Setiap
orang berbeda sikap dalam menghadapi kegagalan. Beberapa orang akan kembali
mencoba pada kesempatan yang lain, sedang sebagian yang lain memilih menyerah.
Tetapi setelah akhir kemungkinan, ketika tidak ada lagi kesempatan untuk
mencoba, mau tak mau, orang-orang yang kalah harus berbalik membunuh harapan
mereka sendiri.
Namun
meredam keinginan yang terlanjur memuncak, bukanlah persoalan yang mudah bagi
setiap orang. Apalagi ketika mereka mengingat-ingat segala yang telah mereka korbankan
dalam mengejar sesuatu yang berujung gagal itu. Keinginan mereka akan tetap terpatri
di dalam hati, meski pikiran mereka menyadari ketidakmunkinan untuk
mewujudkannnya.
Mereka
yang tak mengikhlaskan kekalahan, akhirnya terpaksa saja mengalihkan arah tujuan
kepada yang lain. Mereka beralih sambil tetap membawa keinginan yang
menggantung dari masa lalu. Raga mereka mungkin sampai dan menetap pada satu tujuan
baru yang berhasil mereka dapatkan, tetapi hati dan pikiran mereka tetap terikat
pada satu yang gagal mereka dapatkan sebelumnya.
Di
masa peralihan, mereka yang gagal menerima kegagalan di masa lalu, akan memaksa
hati dan pikiran mereka untuk menerima sesuatu yang sedang mereka miliki. Dengan
sepenuh usaha, mereka akan membentuk anggapan-anggapan bahwa sesuatu yang
mereka miliki saat ini adalah sesuatu yang terbaik untuk mereka dan sepantasnya mereka
hargai.
Demi
mengokohkan perasaannya untuk beralih, mereka kemudian akan melakukan perbandingan-perbandingan
tendensius untuk menemukan dan mengokohkan pembenaran-pemberanarannya. Tujuan mereka
adalah menemukan kekurangan-kekurangan pada sesuatu yang gagal mereka dapatkan,
dan menemukan kelebihan-kelebihan dari sesuatu yang berhasil mereka dapatkan.
Tanpa
sadar, mereka akhirnya terjebak dalam ilusi yang menyesatkan. Mereka merasa
telah berhasil melepaskan diri dari jeratan masa lalu dan mengikatkan diri pada
sesuatu yang mereka miliki saat ini, tetapi sesungguhnya mereka hanya terperangkap
di dalam ruang pelarian. Mereka hanya pura-pura membenci sesuatu yang tidak
bisa mereka miliki, dan pura-pura mencintai sesuatu yang berhasil mereka miliki.
Mereka
yang hidup dalam pelarian pun, hanya akan menjalani kehidupan yang penuh kehampaan.
Mereka seumpama telah mati semenjak dan sepanjang mereka menggantungkan harapan
mereka di masa lalu. Mereka berada di satu tempat, tapi perasaan dan pikiran
mereka melayang ke tempat yang lain. Mereka merasa telah melakukan langkah maju
ke masa depan, tapi sesungguhnya mereka tertarik jauh ke sisi belakang masa
lalu.
Akhirnya,
sepanjang waktu bergulir, mereka yang hidup dalam pelarian tidak akan pernah merasakan
kedamaian atas masa depan sebelum mereka berhasil merelakan masa lalu. Mereka
tidak akan pernah lagi menjalani hidup yang sebenar-benarnya hidup sebelum
mereka berhasil mengikhlaskan perihal yang gagal mereka miliki dan mencintai perihal
yang tengah mereka miliki, sepenuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar