Jumat, 15 Mei 2020

Lelaki Pertama

Setelah malam-malam yang begitu saja, malam ini, aku merasa berada di puncak kesepian. Di puncak hari ulang tahunku, hanya beberapa teman yang mengirimkan ucapan selamat kepadaku. Namun tidak termasuk seseorang lelaki yang kuharapkan menjadi pasangan hidupku kelak.
 
Pengabaiannya sungguh membuatku dilanda kesunyian yang mendalam. Aku yakin, ia tahu kalau aku berulang tahun hari ini. Ia pasti menemukan tanda-tanda peringatan tentang itu di media sosial. Tetapi nyatanya, ia tak juga mengirimkan ucapan selamat seperti yang kudamba-dambakan.

Akhirnya, aku merasa sia-sia saja telah menjalin pertemanan dengannya di dunia maya. Keputusan itu hanya membuatku kecanduan menguntit unggahannya sepanjang waktu. Sedang unggahan-unggahanku yang menyiratkan perasaanku, barangkali tak pernah menyita perhatiannya.

Kecewaku pun bertambah atas apa yang telah kukorbankan untuk sekadar terhubung dengannya di dalam bilik-bilik maya. Setiap  bulan, aku rela memotong uang kiriman ayahku di kampung untuk membeli kuota data internet. Namun tujuanku terhadapnya, malah berbuah nihil. 

Tetapi saat ini, waktu masih menunjukkan hampir jam 10 malam. Masih ada sekitar dua jam sebelum hari berganti. Aku berharap, di rentang waktu itu, ia akan mengirimkan ucapan selamat yang akan membuatku bahagia melalui malam.

Untuk sementara waktu, aku berbaik sangka saja, kalau berangkali, ia memang belum sempat mengakses akun media sosialnya hari ini. Atau bahkan, ia memang sengaja mengirimkan ucapan di waktu-waktu terakhir untuk menyamarkan perasaan terselubungnya kepadaku.

Aku pun terus menunggu, dan menunggu. Berkali-kali aku mengecek laman media sosial untuk menuntaskan rasa penasaranku. Namun setelah duduk berpuluh-puluh menit memandangi layar ponsel, aku tak juga mendapatkan kiriman ucapan darinya.

Akhirnya, aku merasa lelah, hingga memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Aku lalu memasrahkan segala kemungkinan di sisa waktu yang ada. Aku lantas mematikan ponsel, sembari meyakinkan diri untuk menerima apapun yang kudapati nantinya.

Detik demi detik bergulir. Aku terus memejamkan mata, dan berharap terjatuh ke dalam lelap. Namun sekian lama kucoba, tetap saja tidak bisa, sebab rasa penarasan terus-menerus menggerayangi pikiranku. 

Aku pun bangkit dari pembaringan, lantas duduk kembali pada sebuah kursi. Aku kemudian mencari cara terbaik untuk membunuh waktu hingga hari ulang tahunku berlalu. Dan akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan ketikan cerpenku tentang lelaki idamanku itu.

Perlahan-lahan, aku pun kembali menyambung cerita yang telah kumulai dua hari yang lalu. Setelah serangkaian pengantar tentang perasaanku sendiri yang kuduga berbalas olehnya, kata-kataku pun mengalir sampai kepada apa yang kurasakan dan kualami saat ini.

Beberapa waktu kemudian, jalan ceritaku kembali buntu. Sebagai kisah nyata, aku bingung mengakhirinya sebelum menemukan kepastian tentang nasib harapanku atas ucapan selamat darinya. Semua kutumpukan saja pada kenyataan itu nantinya.
Hingga akhirnya, waktu menunjukkan tepat jam 12 malam. Dengan setengah tega, aku kembali menyalakan ponselku. Namun aku tak menemukan pesan apa-apa darinya. Yang ada hanya notifikasi pesan singkat dari ayahku yang terpaksa kuabaikan untuk sementara waktu.

Aku lantas menelusuri semua bilik media sosialku dengan perasaan yang penuh penarasan. Tetapi ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanya kekecewaan, sebab ia memang tak mengirimkan ucapan apa-apa untuk hari ulang tahun.

Akhirnya, aku harus mengambil jeda waktu untuk menenangkan perasaanku yang terpuruk.

Setelah kecewaku sedikit mereda, aku pun kembali mengecek ponselku untuk membaca pesan dari ayahku: Kenapa teleponmu tidak aktif, Nak? Kau baik-baik saja, kan?”

Sontak, aku merasa sangat berdosa telah mengabaikan pesannya. 

Aku pun segera meneleponnya.

Ia lantas menjawab.

“Maaf, Pak, tadi aku mematikan HP-ku,” kataku jujur, tanpa menjelaskan sebabnya. “Aku baik-baik saja. Bapak bagaimana?”

“Syukurlah, Nak. Aku juga baik-baik saja,” jawabnya, kemudian segera menyambung. “Oh, iya, tadi, secara mendadak, tetangga kita, si Mardi, naik ke kota. Jadi aku menitip beras dan pisang untukmu. Ada juga uang Rp. 600.000 untuk keperluanmu. Jadi, kau jaga-jaga saja. Kemungkinan dia sampai di situ jam 6 pagi.”

Seketika, aku merasa tersentuh. “Baik, Pak. Terima Kasih.”

“Iya, Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya!” pesannya.

“Baik, Pak,” balasku. “Bapak juga, jaga diri!”

“Iya, Nak.”

Pembicaraan kami pun berakhir.

Akhirnya, aku menyesal telah begitu tega mengabaikan cinta ayahku demi angan-angan cintaku kepada seorang lelaki.

Kini, aku dapatkan sudah jalan cerita terbaik untuk menamatkan cerpenku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar