Setelah
malam-malam yang begitu saja, malam ini, aku merasa berada di puncak kesepian. Di
puncak hari ulang tahunku, hanya beberapa teman yang mengirimkan ucapan selamat
kepadaku. Namun tidak termasuk seseorang lelaki yang kuharapkan menjadi pasangan
hidupku kelak.
Pengabaiannya
sungguh membuatku dilanda kesunyian yang mendalam. Aku yakin, ia tahu kalau aku
berulang tahun hari ini. Ia pasti menemukan tanda-tanda peringatan tentang itu di
media sosial. Tetapi nyatanya, ia tak juga mengirimkan ucapan selamat seperti yang
kudamba-dambakan.
Akhirnya,
aku merasa sia-sia saja telah menjalin pertemanan dengannya di dunia maya.
Keputusan itu hanya membuatku kecanduan menguntit unggahannya sepanjang waktu.
Sedang unggahan-unggahanku yang menyiratkan perasaanku, barangkali tak pernah
menyita perhatiannya.
Kecewaku
pun bertambah atas apa yang telah kukorbankan untuk sekadar terhubung dengannya
di dalam bilik-bilik maya. Setiap bulan,
aku rela memotong uang kiriman ayahku di kampung untuk membeli kuota data
internet. Namun tujuanku terhadapnya, malah berbuah nihil.
Tetapi
saat ini, waktu masih menunjukkan hampir jam 10 malam. Masih ada sekitar dua jam
sebelum hari berganti. Aku berharap, di rentang waktu itu, ia akan mengirimkan
ucapan selamat yang akan membuatku bahagia melalui malam.
Untuk
sementara waktu, aku berbaik sangka saja, kalau berangkali, ia memang belum
sempat mengakses akun media sosialnya hari ini. Atau bahkan, ia memang sengaja
mengirimkan ucapan di waktu-waktu terakhir untuk menyamarkan perasaan
terselubungnya kepadaku.
Aku
pun terus menunggu, dan menunggu. Berkali-kali aku mengecek laman media sosial
untuk menuntaskan rasa penasaranku. Namun setelah duduk berpuluh-puluh menit
memandangi layar ponsel, aku tak juga mendapatkan kiriman ucapan darinya.
Akhirnya,
aku merasa lelah, hingga memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Aku lalu memasrahkan
segala kemungkinan di sisa waktu yang ada. Aku lantas mematikan ponsel, sembari
meyakinkan diri untuk menerima apapun yang kudapati nantinya.
Detik
demi detik bergulir. Aku terus memejamkan mata, dan berharap terjatuh ke dalam
lelap. Namun sekian lama kucoba, tetap saja tidak bisa, sebab rasa penarasan
terus-menerus menggerayangi pikiranku.
Aku
pun bangkit dari pembaringan, lantas duduk kembali pada sebuah kursi. Aku
kemudian mencari cara terbaik untuk membunuh waktu hingga hari ulang tahunku
berlalu. Dan akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan ketikan cerpenku tentang
lelaki idamanku itu.
Perlahan-lahan,
aku pun kembali menyambung cerita yang telah kumulai dua hari yang lalu.
Setelah serangkaian pengantar tentang perasaanku sendiri yang kuduga berbalas
olehnya, kata-kataku pun mengalir sampai kepada apa yang kurasakan dan kualami
saat ini.
Beberapa
waktu kemudian, jalan ceritaku kembali buntu. Sebagai kisah nyata, aku bingung
mengakhirinya sebelum menemukan kepastian tentang nasib harapanku atas ucapan
selamat darinya. Semua kutumpukan saja pada kenyataan itu nantinya.
Hingga
akhirnya, waktu menunjukkan tepat jam 12 malam. Dengan setengah tega, aku kembali
menyalakan ponselku. Namun aku tak menemukan pesan apa-apa darinya. Yang ada
hanya notifikasi pesan singkat dari ayahku yang terpaksa kuabaikan untuk
sementara waktu.
Aku
lantas menelusuri semua bilik media sosialku dengan perasaan yang penuh penarasan.
Tetapi ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanya kekecewaan, sebab ia memang tak mengirimkan
ucapan apa-apa untuk hari ulang tahun.
Akhirnya,
aku harus mengambil jeda waktu untuk menenangkan perasaanku yang terpuruk.
Setelah
kecewaku sedikit mereda, aku pun kembali mengecek ponselku untuk membaca pesan
dari ayahku: Kenapa teleponmu tidak
aktif, Nak? Kau baik-baik saja, kan?”
Sontak,
aku merasa sangat berdosa telah mengabaikan pesannya.
Aku
pun segera meneleponnya.
Ia
lantas menjawab.
“Maaf,
Pak, tadi aku mematikan HP-ku,” kataku jujur, tanpa menjelaskan sebabnya. “Aku
baik-baik saja. Bapak bagaimana?”
“Syukurlah,
Nak. Aku juga baik-baik saja,” jawabnya, kemudian segera menyambung. “Oh, iya, tadi,
secara mendadak, tetangga kita, si Mardi, naik ke kota. Jadi aku menitip beras
dan pisang untukmu. Ada juga uang Rp. 600.000 untuk keperluanmu. Jadi, kau jaga-jaga
saja. Kemungkinan dia sampai di situ jam 6 pagi.”
Seketika,
aku merasa tersentuh. “Baik, Pak. Terima Kasih.”
“Iya,
Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya!” pesannya.
“Baik,
Pak,” balasku. “Bapak juga, jaga diri!”
“Iya,
Nak.”
Pembicaraan
kami pun berakhir.
Akhirnya,
aku menyesal telah begitu tega mengabaikan cinta ayahku demi angan-angan
cintaku kepada seorang lelaki.
Kini,
aku dapatkan sudah jalan cerita terbaik untuk menamatkan cerpenku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar