Di
usia lanjut, kehidupan malah terasa semakin mengkhawatirkan bagi Lia. Jatah
rezekinya seolah susut seiring pertambahan usianya. Toko kelontong miliknya
sebagai sumber pendapatan satu-satunya, jadi sepi pembeli. Sedang sebagai
seorang janda tua, ia harus berjibaku menebus berbagai macam obat untuk berbagai
macam penyakitnya.
Perasaan
Lia pun terus-menerus dilingkupi kecemasan. Bukan karena ia takut menghadapi
kematian, tapi karena ia takut bahwa anak semata wayangnya, Riman, akan
menderita menjalani kehidupan setelah ia meninggal. Pasalnya, ia tak akan
meninggalkan warisan yang memadai setelah
isi tabungannya terkuras, sedang aset-usahanya tampak menuju kebangkrutan.
Sampai
akhirnya, Lia benar meninggal dalam keadaan miskin. Ia meninggal di rumahnya
setelah kehabisan daya untuk mengupayakan pengobatan medis. Ia meninggal di tengah
kehidupan perekonomian yang sekarat untuk sekadar bertahan hidup. Ia meninggal
tanpa meninggalkan perihal yang berarti untuk bekal hidup anaknya.
Tak
lama setelah meninggal, apa yang ia khawatirkan pun terjadi. Toko kelontongnya
tutup setelah Riman merasa setengah hati mempertahankannya. Riman yang akhirnya
putus sekolah ketika ia masih duduk di bangku kelas dua SMA, kini hanya berdiam
diri di rumah, sembari bertahan hidup dengan apa yang ada.
Tidak
terelakkan lagi. Kehidupan terasa berat bagi Riman. Mau tak mau, ia harus
berjuang untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya, ia melihat pengumuman lowongan kerja
di tembok lorong. Sebuah toko ritel modern yang beroperasi di dekat rumahnya, menawarkan
pekerjaan pramuniaga, khusus untuk pemuda-pemudi yang tinggal di sekitar toko, dan
itu membuatnya dilematis.
Perlahan-lahan,
Riman kembali teringat pada percakapannya dengan sang ibu, ketika toko
kelontong milik mereka mulai merangkak menuju kebangkrutan:
“Dahulu,
toko kita sangat banyak pelanggan, Nak. Orang berdatangan silih berganti, dan
kita bisa mendapatkan keuntungan yang sangat mencukupi untuk kebutuhan keluarga
kita,” kisah Lia, lalu menatap sedih ke ruang toko miliknya yang lengang.
Riman
cuek saja, seolah-olah semua akan baik-baik saja.
“Tapi
keadaan berubah ketika toko ritel modern itu masuk ke sini dan menghimpit toko
kita. Dari segala arah, orang-orang tak lagi punya selera untuk berbelanja di
toko kita. Mereka lebih memilih singgah di toko-toko yang tampak mewah itu,”
tutur Lia lagi, dengan nada kesedihan.
Sambil
menatap layar televisi, Riman menanggapi dengan biasa saja, “Kita tak boleh
menyalahkan usaha orang lain karena usaha kita tak berjalan dengan baik, Bu.
Kita harus bersaing secara sehat,” katanya, sebagaimana yang ia pahami dari
mata pelajaran ekonomi.
Lia
menghela-hembuskan napas yang lemah. “Apa yang kau katakan itu memang benar,
Nak. Tapi masalahnya, kita bersaing
dengan kekuatan yang tidak seimbang. Para peritel itu punya modal besar untuk mengembangkan
bisnis dengan fasilitas penjualan dan pelayanan yang mumpuni, sedangkan modal
kita yang pas-pasan hanya cukup untuk mempertahankan roda usaha agar tetap
berputar.”
“Sabar
saja, Bu,” tanggap Riman seketika. “Rezeki kan diatur oleh Tuhan. Kalau
pendapatan kita semakin berkurang, ya itu karena jatah rezeki kita sudah
demikian,” terangnya, sebagaimana yang ia pahami dari mata pelajaran agama.
“Tapi
bagaimana pun, kita harus berusaha untuk mempertahankan hidup dan kehidupan
kita, Nak,” sanggah Lia, terdengar seperti menasehati.
Riman
bergerming.
“Pedagang-pedagang
kecil seperti kita, seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Keberadaan
toko ritel modern seharusnya dibatasi, bahkan dilarang untuk kawasan yang
banyak toko kelontongnya. Jika tidak begitu, aku khawatir, pemilik toko
kelontong seperti kita akan bangkrut dan jatuh miskin, sedang segelintir
pengusaha ritel akan semakin kaya," katanya, penuh kekhawatiran.
Seolah
tak merasakan kecemasan, Riman mendengus. “Sabarlah, Bu, semua akan baik-baik
saja,” katanya, di tengah kebutuhan dan keinginan hidupnya yang masih
tertalangi dengan baik di waktu itu.
Percakapan
mereka akhirnya berakhir dengan ketidaksepahaman.
Setelah
sekian lama, di masa kini, Riman benar-benar merenungi percakapannya dengan
sang ibu di kala itu. Ia seolah-olah menjadi ilmuan ekonomi yang mencoba
menganalisis fakta dengan ramalan-ramalan sang ibu.
Namun
setelah perenungan yang mendalam tentang masa lalu dan masa depan penghidupannya,
Riman akhirnya memutuskan untuk melamar pekerjaan di toko ritel dekat rumahnya
itu. Ia lantas berangkat ke toko dengan membawa beberapa persyaratan yang mesti
dipenuhi.
Akhirnya,
dua minggu setelahnya, Riman diterima sebagai pegawai.
Setelah
bekerja selama tiga bulan, Riman pun semakin memahami fakta perekonomian secara
lebih akurat. Ia menyaksikan bahwa pendapatan toko ritel terus meningkat, sedang
toko-toko kelontong di sekitarnya bangkrut satu demi satu. Dan sebagaimana
dirinya, sanak-keluarga pemilik toko kelontong yang dahulu berjaya, kini hanya
menjadi pegawai di toko ritel, atau sekadar menjadi konsumen toko ritel yang
membeli barang dengan susah payah.
Pada
akhirnya, Riman membenarkan taksiran ibunya dahulu. Ia membenarkan bahwa
kehidupannya bersama sang ibu dari toko kelontong, hancur-lebur karena
keberadaan toko ritel modern. Begitu pula dengan kehidupan keluarga pemilik
toko kelontong yang lain. Hingga akhirnya, ia mulai acuh tak acuh ketika
beberapa pembeli yang merupakan warga sekitar, pura-pura datang ke toko hanya
untuk mengutil barang dagangan demi kehidupan sehari-hari.
Sampai
ketika, kegemparan terjadi. Di akhir bulan keempat masa kerjanya, toko ritel
modern tempatnya bekerja mengalami kebakaran hebat. Barang-barang ludes, dan ia
terancam kehilangan pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar