Ketika
hari sudah sore, operasi lalu lintas yang menguras emosi akhirnya berakhir. Marlin
pun menyudahi tugasnya di lapangan sebagai seorang polisi. Bersama lima orang
kawannya, ia lantas berleha-leha di dalam pos, sembari merekapitulasi jumlah denda
dan bukti pelanggaran untuk untuk penyelesaian laporan dan setoran.
Usai
perhitungan, uang denda ternyata melebihi nominal yang tertera di berkas
penilangan. Jelas, kelebihan itu berasal dari orang-orang yang ingin menyelesaikan
masalah berkendaranya tanpa proses yang berbelit-belit. Dan seperti biasa, Marlin
dan teman-temannya sepakat untuk menjadikan uang itu sebagai bonus kerja mereka
secara langsung.
Tanpa
mengenakan pakaian dinas, Marlin pun bergegas membeli makanan dengan uang lebih
itu. Ia lantas tiba di sebuah restoran. Dan beberapa lama kemudian, ia keluar
sambil menenteng jajanannya. Namun tiba-tiba, seorang menjambret sekantong menu
favorit itu. Ia pun sontak mengejar sang penjambret, sambil meneriakkan
kata-kata perintah untuk berhenti.
Tetapi
seolah tak peduli, remaja itu terus saja berlari secapat mungkin, dan Marlin
harus berjuang keras untuk menggapainya. Apalagi, staminanya sudah menurun di
tengah usia yang menua dan tubuh yang menambun. Sedang sebagai seorang polisi,
ia jelas tak ingin dipecundangi oleh seorang lelaki yang tampak masih berumur
belasan tahun.
Marlin
terus mengayun langkahnya. Mengekori saja sang penjambret yang bebas menentukan
lintasan lari. Semakin jauh, dan semakin jauh. Terus saja, sampai meninggalkan
jalan utama dan lorong-lorong, kemudian memasuki jalanan setapak. Tak juga
berhenti, sampai meninggalkan kawasan perumahan dan masuk ke dalam persimpangan
belukar.
Sampai
akhirnya, Marlin mengalah pada kemampuannya sendiri. Ia tak sanggup lagi
membendung debaran jantungnya yang mengencang dan rasa nyut-nyut di balik batok
kepalanya, seolah-olah ia berada di tubir maut. Ia lantas berhenti dan mengaso
di sebuah balai kecil yang berada di persimpangan jalan setepak yang
lengang.
Sesaat
kemudian, pikiraannya pun bekerja. Sebagai seorang polisi yang berpengalaman,
ia lantas memilih cara yang taktis. Ia sadar bahwa yang perlu ia lakukan
hanyalah bertindak senyap, kemudian menyergap anak itu diam-diam. Ia yakin
bahwa sang anak akan berhenti di suatu tempat, dan ia hanya perlu memerhatikan
dan mengikuti arahnya.
Namun
setelah sampai di lokasi yang menjadi titik terakhir keberadaan sang anak di dalam
jangkauan matanya, Marlin harus kembali berpikir. Ia jelas tak ingin menyerah
di rantang perburuan yang sudah terlanjur jauh. Hingga akhirnya, matanya
tertuju pada jejak-jejak kaki sang anak di jalan setapak yang basah setelah
hujan, dan ia yakin itu adalah petunjuk jitu.
Sambari
membaca jejak sang anak di antara jejak-jejak kaki yang lain, Marlin pun
kembali melangkah pelan. Ia terus saja mengamati secara jeli dan memilih pembelokan-pembelokan
jalan setapak di antara percabangan yang sederhana. Ia tak henti mengikuti
cetakan kaki kecil itu menuju ke sebuah titik tertentu.
Perlahan
tapi pasti. Setelah menjejaki sebuah pembelokan yang pendek, Marlin pun sampai
di depan sebuah rumah berdinding bambu yang tampak reyot. Ia lalu mendekat
senyap-senyap, seolah khawatir telah menyasar tujuan yang salah. Ia jelas tak
ingin bertindak gegabah dan mempermalukan dirinya sendiri.
Hingga
akhirnya, pandangan Marlin menjurus pada sepeda motor yang terparkir di samping
rumah itu. Satu sepeda motor yang telah termodifikasi untuk mengarungi jalan
yang menantang, seperti jalan setapak yang telah ia lalui. Sebuah bentuk sepeda
motor yang biasanya digunakan untuk mengangkut hasil pertanian di kaki bukit.
Sedetik
kemudian, pandangan Marlin tertuju pada sebuah helm berwarna hitam, semacam
helm proyek, yang menggantung di setir motor berkubang tanah itu. Seketika, ia teringat
tentang tindakannya kepada seorang pengendara lewat tengah hari tadi, saat
operasi. Seorang pengendara yang mengendarai sepeda motor yang serupa dengan
yang terparkir di samping rumah itu:
“Motor
Bapak ini punya banyak pelanggaran!” vonis Marlin, tegas, setelah mengamati perangkat
sepeda motor yang tidak lengkap dan menyalahi aturan. “Lampunya sennya tidak
ada, kaca spionnya tidak ada, knalpotnya bising, dan banyak lagi!”
“Maaf,
Pak,” kata sang pengendara yang tampak lebih tua darinya.
“Belum
lagi helm bapak yang tidak sesuai standar!” tambah Marlin.
“Sekali
lagi, maaf, Pak,” melas sang pengendara, dengan suara sendu. “Mohon dimaklumi,
Pak. Ini memang kendaraan untuk kepentingan berkebun.”
“Lalu
kenapa Bapak gunakan di jalan raya?” tanya Marlin, setengah membentak.
“Aku
tak punya kendaraan selain ini pak, dan terlalu jauh jika aku harus berjalan
kaki menuju pasar,” jelas sang pengendara dengan rupa sayu.
Marlin
mendengus. “Itu masalah Bapak sendiri!” balasnya. “Yang pasti, sesuai hukum,
Bapak telah melakukan banyak pelangaran!”
Sang
pengendara pun tertunduk lesu, kemudian berusaha mencari pengampunan, “Tapi aku
mohon dimaklumi, Pak. Untuk kali ini saja. Lain kali, aku tak akan
mengulanginya.”
Marlin
tertawa pendek. “Kalau hukum sudah dilanggar, maaf sudah tidak berlaku lagi,
Pak. Ini negera hukum. Bapak harus dihukum jika melalukan pelanggaran hukum,”
katanya, sambil menatap tegas sang pengendara.
Seolah
kehilangan harapan, sang pengendara pun mengeluh lemah. “Jadi aku harus
bagaimana, Pak?”
Marlin
berdeham. “Bapak hanya punya dua pilihan: menyelesaikan hukuman Bapak di sini,
atau menyelesaikannya di pengadilan.”
Sontak,
sang pengendara terkejut. “Maksud Bapak, aku akan masuk penjara?”
Marlin
tertawa pendek. “Itu mungkin kalau Bapak lewat jalur pengadilan. Kalau Bapak
bersedia menyelesaikannya di sini, bapak hanya perlu membayar denda.”
“Dendanya
berapa, Pak?” tanya sang pengendara dengan mata berkaca-kaca
Marlin
kembali memerhatikan sang pengendara beserta sepeda motornya. “Kalau
pelanggaran sebanyak ini, harusnya kena denda Rp. 500.000. Tapi karena Bapak
berhadapan denganku, Bapak cukup bayar Rp. 250.000. Sisanya, biar aku yang
atur.”
Seketika,
sang pengendara tersentak. “Aku tak punya uang sebanyak itu, Pak. Aku hanya punya
Rp. 150.000 yang akan aku gunakan untuk membeli beras dan ikan di pasar.”
Marlin
melempar wajah. “Mau bagaimana lagi, Pak? Bapak ini sudah terlanjur melakukan
pelanggaran hukum!”
Sang
pengendara menghela-hembuskan napas yang panjang.
Marlin
lalu menoleh kepada sang pengendara dengan rupa kecewa. “Tapi karena hari ini
aku berbaik hati, dan Bapak telah berjanji untuk tidak melakukan pelanggaran lagi,
maka tak apalah, Rp. 150.000 saja.”
Dengan
wajah kuyu, sang pengendara pun pasrah, “Baiklah, Pak!” Ia lalu merogoh saku
celananya, kemudian menyerahkan uang tersebut kepada sang polisi dengan
setengah tega.
“Ini
jalan terbaik yang bisa aku tawarkan kepada Bapak,” tutur Marlin. “Bapak masih beruntung
berhadapan denganku.”
Sang
pengemudi hanya mengangguk lemah dengan wajah penuh kesedihan. Ia lantas pulang
ke rumahnya, sebab uang ongkos belanjanya, telah ludes untuk membayar denda
yang tak terkira.
Merenungi
kejadian itu, tiba-tiba saja, air mata Marlin terjatuh. Emosinya kepada sang
penjambret, luruh seketika. Sampai akhirnya, ia tak lagi berkehendak untuk
menyelesaikan perburuan di akhir lintasan yang telah ia tempuh setengah mati. Batinnya
mengaku kalah. Ia memilih pulang, sembari merenungi kecongkakannya sebagai
seorang penegak hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar