waktu untuk menunggu jam pelajaran di teras depan sekolah, sambil melayani satu-dua pembeli yang butuh pelepas dahaga setelah menjejaki bukit-bukit menuju ke sekolah.

Namun ketika jam pelajaran mulai, Siman pun berlaku seperti anak-anak yang lain. Ia akan menghentikan urusan bisnisnya untuk sementara waktu, kemudian masuk ke dalam ruang kelas IV. Ia akan duduk di sebuah bangku, sembari menempatkan setermos es itu tepat di sampingnya, demi menjaganya dari tangan-tangan usil beberapa temannya.

Ketika jam istrirahat tiba, Siman akan bergegas keluar kelas. Tetapi ia keluar bukan untuk melepaskan kebosanan belajar seperti teman-temannya yang lain, tetapi untuk menjajakan es jualannya demi mendapatkan keuntungan yang memuaskan. Ia akan berjalan-jalan ke beberapa titik, ke sana-sini, untuk menggugah selera teman-temannya atas es lilin itu.

Setelah berkitar-kitar, Siman kemudian akan duduk di bawah sebuah pohon jambu yang telah terkenal sebagai lapak jualnya. Ia hanya akan berdiam diri di sana, sambil menonton teman-temannya melakoni segala macam permainan. Ia hanya akan menunggu, hingga satu per satu temannya kelelahan dan membeli es jualannya.

Sebagaimana anak-anak, tentu saja Siman berhasrat melakoni permainan sebebas-bebasnya. Ia juga ingin bermain tanpa memikirkan apa-apa selain bermain. Namun urusan penjualan tetap lebih penting baginya. Bagaimana pun, ia tak ingin waktu jam istirahat berakhir, tetapi jualannya tidak laku hanya karena ia abai melayani pembeli.

Namun kali ini, nasib baik sepertinya memang tak berpihak pada Siman. Meski telah melakukan cara penjualan seperti kemarin-kemarin, hasilnya tetap rendah. Sampai lonceng jam pelajaran berbunyi, esnya cuma laku sepertiga. Padahal di hari-hari kemarin, penjualannya rata-rata laku tiga per empat bagian, atau malah laku seluruhnya.

Siman lantas mengikuti jam pelajaran tanpa semangat. Ia terpikir pada nasib buruknya hari ini. Waktu istirahat sebagai kesempatan emas untuk berjualan telah lewat dengan hasil yang mengecewakan. Sedang sepulang sekolah, biasanya, cuma akan ada sedikit batang es yang kembali terjual. Yang pasti, jualannya masih akan tersisa banyak.

Sampai akhirnya, jam pulang sekolah pun tiba. Di bawah terik matahari, Siman melangkah pulang sembari menenteng setermos es yang masih terasa berat. Sesekali, ia tegoda juga untuk memakan es jualannya itu, sebatang saja. Tapi seketika juga ia redam. Ia takut Ibu Mira tahu, dan ia akan kehilangan usaha untuk membantu pendapatan ibunya yang hanya seorang penjual sayur.

Ketakutan Siman berasalan karena Ibu Mira adalah orang yang terkenal perhitungan. Dipikir Siman, jika ia berbuat nakal, bisa-bisa, Ibu Mira akan kembali mengkalkulasi hasil penjualannya, lantas mendapati nominal uang penjualan yang tidak berbanding lurus dengan es yang terjual. Keadaan itu akan membuat Ibu Mira curiga dan membahayakan dirinya sendiri.

Akhirnya, dengan lesu hati, Siman pun tiba di rumah Ibu Mira. Ia pun harus menerima kenyataan bahwa ia hanya mendapatkan sedikit uang jasa penjualan dari Ibu Mira, menyusul hasil penjualan yang juga sedikit. Namun untuk besok, ia menyimpan harapan, semoga hasil penjualannya kembali membaik, seperti kemarin-kemarin.

Dengan perasaan kelabu, Siman pun melanjutkan sisa perjalanan menuju rumah. Ia melangkah sambil membawa uang hasil kerjanya yang sebagian besar akan ia setorkan kepada sang ibu. Ia hanya akan mengambil sedikit dari upahnya itu untuk ia tabung sendiri, sebab ia selalu tak berhasrat untuk membeli apa-apa.

Setelah beberapa lama, tibalah Siman di rumahnya dengan kelelahan sepenuh jiwa dan raga. Ia lantas masuk ke dalam rumah dan segera menuju ke ruang dapur untuk mencari minuman pelepas dahaga. Sampai akhirnya, ia tersentak melihat sebuah kulkas berdiri di pojok ruangan.

“Ibu…! Ibu…!” seru Siman, seperti ingin mendapatkan penjelasan segera.

Ibunya pun muncul di gerbang dapur.

“Ini punya kita, Bu?” tanya Siman seketika, dengan penuh penasaran.

Sang Ibu  tersenyum, lantas mengangguk pelan. “Itu kulkasmu, Nak. Aku beli dari uang hasil kerjamu yang kau serahkan kepadaku sejak dahulu.”

Siman jadi terharu. 

“Besok-besok, kau bisa menjual es buatanmu sendiri, Nak. Kau akan mendapatkan hasil yang lebih baik untuk kau tabung sebagai bekal kebutuhan hidup di masa mendatang,” tutur ibunya lagi.

Siman pun mendekat dan memeluk ibunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar