Perubahan
keadaan mengubah sikap Karman. Setelah hampir dua bulan kehilangan pekerjaan
karena kebijakan pemutusan hubungan kerja oleh pihak perusahaan, ia jadi sulit
mengendalikan emosi. Ia jadi sangat temperemental. Tanpa sebab-sebab yang masuk
akal, ia bisa saja bertindak di luar batas kewajaran, termasuk terhadap
istrinya.
Di
tengah hari-hari tanpa aktivitas yang berarti, Karman pun merasa bosan. Ia seolah-olah
didera oleh semangat kerja yang tidak tersalurkan. Ia telah berulang kali melamar
pekerjaan, tapi ujung-ujungnya tetap gagal. Hingga akhirnya, ia pasrah menerima
kehidupannya yang tak berarti sebagai seorang pengangguran, dan ia tak bersemangat
lagi untuk mencari kerja.
Hidup
tanpa kerja, berarti hidup tanpa penghasilan. Kepastian itu mengacaukan pikiran
dan perasaan Karman. Pasalnya, ia memiliki banyak tanggungan yang mesti
ditanggulangi. Kebutuhan makan sehari-hari, pembayaran listrik dan air, juga
cicilan motor dan rumah, adalah tumpukan beban sepanjang waktu yang mesti
diselesaikan dengan uang.
Kebingungan
di tengah kekalutan, akhirnya membuat Karman kehilangan harapan hidup. Ia ingin
menghilang saja dari kenyataan. Ia ingin melupakan segalanya, Hingga akhirnya, ia
memutuskan untuk terjun kembali ke dalam dunia pelarian sementara waktu. Ia memutuskan
untuk kembali menenggak minuman keras, seperti kebiasaannya dahulu.
Untuk
menyegerakan niatnya, pada siang hari, Karman pun beranjak ke kota untuk
membeli minuman keras bermerek. Ia berancana untuk menenggak minuman itu di kamarnya
seorang diri. Bagaimana pun, di dalam hati kecilnya, ada juga perasaan malu jika
ketahuan oleh orang-orang yang sudah yakin kalau ia telah berhenti menjadi
seorang pemabuk.
Namun
di tengah perjalanan, ketika hendak mengisi bahan bakar untuk sepeda motornya,
Karman menyadari bahwa uang ongkos minuman kerasnya telah raib dari dalam saku
jaket. Ia pun segera mengecek semua sakunya, juga mencari-cari di sepanjang
jalan yang telah ia lalui, tapi tidak juga menemukan uang itu. Sampai akhirnya,
ia harus meredam nafsu-emosinya, dan kembali pulang.
Sedang
di sisi rumah, istri Karman, Rahmi, terkejut setelah menemukan uang sejumlah
Rp. 400.000 di teras depan. Ia lantas menerka-nerka si pemilik uang, tetapi terkaannya
tak bisa menyasar siapa-siapa selain suaminya sendiri yang telah beranjak tanpa
memberikan keterangan apa-apa kepadanya. Apalagi, semenjak kemarin, tak ada
seorang pun yang bertamu ke rumahnya.
Setelah
memikirkan nasib temuan itu selama beberapa saat, akhirnya, Rahmi memutuskan
untuk menyembunyikannya dari pengetahuan sang suami. Ia ingin menggunakannya
sendiri setelah beberapa hari sang suami tak lagi memberinya uang belanja.
Apalagi, ia yakin, uang itu hanya akan ludes tanpa peruntukan berarti jika
berada di tangan sang suami.
Akhirnya,
selain menggunakan uang itu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, Rahmi pun
berencana menggunakan sebagian lainnya untuk membantu sang suami terbebas dari
kegalauan soal pekerjaan. Untuk itu, diam-diam, ia bergegas mencari-cari
dokumen persyaratan-peryaratan kerja di tempat penyimpanan berkas sang suami,
kemudian segera menggandakannya di tempat fotokopi.
Tak
lama kemudian, Karman pun tiba. Tetapi ia memilih untuk tidak mempertanyakan
dan membahas perosalan uang itu dengan sang istri. Ia tidak ingin mendapatkan
tudingan dan pertanyaan macam-macam soal untuk apa uang itu di saat ia mulai
pelit memberikan uang belanja. Karena itu, ia memasrahkan saja takdir uang itu di
antara perasaan syukur setelah terhindar dari perbuatan dosa dan perasaan sial setelah
gagal melampiaskan nafsu.
Hari
demi hari berganti. Hubungan antara Karman dan Rahmi menjadi semakin dingin. Mereka
berdua hanya saling mendiamkan. Karman seolah ingin berurusan dengan dirinya
saja, sedang Rahmi tak ingin mencari gara-gara yang dapat memancing emosi sang
suami.
Sampai
akhirnya, tiga hari berselang, Karman pun mendapatkan sebuah panggilan telepon.
Dari
balik pintu kamar, Rahmi menguping percakapan sang suami.
Karman
melakoni pembicaraan telepon dengan sangat antusias dan penuh kesopanan.
Sampai
akhirnya, diam-diam, Rahmi tahu bahwa panggilan itu mengabarkan kalau sang
suami diterima sebagai pekerja di sebuah perusahaan. Rahmi pun bersyukur sebab
aksi terselubungnya telah membuahkan hasil yang baik.
Sesaat
kemudian, Karman menghampiri sang istri di dalam kamar.
Rahmi
berdiri mematung memandang sang suami.
Karman
lalu mendekat dan memeluk sang istri tanpa kata-kata, seolah-olah menyiratkan
permintaan maaf dan ucapan terima kasih sekaligus.
Rahmi
balas memeluk dengan perasaan senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar