Tujuh
tahun berlalu sejak aku sarjana. Selama itu, aku terpisah dengan Mardan, teman
baikku semasa kuliah. Ia pergi ke kota seberang untuk mengadu nasib, hingga
berhasil menjadi pagawai sebuah perusahaan transnasional. Selama itu pula, di tengah
kegagalanku mendapatkan pekerjaan di kota, aku terpaksa lebih sering berada di kampung
untuk membantu ibuku mengurus kebun.
Masa
pertemanan memang menyenangkan, ketika tubuh yang berbeda hidup sepenanggungan.
Namun saat waktu memisahkan, kisah pertemanan akan menjadi beban, ketika nasib
hidup yang berbeda, menjatuhkan kita dalam rivalitas-perbandingan. Seperti juga
yang kurasakan kini, ketika aku harus kembali ke kampung, sedangkan Mardan
malah pelesiran ke luar negeri.
Terhadap
ibuku, aku pun merasa tak berguna. Aku sarjana yang tak kunjung mendapatkan
pekerjaan prestisius seperti yang ia inginkan, dan tampaknya aku hanya akan
menjadi petani yang hidup pas-pasan seperti almarhum ayahku. Dan karena itu
pula, aku tak juga siap menikah dan mempersembahkan cucu untuknya, sebagaimana
yang diinginkan setiap ibu di usia senjanya.
Keadaan
sebaliknya terjadi pada Mardan yang sukses. Aku yakin, ibunya pasti bangga
terhadapnya. Ia seorang sarjana dengan penghidupan yang baik. Gajinya tinggi
dan sangat menjamin. Hingga akhirnya, empat tahun lalu, ia pun memperistri seorang
wanita berkewarganegaraan asing, dan kini ia telah memiliki seorang anak yang
menggemaskan.
Semua
yang kusaksikan tentang Mardan di media sosial, sungguh membuatku rendah diri.
Ia telah menjelajah bagaian dunia lain dengan penuh kemewahan, sedangkan aku
berkutat saja di lingkungan pedesaan dengan segala kesederhanaanya. Ia bisa membeli
apa saja yang ia inginkan, sedangkan aku semampu-mampunya hanya membeli barang
yang aku butuhkan.
Atas
kesenjangan di antara aku dan Mardan, aku kadang-kadang menyesal telah menjadi
seorang sarjana. Atau paling tidak, aku menyesal telah berteman dengannya.
Namun
tertinggal jauh dari Mardan, tidak membuatku kehilangan harapan. Aku yakin, selama
berusaha, kesuksesan hanya soal waktu. Karena itulah, aku kembali ke kota,
tempatku kuliah dahulu, untuk mencari pekerjaan apa saja yang pantas untuk
seorang sarjana. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menyami atau bahkan mengalahkan
pencapaian Mardan, kelak.
Tetapi
setelah dua bulan berjuang, aku tak juga mendapatkan pekerjaan. Aku telah
memasukkan lamaran di sana-sini, namun semua menolak dengan alasan yang sudah
kuduga: umurku sudah terlalu tua, belum ada pengalaman kerja, dan Bahasa
Inggris yang seadanya. Dan akhirnya, aku harus menerima kenyataan yang pahit, bahwa
aku memang tak sebanding dengan Mardan.
Di
tengah langkahku yang terlunta-lunta mencari pekerjaan, tiba-tiba, terbersit
keinginanku untuk bertandang ke rumah Mardan. Aku ingin bertemu dengan ibunya, seorang
janda, sang pengusaha restoran, istri seorang pejabat, yang sangat ramah setiap
kali aku singgah di rumah mewahnya dahulu. Setidaknya, aku ingin melepas rindu
kepada dirinya yang telah kuanggap sebagai ibu kedua bagiku.
Sampai
akhirnya, roda-roda angkutan kota membawaku sampai di depan rumahnya. Tetapi
tiba-tiba, aku merasa sangat sungkan untuk bertamu. Aku mencemaskan anggapannya
tentang keadaan diriku saat ini, meski kutahu ia adalah seseorang yang sangat rendah
hati. Namun belum juga aku yakin untuk membatalkan niat, tiba-tiba, ia
menatapku dari teras depan rumahnya.
Aku
pun balas menatapnya, sambil tersenyum kikuk.
Ia
tampak memerhatikanku lebih jeli. “Nak, Budi?” tebaknya kemudian, sembari melangkah-mendekat
ke arahku.
“Ah,
syukurlah, Tante masih ingat,” balasku, bemaksud bergurau, dengan sikap yang
sebisa mungkin terlihat biasa.
Kami
lantas bersalaman.
Ia
pun tertawa kecil. “Aku tak akan lupa pada orang yang baik sepertimu, Nak,”
katanya, kemudian menepak-nepak lenganku. “Marilah, Nak!”
Aku
lalu mengikutinya menuju teras.
“Silakan
duduk, Nak,” tawarnya kemudian.
Aku
lalu duduk di sebuah kursi kayu bermotif elegan yang berhadapan dengannya.
“Ah,
syukurlah kau bertandang ke sini,” tuturnya, lalu mengela dan menghembuskan
napas yang panjang. “Sejak dahulu, aku selalu ingin mengucapkan terima kasih karena
kau telah menjadi teman yang baik untuk Mardan,” katanya, dengan raut yang
tulus.
Aku
merasa terharu. “Akulah yang patut berterima kasih atas kebaikan Tante dan
Mardan kepadaku.”
Ia
pun tersenyum lepas, lantas melontarkan pertanyaan yang menyentak keakuanku, “Jadi,
kau sibuk apa sekarang? Apa kau punya urusan kerja di sini?”
Aku
bingung harus menjawab apa. Namun atas kerendahan hatinya, aku merasa memang
sebaiknya aku berterus terang. “Tidak sibuk apa-apa, Tante,” jawabku, berat. “Aku
kembali ke kota ini, malah untuk mencari pekerjaan.”
Ia
pun tertawa pendek, seolah menganggap keadaanku bukanlah kenelangsaan yang
patut disedihkan. “Setiap keinginan memang ada waktunya, Nak,” ucapnya,
kemudian tersenyum sepintas dan lekas menyambung, “Tapi berangkali kau hanya
belum mendapatkan pekerjaan yang kau inginkan saja, namun senyatanya kau telah
bekerja. Kau masih mengurus kebun seperti dulu, kan?”
Aku
mengangguk tegar, seolah-olah menerima keadaan hidup dengan lapang dada. “Tapi
bagaimana pun, aku adalah sarjana, dan aku ingin pekerjaan yang lebih baik dari
itu, Tante. Ibuku juga berharap demikian,” balasku, lantas berupaya menyepelekan
keadaanku dengan mengalihkan pembicaraan pada keadaan hidup anak tunggalnya,
Mardan, yang berkebalikan denganku, “Ibu patut berbahagia sebab Mardan telah
menjadi anak yang sukses seperti harapannya, dan seperti harapan ibu juga,
pastinya.”
Rona
cerah wajahnya seketika meredup. Ia lantas mengeluh lesu. “Kadang-kadang, aku malah
kurang senang atas apa yang ia capai saat ini. Karena urusan pekerjaan, ia jadi
sangat jarang pulang ke sini. Tiga tahun terakhir, ia hanya pulang dua kali. Itu
pun tak sampai seminggu. Keadaan itu mambuatku harus menahan rindu padanya,
pada menantuku, pada cucuku.”
Perasaanku
pun tersentuh mendengar curahan hatinya yang tampak mendalam.
“Di
masa tua begini, yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang ibu adalah kebersamaan
dengan anggota keluarga, Nak. Dan aku kehilangan itu sekarang,” sambungnya,
dengan raut yang penuh kesedihan.
Aku
pun jadi prihatin terhadapnya.
Ia
lantas melepas batuk yang kering, kemudian kembali menyinggung soal kehidupanku,
“Kau sadari atau tidak, aku yakin, ibumu beruntung memilikimu, Nak. Di masa
tuanya, kau masih berada di sampingnya.”
Aku
pun melayangkan senyum simpul. Merasa tergugah atas pandangannya. “Aku harap
begitu, Tante.”
Tiba-tiba,
telepon genggamku berdering. Aku permisi
padanya untuk menjawab sebuah panggilan dari seorang tetanggaku di kampung.
Sebuah panggilan yang ternyata mengabarkan kalau ibuku kembali jatuh sakit.
Seketika,
aku ingin pulang. “Maaf, Tante, aku harus bergegas kembali ke kampung. Penyakit
ibuku kumat lagi,” terangku kemudian.
Sontak,
ia tampak prihatin. “Segerakanlah, Nak. Itu hal yang sangat urgen,” katanya,
sambil melepas batuk kering yang berulang. “Setelah semuanya membaik, aku harap
kau sudi kembali ke sini. Kau bisa tinggal di sini kalau kau mau. Kau pun bisa
membantuku mengurus restoran jika kau butuh pekerjaan sementara waktu.”
Aku
mengangguk haru mendengar kemurahan hatinya. “Terima kasih, Tante.”
Ia
pun tersenyum simpul.
Aku
lantas beranjak pergi, di tengah pikiran-pikiran tentang apakah aku harus kembali
ke kota untuk mencari penghidupan, atau menetap saja di desa demi menjaga ibuku
yang renta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar