Waktu
sudah berada di ujung pagi. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Suriah bergegas
duduk di depan layar televisi. Ia hendak meyaksikan film pendek bergaya sinetron
yang akan tayang di sebuah stasiun swasta. Ia ingin menonton dengan tenang
sebelum Mudin, suaminya, datang dari kebun dan mengambil alih kontrol siaran.
Setelah
monitor menyala, Suriah pun segera mengarahkan tayangan pada satu siaran
televisi favoritnya. Ia jadi tak sabar untuk segera menyaksikan film yang telah
ia nantikan, tanpa mau melewatkan adegan sedikit saja. Hingga akhirnya, adegan cerita
itu pun mulai ditayangkan, sebagaimana jadwal yang telah ia camkan dari
iklan-iklan sebelumnya.
Suriah
pun duduk menyaksikan kisah percintaan masa remaja itu dengan sangat serius.
Perasaannya larut menyimak adegan demi adegan, seolah-olah ia adalah tokoh utamanya.
Hingga akhirnya, setelah pengantar panjang yang dramatis, film itu pun tamat
dengan cara yang menyenangkan. Pemeran utama berhasil menikah dan hidup bahagia
dengan sang kekasih.
Namun
perlahan-lahan, emosi Suriah malah membuncah. Ia kembali menyadari bahwa
kehidupan rumah tangganya sungguh berkebalikan dengan kehidupan tokoh fiktif di
layar televisi. Pada masa awal pernikahan, ia memang bahagia atas suaminya yang
penuh perhatian. Tetapi akhir-akhir ini, ia merasa kalau suaminya telah banyak berubah
dan terkesan bersikap serong.
Di
tengah kegalauan, Suriah lantas mengalihkan siaran untuk mencari hiburan yang
baru. Pilihannya kemudian jatuh pada tayangan gosip tentang kehidupan para
selebriti. Ia lalu menyaksikan kisah kisruh di dalam rumah tangga seorang artis.
Kabarnya, sang suami hendak menceraikan sang artis demi cintanya kepada orang
ketiga.
Sontak,
perasaan Suriah jadi semakin kacau. Ia khawatir kalau hal serupa terjadi di
dalam rumah tangganya. Ia takut kalau sang suami menceraikannya demi perempuan lain.
Karena itu, ia mengintrospeksi dirinya sendiri. Ia menimbang-nimbang
kalau-kalau belakangan ini, ia memang kurang baik dalam menunaikan tugas
sebagai istri sehingga sang suami malah mencari perhatian pada yang lain.
Sesaat
kemudian, di tengah keresahan, ia pun mendengar geletukan-geletukan di bawah
kolong rumah. Ia tahu betul kalau itu adalah pertanda kedatangan suaminya dari
kebun. Maka segera saja ia mematikan televisi dan beranjak ke dapur untuk
mencari urusan lain. Pasalnya, seperti biasa, sang suami akan segera naik ke atas
rumah, lantas melepas lelah dengan menonton tayangan kesukaannya sendiri.
Benar
saja. Setelah menaruh sisir-sisir pisang di sudut ruang dapur, Mudin, suami
Suriah, segera duduk di depan layar televisi. Ia bersiap-siap untuk menonton
tayangan yang jauh berbeda dengan tayangan yang biasa ditonton Suriah. Selain
tayangan dangdut-dangdutan, mereka berdua memang punya selera tayangan yang
berbeda, sehingga mereka tak cocok untuk menonton bersama.
Setelah
beberapa saat mencari-cari tayangan yang sekiranya paling memikat perhatiannya,
Mudin pun menjatuhkan pilihan pada tayangan ceramah agama. Seolah ingin
memperjelas pesan-pesan suci itu, ia lantas menambah volume suara televisi, kemudian menyimak
baik-baik siraman rohani yang kebetulan membahas tentang hak dan kewajiban
antara suami dan istri.
Menit
demi menit, Mudin terus menyaksikan tayangan itu tanpa mengalihkan pada
tayangan yang lain, bahkan ketika pariwara. Ia seolah-olah ingin mendapatkan
nasihat untuk dirinya sendiri agar menjadi seorang suami yang baik, seperti
yang dikatakan sang penceramah. Dan di sisi lain, ia pun ingin agar sang istri menjadi
istri yang baik, sebagaimana petuah-petuah sang penceramah.
Harapan
Mudin beralasan. Diam-diam, ia sungguh merisaukan hubungannya dengan sang istri
belakangan ini. Sang istri tidak lagi menunjukkan kekesalan atau kesenangan
padanya. Sikapnya mendingin tanpa alasan yang jelas. Tetapi ia menduga kalau sang
istri hanya kecewa kepadanya sebab ia tidak menyanggupi untuk membeli kompor
baru dan kulkas karena persoalan keuangan.
Namun
di akhir tayangan ceramah, terjadi sebuah peristiwa di luar kebiasaan belakangan
ini. Tiba-tiba saja, sang istri menghampirinya, kemudian menaruh segelas kopi
dan sepiring pisang goreng di sampingnya. Meski tanpa tutur kata dan tanpa raut
ramah dari sang istri, Mudin merasa kalau tindakan istrinya itu adalah pertanda
yang baik untuk hubungan mereka.
Beberapa
saat kemudian, tayangan ceramah pun selesai. Mudin lantas mengalihkan siaran
dan menjatuhkan pilihan pada tayangan berita yang melaporkan kejadian hangat. Hingga
akhirnya, tersiarlah sebuah berita kriminal tentang seorang istri yang tega membunuh
suaminya dengan minuman beracun karena cemburu setelah sang suami berselingkuh
dengan wanita lain.
Perasaan
Mudin pun tersentak. Ia tak habis pikir bagaimana bisa seorang istri tega
membunuh suaminya sendiri. Baginya, membunuh adalah akhir yang tidak masuk
akal, sepelik apapun masalah keluarga. Namun ia yakin bahwa kejadian biadab
semacam itu tidak akan pernah terjadi di dalam keluarganya. Apalagi, sang istri
telah menunjukkan gelagat yang baik.
Sesaat
kemudian, Mudin lantas menoleh pada segelas kopi buatan sang istri. Ia hendak menyesapnya
selagi hangat. Namun perlahan-lahan, ia seolah mendapatkan bisikan gaib.
Pikirannya seketika disesaki kemungkinan yang tidak-tidak. Hingga akhirnya, ia
menjadi takut mencicipi seduhan itu. Ia takut kalau sang istri hanya pura-pura
berlaku baik untuk meracuninya.
Perlahan-lahan,
prasangkanya pun menjadi keyakinan. Ia yakin bahwa segelas kopi itu akan
mencelakakan dirinya. Hingga diam-diam, ia pun cepat-cepat melangkah ke sisi
jendela dan menumpahkan kopi itu. Setelahnya, ia lalu bergegas kembali dan
meletakkan gelas kosong di posisi semula.
Namun
tiba-tiba, ia menggugat prasangka buruknya sendiri. Ia merasa telah berpikiran jahat
terhadap sang istri, sebab jika saja sang istri memang ingin mencelakai
dirinya, pasti ia telah melakukannya melalui perantara makanan pokok yang
selalu ia sajikan di waktu-waktu kemarin.
Atas
rasa bersalahnya, Mudin pun mencoba membalas sikap ramah sang istri. “Kopi
buatan Ibu nikmat sekali,” katanya kemudian.
Suriah
yang baru saja muncul dari ruang dapur dan duduk membelakangi sang suami sambil
merontokkan daun kelor, segera membalas dengan nada suara yang terdengar
menuding, “Ya, memang enaklah! Bagaimana tidak, bubuk kopinya kan Bapak beli
sendiri di nona Marni, di pasar!”
Mudin
merasa-rasai maksud dari perkataan sang istri, dan ia pun bisa membaca
kecemburuan di balik perkataan itu. Ia lantas membalas dengan kesan
menyinggung, “Jadi, Ibu sudah tahu kalau anak saudara tiriku itu pindah dari
kota seberang dan membuka toko di pasar? Ibu sudah berkenal dengannya?”
Suriah
tak segera membalas. Lama-lama, ia tak juga membalas. Hingga akhirnya, ia
melangkah kembali ke ruang dapur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar