Jumat, 15 Mei 2020

Makanan Ayam

Setiap pagi dan petang, sebelum berangkat dan sepulang kebun, Doni tak pernah melewatkan pekerjaan sampingannya untuk memberi makan kepada ayam-ayam miliknya. Dengan penuh perhatian, ia akan menyebarkan sisa-sisa makanan keluarga kecilnya di pelataran depan rumahnya, hingga ayam-ayam itu datang berbondong-bondong untuk bersantap.
 
Atas perhatiannya, ayam-ayam miliknya pun tumbuh dan berkembang dengan baik. Waktu demi waktu, ayam-ayam itu terus beranak-pinak. Sampai akhirnya, sisa makanan dari keluarga kecilnya, tak lagi cukup untuk mengenyangkan ayam-ayam itu, sedang ia enggan menggunakan pakan ternak komersial yang akan menguras keuntungan dari peternakan kecilnya itu.

Namun sebulan terakhir, keresahannya soal pakan ternak mulai teratasi. Ia kebagian beras bantuan dari pemerintah yang ditujukan untuk mayarakat yang kurang mampu. Namun karena beras tersebut rendah mutu, sedang ia masih punya kemampuan untuk membeli beras yang lebih baik dari hasil taninya, ia pun  memutuskan untuk menjadikan beras itu sebagai pakan ternak.

Dan pagi ini, Doni bersemangat untuk mengulang rutinitasnya. Dengan senang hati, ia berjalan ke pelataran depan rumahnya, sembari membawa semangkuk beras dari sekarung beras pembagian yang ia taruh saja di samping rumahnya. Ia lantas berdiri di antara gerombolan ayam yang seketika berkerumum, lalu menghambur-hamburkan biji beras itu sambil bersiul-siul. 

Di tengah perasaan gembira, Doni sempat juga melirik kepada Mudin, tetangganya, seorang buruh tani, yang tinggal tepat di sebelah kanan rumahnya. Namun seperti biasa, ia tak berhasrat untuk melakoni obrolan panjang lebar dengan Mudin. Meski tak ada masalah apa-apa di antara mereka, ia malas saja untuk berkomunikasi dengan Mudin yang tampak tidak ekspresif.

Perasaan Doni terhadap Mudin pun jadi beku beberapa hari belakangan. Jika dahulu ia sesekali bertegur sapa dan berbasa-basi dengan Mudin, sekarang-sekarang, tidak sama sekali. Itu karena ia membaca raut wajah Mudin yang tampak memendam ketidaksenangan padanya, bahkan kerap kali membuang wajah darinya, entah kenapa.

Diam-diam, Doni menyimpulkan saja kalau sikap cuek Mudin terjadi karena keirihatian soal pemeliharaan ayam. Doni menuding kalau Mudin yang tak lihai memelihara ayam, menjadi tidak senang melihat usaha ternaknya berkembang. Ia meyakini kalau Mudin patah harapan karenanya, sampai menjual seluruh ayamnya, sebelas ekor, di pasar, pada awal bulan ini.

Namun seperti biasa, Doni tak ingin ambil pusing atas rona benci Mudin yang ia baca sangat jelas setiap kali ia asyik memberi pakan pada ternak-ternaknya. Apalagi, ia memang tak ada maksud untuk memamerkan keberhasilannya dalam beternak dan membuat Mudin iri hati. Bagaimana pun, keirihatian itu menjadi urusan Mudin seorang, dan hanya ia pula yang bisa mengatasinya.

Akhirnya, setelah memastikan kebutuhan ayam-ayamnya terpenuhi di pagi ini, Doni pun mempersiapkan diri untuk berangkat ke kebun demi mengurus beragam tanaman yang telah menjamin kebutuhan hidup keluarganya selama ini. Ia lalu bergegas menyantap hidangan lezat nan bergizi, hasil racikan sang istri, sampai ia kenyang dan siap membanting tulang.

Tak lama berselang, Doni pun beranjak ke kebun. Ia meninggalkan rumah dengan perasaan senang melihat ayam-ayamnya bermalas-malasan di sekitar rumahnya. Ia senang membayangkan bahwa di waktu mendatang, ia akan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan ayam-ayam itu, dan ia pun tak perlu lagi membeli ayam untuk hidangan di hari lebaran.

Waktu bergulir cepat. Setelah berpeluh mengurus kebun, saat tengah hari, Doni pun melangkah pulang dengan langkah cepat-cepat. Ia selalu tak sabar untuk segera mengaso di pelataran depan rumahnya. Ia selalu suka melepas penat dengan duduk manis menikmati segelas teh dan kue-kue yang pasti menunggu, sambil memandangi ayam-ayamnya menyantap pakan perantara waktu. 

Maka, setelah sampai di rumah, Doni segera saja menuju ke sisi samping rumahnya untuk menyimpan peralatan tani, juga untuk mengambil sedikit beras bantuan yang telah ia jadikan pakan ternak itu. Namun seketika, ia terkejut menyaksikan sekarung beras itu telah lenyap dari samping kandang ayam, dari kotak penyimpanannya. 

Sontak, perasaan Doni jadi kacau-balau, seolah-olah ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya.

Lekas saja ia melangkah cepat-cepat ke dalam rumah, sambil berseru-seru, “Ibu…! Ibu…! Sekarung beras dekat kandang Ibu taruh di mana?”

Sang istri seketika mendesus ke arahnya. Memberi isyarat agar ia merendahkan suara.

Doni pun terheran.

“Begini, Pak,” tutur sang istri, setengah berbisik. Ia lantas menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya, seolah berat untuk melanjutkan penuturan.

“Kenapa, Bu? Ada apa?” sergah Doni.

Sang istri kembali mendesus. “Sekarung beras itu diambil Pak Mudin!” katanya, pelan dan penuh penekanan.

Doni terkejut-penasaran. “Apa? Ibu memberikan itu kepadanya?”

“Bukan, Pak!” jawab sang istri dengan sikap geregetan. “Tadi, aku melihat Pak Mudin menganbilnya sembunyi-sembunyi.”

“Maksud Ibu, Pak Mudin mencuri sekarung beras makanan ayam itu?” tanya Doni, seolah meragukan keterangan sang istri.

Sang istri mengangguk saja.

Seketika, Doni menarik napas yang panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Ia lalu terpikir atas sebuah jawaban yang perlahan-lahan ia pastikan sebagai kebenaran tentang alasan Mudin mencuri beras pakan ayamnya itu, sedang Mudin sendiri sudah tidak memiliki ayam peliharaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar