Jumat, 15 Mei 2020

Nama Buruk Maya

Media sosial telah menjadi medium sosialisasi tersendiri. Orang-orang mengindentifikasi dan menafsirkan diri mereka satu sama lain berdasarkan tampakan layar kaca. Sampai akhirnya, mereka saling menilai tanpa pertemuan secara langsung, hingga saling menghukumi baik-buruknya kepribadian tanpa perkenalan secara mendalam.
 
Demi dipandang baik, orang-orang pun berusaha memoles dan menampilkan dirinya sebaik mungkin di media sosial. Menjadi diri yang bukan lagi dirinya demi mendapatkan anggapan dan tanggapan positif dari orang lain. Berusaha memikat sebanyak mungkin pengagum dan pengikut, demi mendulang popularitas yang mengkuhkan eksistensinya di jagat maya.

Namun popularitas dunia maya, pada akhirnya, bisa berubah menjadi bumerang. Para kaum iseng atau para pembenci maya yang iri hati dan mungkin mengharapkan kepopuleran juga, bisa dengan tega mengungkit sisi gelap kehidupan nyata si artis dunia maya. Hingga akhirnya, sekian banyak pengagum yang sebelumnya mengelu-elukan, malah berbalik mencaci-maki.

Atas ulah tak terperi segelintir orang, kesucian nama baik yang susah payah dibangun melalui pencitraan di media sosial, akan hancur di mata semua orang. Si ternista yang awalnya bukan siapa-siapa di dunia nyata, kemudian menjadi populer di dunia maya, harus menanggung aib tak berkesudahan setelah skandalnya terungkap dan mengisi kepopulerannya.

Kehancuran nama baik di belantara media sosial, tentu menjadi kutukan hidup yang tiada akhirnya. Selama tak ada kejadian luar biasa yang menghancurkan jejaring berbagi data, selama itu pula, orang-orang akan terus membahas dan mengembangbiakkan aib maya seseorang dalam beragam format, dari generasi ke generasi, sampai jauh ke anak-cucu si ternista sendiri.

Penderitaan hidup yang bisa ditimbulkan oleh jejaring media sosial, akhirnya membuat dunia maya menjadi ruang penghakiman tersendiri bagi beberapa orang yang memendam kebencian di dunia nyata. Saat mereka menganggap sistem penegakan hukum tak lagi mempan, mereka akan mengandalkan jari dan mata kamara mereka untuk menghukum para penjahat atau pelangar susila.

Atas kerentanan nama baik di media sosial, setiap orang akhirnya mengambil sikap hati-hati. Mereka berusaha menahan diri untuk mengunggah hal-hal yang sekiranya bisa membahayakan nama baik mereka sendiri. Mereka pun berusaha untuk tidak bertingkah keliru di dalam tangkapan kamera yang bisa saja dimanfaatkan orang lain untuk merusak nama baik mereka.

Tetapi pandangan setiap orang memang berbeda-beda, termasuk dalam soal nama baik di jagat maya. Di luar dari anggapan umum, beberapa orang malah memosisikan popularitas lebih penting daripada nama baik. Mereka sangaja merusak citra baik diri mereka dengan mengumbar tindakan tercela di media sosial, demi popularitas, demi keuntungan ekonomi.

Setelah keinginan praktis dan pragmatis itu tercapai, para hamba popularitas akan berusaha mendapatkan pembenaran dan pemaafan atas tindakan mereka. Kemudian perlahan-lahan, mereka pun mendapatkan pasukan pembela di antara warga maya yang memang tak pernah seragam dalam memandang nilai, hingga mereka terus menjadi pusat perdebatan yang tak berkesudahan.

Nilai sebuah nama, entah baik atau buruk, akhirnya, akan terus terbolak-balik dan terombang-ambing di jagad media sosial yang tak tertata oleh sekumpulan nilai yang tetap. Seseorang yang terkutuk, dengan mudah berbalik menjadi terpuji, dan sebaliknya, tergantung dari tantangan dan kelihaiannya dalam memoles harga diri di mata warga maya.

Akhirnya, pergolakan nilai di ruang media sosial, di antara kaum yang mudah menghakimi, membuat setiap orang tak akan bisa lagi memegang kendali atas nama baik siapa-siapa, termasuk nama baiknya sendiri. Setiap orang hanya bisa mengendalikan pikirannya masing-masing untuk tidak mudah menilai seseorang dengan apa yang tampak di balik layar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar