Zaky
dan Akra adalah dua orang saudara kandung. Umur mereka hanya terpaut satu
tahun. Zaky berumur 7 tahun, sedangkan Azka hampir 6 tahun. Maka, sebagai seorang
kakak, Zaky sering bertindak otoriter terhadap Azka. Memaksakan kehendak. Namun
Azka bukanlah adik yang manut saja. Sesekali ia melawan.
Di
usia anak-anak, jelas, emosi mereka masih labil. Persoalan kecil selalu
berpotensi memicu pertengkaran. Rebutan makanan, mainan, batas tempat tidur,
adalah sebagian dari sebab pertikaian. Mau tak mau, ayah-ibu mereka harus turun
tangan sebagai juru damai jika terjadi konflik serius.
Kegemaran
bersilang pendapat di antara mereka, akhirnya menimbulkan sikap saling curiga. Mudah
saling menuduh untuk perihal yang belum jelas sebab-musababnya. Bahkan, tiga
bulan lalu, mereka beradu jotos tanpa alasan yang pasti. Ceritanya, mereka
saling menuduh atas hilangnya buah mangga milik mereka masing-masing, buah
pemberian tetangga, yang mereka taruh di dalam kulkas. Dan belakangan ketahuan,
kakak sulung merekalah pelakunya.
Untuk
menghindari pertengkaran berulang gara-gara mangga, maka setelah perkelahian
itu, Harmi, sang ibu, menyarankan agar mereka menanam pohon mangga. Saran itu mereka
terima. Mereka pun menanam biji mangga pemberian tetangga di halaman belakang
rumah.
Sampai
akhirnya, pagi ini, keegoisan dan kesinisan di antara mereka, kembali memicu
percekcokan. Pokok masalahnya terkait pohon mangga yang baru mereka tanam beberapa
bulan lalu. Entah bagaimana ceritanya, pohon mangga mereka, tercabut dari
tanah. Tanpa benar-benar tahu penyebabnya, mereka langsung saja saling menuduh.
“Azka!
Ke sini cepat!” teriak Zaky. Kaget melihat mangganya tercerabut saat hendak
membubuhkan pupuk.
Tak
berselang lama, Azka pun segera menemuinya di halaman belakang rumah. “Ada
apa?”
“Kamu
jangan pura-pura! Apa maksudmu mencabut pohon manggaku?” bentak Zaky.
Menyeringai. Matanya melotot.
Azka
mendekat ke lahan mangga Zaky. “Bukan aku pelakunya.”
“Lalu
siapa lagi kalau bukan kau?” Zaky menjadi semakin geram. “Aku tahu, kau pasti
iri kan karena pohon manggaku lebih subur dari punyamu. Iya kan?”
“Jangan
asal menuduh. Serius, bukan aku pelakukanya. Aku tak akan melanggar kesepakatan
kita,” tutur Azka. Sedikit gugup.
Zaky
tak membalas. Hanya terdiam meredam amarahnya.
Azka
lalu berbalik. Hendak memeriksa tanamannya sendiri. Dan tenyata, pohon mangga
miliknya, juga tercabut. Bahkan, sobekan karung yang melingkupinya, juga
porak-poranda. “Kenapa Kakak melakukan ini? Kan bukan aku yang mencabut mangga
milik Kakak,” tuturnya, sembari terisak tangis.
“Bukan
aku yang melakukannya. Serius!” tutur Zaky. Sikapnya berubah drastis melihat
adiknya menangis.
Tanpa
bicara lagi, Zaky berlari ke dalam rumah. Hendak mengadu kepada ayah-ibunya
seperti biasa.
Kemudian, tak berselang lama, ayah mereka, Mustari, turut melihat perihal yang mereka permasalahkan.
“Aku
yakin, pelakunya bukan kalian berdua. Kalian tahu, setiap malam, babi selalu
berkeliaran di sekitar sini untuk mencari makanan. Aku yakin, babilah yang
mencabut pohon mangga kalian,” tutur Musatari di hadapan kedua anaknya.
Zaky
dan Azka saling menatap sepintas. Amarah di antara mereka berangsur-angsur mereda.
“Lain
kali, kalian jangan saling menuduh. Sebagai saudara, kalian harusnya saling percaya
dan saling membantu. Jangan benci-bencian seperti ini,” sambung Mustari. “Sudahlah.
Besok, temani ayah ke kebun. Sebaiknya, kalian menanam mangga di sana.”
Zaky
dan Azka kompak menunjukkan ekspresi tak suka. Jelas, mereka ogah-ogahan jika
harus menelusuri semak belukar menuju kebun.
“Terus,
siapa yang akan menjaganya, Pak? Kebun kan jauh, harus menanjaki bukit,” protes
Zaky. “Biar kami tanam di sini lagi, Pak.”
Azka
mengangguk. Setuju dengan kakaknya.
“Tak
usah khawatir. Biar kita buat pagar pelindungnya bersama-sama. Aku tahu
caranya. Yang penting jangan menanam mangga di sini lagi. Kalian tahu, pohon
mangga itu, tak seperti pohon tomat. Kalau kalian menanam mangga dengan jarak
dua meter saja, aku yakin, kelak keduanya akan saling mengganggu. Lahan di sini
sempit, Nak,” jelas Mustari.
Mereka
berdua tak membantah.
“Apalagi,
kalau mangga kalian besar, bisa-bisa menggangu rumah kita dan rumah tetangga,”
sambung Mustari.
Mereka
berdua pun mengangguk. Sama-sama tampak setuju.
Mustari
pun merasa tenang, sebab kedua anaknya bisa mengerti dan menerima
penjelasannya. Padahal sesungguhnya, tanpa kedua anaknya tahu, semalam, dialah yang
bertindak sebagai babi. Ia mencabut tanaman mangga kedua anaknya untuk beberapa
alasan yang kini telah mereka terima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar