Media
sosial telah menjadi medium sosialisasi tersendiri. Orang-orang mengindentifikasi
dan menafsirkan diri mereka satu sama lain berdasarkan tampakan layar kaca. Sampai
akhirnya, mereka saling menilai tanpa pertemuan secara langsung, hingga saling menghukumi
baik-buruknya kepribadian tanpa perkenalan secara mendalam.
Demi
dipandang baik, orang-orang pun berusaha memoles dan menampilkan dirinya sebaik
mungkin di media sosial. Menjadi diri yang bukan lagi dirinya demi mendapatkan
anggapan dan tanggapan positif dari orang lain. Berusaha memikat sebanyak
mungkin pengagum dan pengikut, demi mendulang popularitas yang mengkuhkan
eksistensinya di jagat maya.
Namun
popularitas dunia maya, pada akhirnya, bisa berubah menjadi bumerang. Para kaum
iseng atau para pembenci maya yang iri hati dan mungkin mengharapkan
kepopuleran juga, bisa dengan tega mengungkit sisi gelap kehidupan nyata si artis
dunia maya. Hingga akhirnya, sekian banyak pengagum yang sebelumnya
mengelu-elukan, malah berbalik mencaci-maki.
Atas
ulah tak terperi segelintir orang, kesucian nama baik yang susah payah dibangun
melalui pencitraan di media sosial, akan hancur di mata semua orang. Si
ternista yang awalnya bukan siapa-siapa di dunia nyata, kemudian menjadi
populer di dunia maya, harus menanggung aib tak berkesudahan setelah skandalnya
terungkap dan mengisi kepopulerannya.
Kehancuran
nama baik di belantara media sosial, tentu menjadi kutukan hidup yang tiada akhirnya.
Selama tak ada kejadian luar biasa yang menghancurkan jejaring berbagi data, selama
itu pula, orang-orang akan terus membahas dan mengembangbiakkan aib maya
seseorang dalam beragam format, dari generasi ke generasi, sampai jauh ke
anak-cucu si ternista sendiri.
Penderitaan
hidup yang bisa ditimbulkan oleh jejaring media sosial, akhirnya membuat dunia
maya menjadi ruang penghakiman tersendiri bagi beberapa orang yang memendam
kebencian di dunia nyata. Saat mereka menganggap sistem penegakan hukum tak
lagi mempan, mereka akan mengandalkan jari dan mata kamara mereka untuk
menghukum para penjahat atau pelangar susila.
Atas
kerentanan nama baik di media sosial, setiap orang akhirnya mengambil sikap
hati-hati. Mereka berusaha menahan diri untuk mengunggah hal-hal yang sekiranya
bisa membahayakan nama baik mereka sendiri. Mereka pun berusaha untuk tidak bertingkah
keliru di dalam tangkapan kamera yang bisa saja dimanfaatkan orang lain untuk merusak
nama baik mereka.
Tetapi
pandangan setiap orang memang berbeda-beda, termasuk dalam soal nama baik di jagat
maya. Di luar dari anggapan umum, beberapa orang malah memosisikan popularitas lebih
penting daripada nama baik. Mereka sangaja merusak citra baik diri mereka
dengan mengumbar tindakan tercela di media sosial, demi popularitas, demi
keuntungan ekonomi.
Setelah
keinginan praktis dan pragmatis itu tercapai, para hamba popularitas akan berusaha
mendapatkan pembenaran dan pemaafan atas tindakan mereka. Kemudian perlahan-lahan,
mereka pun mendapatkan pasukan pembela di antara warga maya yang memang tak
pernah seragam dalam memandang nilai, hingga mereka terus menjadi pusat
perdebatan yang tak berkesudahan.
Nilai
sebuah nama, entah baik atau buruk, akhirnya, akan terus terbolak-balik dan
terombang-ambing di jagad media sosial yang tak tertata oleh sekumpulan nilai
yang tetap. Seseorang yang terkutuk, dengan mudah berbalik menjadi terpuji, dan
sebaliknya, tergantung dari tantangan dan kelihaiannya dalam memoles harga diri
di mata warga maya.
Akhirnya,
pergolakan nilai di ruang media sosial, di antara kaum yang mudah menghakimi, membuat
setiap orang tak akan bisa lagi memegang kendali atas nama baik siapa-siapa,
termasuk nama baiknya sendiri. Setiap orang hanya bisa mengendalikan pikirannya
masing-masing untuk tidak mudah menilai seseorang dengan apa yang tampak di
balik layar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar