Jumat, 01 Mei 2020

Toko

Di usia lanjut, kehidupan malah terasa semakin mengkhawatirkan bagi Lia. Jatah rezekinya seolah susut seiring pertambahan usianya. Toko kelontong miliknya sebagai sumber pendapatan satu-satunya, jadi sepi pembeli. Sedang sebagai seorang janda tua, ia harus berjibaku menebus berbagai macam obat untuk berbagai macam penyakitnya.
 
Perasaan Lia pun terus-menerus dilingkupi kecemasan. Bukan karena ia takut menghadapi kematian, tapi karena ia takut bahwa anak semata wayangnya, Riman, akan menderita menjalani kehidupan setelah ia meninggal. Pasalnya, ia tak akan meninggalkan warisan  yang memadai setelah isi tabungannya terkuras, sedang aset-usahanya tampak menuju kebangkrutan.

Sampai akhirnya, Lia benar meninggal dalam keadaan miskin. Ia meninggal di rumahnya setelah kehabisan daya untuk mengupayakan pengobatan medis. Ia meninggal di tengah kehidupan perekonomian yang sekarat untuk sekadar bertahan hidup. Ia meninggal tanpa meninggalkan perihal yang berarti untuk bekal hidup anaknya. 

Tak lama setelah meninggal, apa yang ia khawatirkan pun terjadi. Toko kelontongnya tutup setelah Riman merasa setengah hati mempertahankannya. Riman yang akhirnya putus sekolah ketika ia masih duduk di bangku kelas dua SMA, kini hanya berdiam diri di rumah, sembari bertahan hidup dengan apa yang ada. 

Tidak terelakkan lagi. Kehidupan terasa berat bagi Riman. Mau tak mau, ia harus berjuang untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya, ia melihat pengumuman lowongan kerja di tembok lorong. Sebuah toko ritel modern yang beroperasi di dekat rumahnya, menawarkan pekerjaan pramuniaga, khusus untuk pemuda-pemudi yang tinggal di sekitar toko, dan itu membuatnya dilematis.

Perlahan-lahan, Riman kembali teringat pada percakapannya dengan sang ibu, ketika toko kelontong milik mereka mulai merangkak menuju kebangkrutan:

“Dahulu, toko kita sangat banyak pelanggan, Nak. Orang berdatangan silih berganti, dan kita bisa mendapatkan keuntungan yang sangat mencukupi untuk kebutuhan keluarga kita,” kisah Lia, lalu menatap sedih ke ruang toko miliknya yang lengang. 

Riman cuek saja, seolah-olah semua akan baik-baik saja.

“Tapi keadaan berubah ketika toko ritel modern itu masuk ke sini dan menghimpit toko kita. Dari segala arah, orang-orang tak lagi punya selera untuk berbelanja di toko kita. Mereka lebih memilih singgah di toko-toko yang tampak mewah itu,” tutur Lia lagi, dengan nada kesedihan.

Sambil menatap layar televisi, Riman menanggapi dengan biasa saja, “Kita tak boleh menyalahkan usaha orang lain karena usaha kita tak berjalan dengan baik, Bu. Kita harus bersaing secara sehat,” katanya, sebagaimana yang ia pahami dari mata pelajaran ekonomi.

Lia menghela-hembuskan napas yang lemah. “Apa yang kau katakan itu memang benar, Nak.  Tapi masalahnya, kita bersaing dengan kekuatan yang tidak seimbang. Para peritel itu punya modal besar untuk mengembangkan bisnis dengan fasilitas penjualan dan pelayanan yang mumpuni, sedangkan modal kita yang pas-pasan hanya cukup untuk mempertahankan roda usaha agar tetap berputar.”

“Sabar saja, Bu,” tanggap Riman seketika. “Rezeki kan diatur oleh Tuhan. Kalau pendapatan kita semakin berkurang, ya itu karena jatah rezeki kita sudah demikian,” terangnya, sebagaimana yang ia pahami dari mata pelajaran agama.

“Tapi bagaimana pun, kita harus berusaha untuk mempertahankan hidup dan kehidupan kita, Nak,” sanggah Lia, terdengar seperti menasehati.

Riman bergerming.

“Pedagang-pedagang kecil seperti kita, seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Keberadaan toko ritel modern seharusnya dibatasi, bahkan dilarang untuk kawasan yang banyak toko kelontongnya. Jika tidak begitu, aku khawatir, pemilik toko kelontong seperti kita akan bangkrut dan jatuh miskin, sedang segelintir pengusaha ritel akan semakin kaya," katanya, penuh kekhawatiran.

Seolah tak merasakan kecemasan, Riman mendengus. “Sabarlah, Bu, semua akan baik-baik saja,” katanya, di tengah kebutuhan dan keinginan hidupnya yang masih tertalangi dengan baik di waktu itu.

Percakapan mereka akhirnya berakhir dengan ketidaksepahaman.

Setelah sekian lama, di masa kini, Riman benar-benar merenungi percakapannya dengan sang ibu di kala itu. Ia seolah-olah menjadi ilmuan ekonomi yang mencoba menganalisis fakta dengan ramalan-ramalan sang ibu.

Namun setelah perenungan yang mendalam tentang masa lalu dan masa depan penghidupannya, Riman akhirnya memutuskan untuk melamar pekerjaan di toko ritel dekat rumahnya itu. Ia lantas berangkat ke toko dengan membawa beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi.

Akhirnya, dua minggu setelahnya, Riman diterima sebagai pegawai.

Setelah bekerja selama tiga bulan, Riman pun semakin memahami fakta perekonomian secara lebih akurat. Ia menyaksikan bahwa pendapatan toko ritel terus meningkat, sedang toko-toko kelontong di sekitarnya bangkrut satu demi satu. Dan sebagaimana dirinya, sanak-keluarga pemilik toko kelontong yang dahulu berjaya, kini hanya menjadi pegawai di toko ritel, atau sekadar menjadi konsumen toko ritel yang membeli barang dengan susah payah.

Pada akhirnya, Riman membenarkan taksiran ibunya dahulu. Ia membenarkan bahwa kehidupannya bersama sang ibu dari toko kelontong, hancur-lebur karena keberadaan toko ritel modern. Begitu pula dengan kehidupan keluarga pemilik toko kelontong yang lain. Hingga akhirnya, ia mulai acuh tak acuh ketika beberapa pembeli yang merupakan warga sekitar, pura-pura datang ke toko hanya untuk mengutil barang dagangan demi kehidupan sehari-hari. 

Sampai ketika, kegemparan terjadi. Di akhir bulan keempat masa kerjanya, toko ritel modern tempatnya bekerja mengalami kebakaran hebat. Barang-barang ludes, dan ia terancam kehilangan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar