Jumat, 01 Mei 2020

Perburuan

Ketika hari sudah sore, operasi lalu lintas yang menguras emosi akhirnya berakhir. Marlin pun menyudahi tugasnya di lapangan sebagai seorang polisi. Bersama lima orang kawannya, ia lantas berleha-leha di dalam pos, sembari merekapitulasi jumlah denda dan bukti pelanggaran untuk untuk penyelesaian laporan dan setoran.
 
Usai perhitungan, uang denda ternyata melebihi nominal yang tertera di berkas penilangan. Jelas, kelebihan itu berasal dari orang-orang yang ingin menyelesaikan masalah berkendaranya tanpa proses yang berbelit-belit. Dan seperti biasa, Marlin dan teman-temannya sepakat untuk menjadikan uang itu sebagai bonus kerja mereka secara langsung. 

Tanpa mengenakan pakaian dinas, Marlin pun bergegas membeli makanan dengan uang lebih itu. Ia lantas tiba di sebuah restoran. Dan beberapa lama kemudian, ia keluar sambil menenteng jajanannya. Namun tiba-tiba, seorang menjambret sekantong menu favorit itu. Ia pun sontak mengejar sang penjambret, sambil meneriakkan kata-kata perintah untuk berhenti.

Tetapi seolah tak peduli, remaja itu terus saja berlari secapat mungkin, dan Marlin harus berjuang keras untuk menggapainya. Apalagi, staminanya sudah menurun di tengah usia yang menua dan tubuh yang menambun. Sedang sebagai seorang polisi, ia jelas tak ingin dipecundangi oleh seorang lelaki yang tampak masih berumur belasan tahun.

Marlin terus mengayun langkahnya. Mengekori saja sang penjambret yang bebas menentukan lintasan lari. Semakin jauh, dan semakin jauh. Terus saja, sampai meninggalkan jalan utama dan lorong-lorong, kemudian memasuki jalanan setapak. Tak juga berhenti, sampai meninggalkan kawasan perumahan dan masuk ke dalam persimpangan belukar.

Sampai akhirnya, Marlin mengalah pada kemampuannya sendiri. Ia tak sanggup lagi membendung debaran jantungnya yang mengencang dan rasa nyut-nyut di balik batok kepalanya, seolah-olah ia berada di tubir maut. Ia lantas berhenti dan mengaso di sebuah balai kecil yang berada di persimpangan jalan setepak yang lengang.  

Sesaat kemudian, pikiraannya pun bekerja. Sebagai seorang polisi yang berpengalaman, ia lantas memilih cara yang taktis. Ia sadar bahwa yang perlu ia lakukan hanyalah bertindak senyap, kemudian menyergap anak itu diam-diam. Ia yakin bahwa sang anak akan berhenti di suatu tempat, dan ia hanya perlu memerhatikan dan mengikuti arahnya. 

Namun setelah sampai di lokasi yang menjadi titik terakhir keberadaan sang anak di dalam jangkauan matanya, Marlin harus kembali berpikir. Ia jelas tak ingin menyerah di rantang perburuan yang sudah terlanjur jauh. Hingga akhirnya, matanya tertuju pada jejak-jejak kaki sang anak di jalan setapak yang basah setelah hujan, dan ia yakin itu adalah petunjuk jitu.

Sambari membaca jejak sang anak di antara jejak-jejak kaki yang lain, Marlin pun kembali melangkah pelan. Ia terus saja mengamati secara jeli dan memilih pembelokan-pembelokan jalan setapak di antara percabangan yang sederhana. Ia tak henti mengikuti cetakan kaki kecil itu menuju ke sebuah titik tertentu.

Perlahan tapi pasti. Setelah menjejaki sebuah pembelokan yang pendek, Marlin pun sampai di depan sebuah rumah berdinding bambu yang tampak reyot. Ia lalu mendekat senyap-senyap, seolah khawatir telah menyasar tujuan yang salah. Ia jelas tak ingin bertindak gegabah dan mempermalukan dirinya sendiri.

Hingga akhirnya, pandangan Marlin menjurus pada sepeda motor yang terparkir di samping rumah itu. Satu sepeda motor yang telah termodifikasi untuk mengarungi jalan yang menantang, seperti jalan setapak yang telah ia lalui. Sebuah bentuk sepeda motor yang biasanya digunakan untuk mengangkut hasil pertanian di kaki bukit.

Sedetik kemudian, pandangan Marlin tertuju pada sebuah helm berwarna hitam, semacam helm proyek, yang menggantung di setir motor berkubang tanah itu. Seketika, ia teringat tentang tindakannya kepada seorang pengendara lewat tengah hari tadi, saat operasi. Seorang pengendara yang mengendarai sepeda motor yang serupa dengan yang terparkir di samping rumah itu:

“Motor Bapak ini punya banyak pelanggaran!” vonis Marlin, tegas, setelah mengamati perangkat sepeda motor yang tidak lengkap dan menyalahi aturan. “Lampunya sennya tidak ada, kaca spionnya tidak ada, knalpotnya bising, dan banyak lagi!”

“Maaf, Pak,” kata sang pengendara yang tampak lebih tua darinya. 

“Belum lagi helm bapak yang tidak sesuai standar!” tambah Marlin.

“Sekali lagi, maaf, Pak,” melas sang pengendara, dengan suara sendu. “Mohon dimaklumi, Pak. Ini memang kendaraan untuk kepentingan berkebun.”

“Lalu kenapa Bapak gunakan di jalan raya?” tanya Marlin, setengah membentak.

“Aku tak punya kendaraan selain ini pak, dan terlalu jauh jika aku harus berjalan kaki menuju pasar,” jelas sang pengendara dengan rupa sayu.

Marlin mendengus. “Itu masalah Bapak sendiri!” balasnya. “Yang pasti, sesuai hukum, Bapak telah melakukan banyak pelangaran!”

Sang pengendara pun tertunduk lesu, kemudian berusaha mencari pengampunan, “Tapi aku mohon dimaklumi, Pak. Untuk kali ini saja. Lain kali, aku tak akan mengulanginya.”

Marlin tertawa pendek. “Kalau hukum sudah dilanggar, maaf sudah tidak berlaku lagi, Pak. Ini negera hukum. Bapak harus dihukum jika melalukan pelanggaran hukum,” katanya, sambil menatap tegas sang pengendara.

Seolah kehilangan harapan, sang pengendara pun mengeluh lemah. “Jadi aku harus bagaimana, Pak?”

Marlin berdeham. “Bapak hanya punya dua pilihan: menyelesaikan hukuman Bapak di sini, atau menyelesaikannya di pengadilan.”

Sontak, sang pengendara terkejut. “Maksud Bapak, aku akan masuk penjara?”

Marlin tertawa pendek. “Itu mungkin kalau Bapak lewat jalur pengadilan. Kalau Bapak bersedia menyelesaikannya di sini, bapak hanya perlu membayar denda.”

“Dendanya berapa, Pak?” tanya sang pengendara dengan mata berkaca-kaca

Marlin kembali memerhatikan sang pengendara beserta sepeda motornya. “Kalau pelanggaran sebanyak ini, harusnya kena denda Rp. 500.000. Tapi karena Bapak berhadapan denganku, Bapak cukup bayar Rp. 250.000. Sisanya, biar aku yang atur.”

Seketika, sang pengendara tersentak. “Aku tak punya uang sebanyak itu, Pak. Aku hanya punya Rp. 150.000 yang akan aku gunakan untuk membeli beras dan ikan di pasar.”

Marlin melempar wajah. “Mau bagaimana lagi, Pak? Bapak ini sudah terlanjur melakukan pelanggaran hukum!”

Sang pengendara menghela-hembuskan napas yang panjang.

Marlin lalu menoleh kepada sang pengendara dengan rupa kecewa. “Tapi karena hari ini aku berbaik hati, dan Bapak telah berjanji untuk tidak melakukan pelanggaran lagi, maka tak apalah, Rp. 150.000 saja.”

Dengan wajah kuyu, sang pengendara pun pasrah, “Baiklah, Pak!” Ia lalu merogoh saku celananya, kemudian menyerahkan uang tersebut kepada sang polisi dengan setengah tega.

“Ini jalan terbaik yang bisa aku tawarkan kepada Bapak,” tutur Marlin. “Bapak masih beruntung berhadapan denganku.”

Sang pengemudi hanya mengangguk lemah dengan wajah penuh kesedihan. Ia lantas pulang ke rumahnya, sebab uang ongkos belanjanya, telah ludes untuk membayar denda yang tak terkira.

Merenungi kejadian itu, tiba-tiba saja, air mata Marlin terjatuh. Emosinya kepada sang penjambret, luruh seketika. Sampai akhirnya, ia tak lagi berkehendak untuk menyelesaikan perburuan di akhir lintasan yang telah ia tempuh setengah mati. Batinnya mengaku kalah. Ia memilih pulang, sembari merenungi kecongkakannya sebagai seorang penegak hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar