Setiap
pagi dan petang, sebelum berangkat dan sepulang kebun, Doni tak pernah
melewatkan pekerjaan sampingannya untuk memberi makan kepada ayam-ayam
miliknya. Dengan penuh perhatian, ia akan menyebarkan sisa-sisa makanan keluarga
kecilnya di pelataran depan rumahnya, hingga ayam-ayam itu datang berbondong-bondong
untuk bersantap.
Atas
perhatiannya, ayam-ayam miliknya pun tumbuh dan berkembang dengan baik. Waktu
demi waktu, ayam-ayam itu terus beranak-pinak. Sampai akhirnya, sisa makanan
dari keluarga kecilnya, tak lagi cukup untuk mengenyangkan ayam-ayam itu, sedang
ia enggan menggunakan pakan ternak komersial yang akan menguras keuntungan dari
peternakan kecilnya itu.
Namun
sebulan terakhir, keresahannya soal pakan ternak mulai teratasi. Ia kebagian beras
bantuan dari pemerintah yang ditujukan untuk mayarakat yang kurang mampu. Namun
karena beras tersebut rendah mutu, sedang ia masih punya kemampuan untuk
membeli beras yang lebih baik dari hasil taninya, ia pun memutuskan untuk menjadikan beras itu sebagai
pakan ternak.
Dan
pagi ini, Doni bersemangat untuk mengulang rutinitasnya. Dengan senang hati, ia
berjalan ke pelataran depan rumahnya, sembari membawa semangkuk beras dari sekarung
beras pembagian yang ia taruh saja di samping rumahnya. Ia lantas berdiri di
antara gerombolan ayam yang seketika berkerumum, lalu menghambur-hamburkan biji
beras itu sambil bersiul-siul.
Di
tengah perasaan gembira, Doni sempat juga melirik kepada Mudin, tetangganya,
seorang buruh tani, yang tinggal tepat di sebelah kanan rumahnya. Namun seperti
biasa, ia tak berhasrat untuk melakoni obrolan panjang lebar dengan Mudin.
Meski tak ada masalah apa-apa di antara mereka, ia malas saja untuk
berkomunikasi dengan Mudin yang tampak tidak ekspresif.
Perasaan
Doni terhadap Mudin pun jadi beku beberapa hari belakangan. Jika dahulu ia
sesekali bertegur sapa dan berbasa-basi dengan Mudin, sekarang-sekarang, tidak
sama sekali. Itu karena ia membaca raut wajah Mudin yang tampak memendam ketidaksenangan
padanya, bahkan kerap kali membuang wajah darinya, entah kenapa.
Diam-diam,
Doni menyimpulkan saja kalau sikap cuek Mudin terjadi karena keirihatian soal
pemeliharaan ayam. Doni menuding kalau Mudin yang tak lihai memelihara ayam,
menjadi tidak senang melihat usaha ternaknya berkembang. Ia meyakini kalau
Mudin patah harapan karenanya, sampai menjual seluruh ayamnya, sebelas ekor, di
pasar, pada awal bulan ini.
Namun
seperti biasa, Doni tak ingin ambil pusing atas rona benci Mudin yang ia baca
sangat jelas setiap kali ia asyik memberi pakan pada ternak-ternaknya. Apalagi,
ia memang tak ada maksud untuk memamerkan keberhasilannya dalam beternak dan
membuat Mudin iri hati. Bagaimana pun, keirihatian itu menjadi urusan Mudin
seorang, dan hanya ia pula yang bisa mengatasinya.
Akhirnya,
setelah memastikan kebutuhan ayam-ayamnya terpenuhi di pagi ini, Doni pun mempersiapkan
diri untuk berangkat ke kebun demi mengurus beragam tanaman yang telah menjamin
kebutuhan hidup keluarganya selama ini. Ia lalu bergegas menyantap hidangan lezat
nan bergizi, hasil racikan sang istri, sampai ia kenyang dan siap membanting
tulang.
Tak
lama berselang, Doni pun beranjak ke kebun. Ia meninggalkan rumah dengan
perasaan senang melihat ayam-ayamnya bermalas-malasan di sekitar rumahnya. Ia
senang membayangkan bahwa di waktu mendatang, ia akan mendapatkan keuntungan
dari hasil penjualan ayam-ayam itu, dan ia pun tak perlu lagi membeli ayam
untuk hidangan di hari lebaran.
Waktu
bergulir cepat. Setelah berpeluh mengurus kebun, saat tengah hari, Doni pun melangkah
pulang dengan langkah cepat-cepat. Ia selalu tak sabar untuk segera mengaso di
pelataran depan rumahnya. Ia selalu suka melepas penat dengan duduk manis
menikmati segelas teh dan kue-kue yang pasti menunggu, sambil memandangi
ayam-ayamnya menyantap pakan perantara waktu.
Maka,
setelah sampai di rumah, Doni segera saja menuju ke sisi samping rumahnya untuk
menyimpan peralatan tani, juga untuk mengambil sedikit beras bantuan yang telah
ia jadikan pakan ternak itu. Namun seketika, ia terkejut menyaksikan sekarung
beras itu telah lenyap dari samping kandang ayam, dari kotak penyimpanannya.
Sontak,
perasaan Doni jadi kacau-balau, seolah-olah ia kehilangan sesuatu yang sangat
berharga baginya.
Lekas
saja ia melangkah cepat-cepat ke dalam rumah, sambil berseru-seru, “Ibu…! Ibu…!
Sekarung beras dekat kandang Ibu taruh di mana?”
Sang
istri seketika mendesus ke arahnya. Memberi isyarat agar ia merendahkan suara.
Doni
pun terheran.
“Begini,
Pak,” tutur sang istri, setengah berbisik. Ia lantas menelan ludah yang
tertahan di tenggorokannya, seolah berat untuk melanjutkan penuturan.
“Kenapa,
Bu? Ada apa?” sergah Doni.
Sang
istri kembali mendesus. “Sekarung beras itu diambil Pak Mudin!” katanya, pelan
dan penuh penekanan.
Doni
terkejut-penasaran. “Apa? Ibu memberikan itu kepadanya?”
“Bukan,
Pak!” jawab sang istri dengan sikap geregetan. “Tadi, aku melihat Pak Mudin
menganbilnya sembunyi-sembunyi.”
“Maksud
Ibu, Pak Mudin mencuri sekarung beras makanan ayam itu?” tanya Doni, seolah
meragukan keterangan sang istri.
Sang
istri mengangguk saja.
Seketika,
Doni menarik napas yang panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Ia lalu
terpikir atas sebuah jawaban yang perlahan-lahan ia pastikan sebagai kebenaran tentang
alasan Mudin mencuri beras pakan ayamnya itu, sedang Mudin sendiri sudah tidak
memiliki ayam peliharaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar