Dalam
kepolosannya, Riko merasa anak yang paling beruntung di dunia. Ia punya Udin, sosok ayah yang selalu ia bangga-banggakan. Walau ibunya telah tiada,
pergi jauh setelah bercerai, itu tak ia persoalkan.
Apalagi, kehadiran ayahnya mampu menutupi segala kekurangan. Sempurna. Ayahnya
adalah sosok yang tangguh, sekaligus penuh kelembutan.
Tiap
kali beradu dengan teman-temannya tentang kehandalan ayah masing-masing, Riko
jelas tak kalah bersaing. Ia selalu menyerukan kalau ayahnya adalah kapten
kapal yang handal, penjelajah dunia, serta penakluk para penghuni laut. Penuturannya
mengagumkan. Hingga, ceritanya tentang sosok ayah, menjadi serupa dongeng yang
dinanti dan dielu-elukan anak yang lain.
Siang
ini, sepulang dari sekolah, Riko terlihat murung. Padahal tak ada rutinitas
ayahnya yang berubah sebagaimana hari-hari sebelumnya. Ayahnya tetap mengantar
dan menjemputnya di sekolah tepat waktu, juga menyiapkan segala kebutuhannya
sehari-hari.
“Kamu
kenapa, Nak? Kok murung begitu?” tanya Udin pada anaknya.
Raut
wajah Riko tampak bersungut-sungut. “Aku tak suka pada teman-temanku!”
Udin
segera mendekat, lalu membungkuk, menatap mata sang anak yang masih duduk di
kelas 2 sekolah dasar itu. “Lah, kenapa bisa? Kau tak boleh membenci temanmu,
Nak.”
Rona
wajah Riko semakin kesal. “Mereka tak percaya lagi kalau Ayah adalah seorang
kapten kapal yang handal. Mereka menganggapku bergurau tentang Ayah. Aku tak
suka!”
Udin
setengah kaget mendengar penuturan anaknya. “Kok bisa begitu? Kau sudah
jelaskan baik-baik pada mereka, kan?”
“Sudah,
Ayah,” tegas Riko. “Aku sudah jelaskan semua, seperti apa yang Ayah ceritakan
padaku. Tapi, mereka malah mengolok-olokku.” Sejenak, Riko berhenti berucap,
kemudian menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya. “Kata mereka, seorang kapten tak mungkin pulang
setiap hari ke rumah. Ayah kan tak pernah pergi lama lewat sehari.” sambungnya.
“Mereka sok tahu!”
Udin
duduk di samping sang anak, lalu mengusap-usap rambutnya. “Ya, jelas saja aku
tak ingin meninggalkanmu walau sehari. Aku selalu mengkhawatirkanmu, Nak. Besok-besok,
bilang saja ke mereka kalau aku punya banyak anak buah. Aku tak mesti turun
tangan untuk mengendalikan kapal. Mereka pasti percaya.”
Lama-lama,
otot-otot wajah Riko mulai meregang. Hingga akhirnya satu senyuman merekah di
wajahnya.
“Kapan-kapan,
kau ajak saja teman-temanmu ke rumah. Biar mereka lihat sendiri peralatan
melaut dan seragam kapten Ayah,” tawar Udin.
Seketika,
Riko menjadi senang, kemudian memeluk ayahnya. Kebanggaan di dalam dirinya,
kembali menyeruak kala menatap satu setelan seragam yang menggantung di dinding.
Jas itulah yang selalu ditenteng ayahnya tiap kali beranjak ke pelabuhan.
Riko
lalu mengurai pelukannya. “Ayah, makanan ringan di kulkas sudah habis. Kemarin,
beberapa aku berikan kepada seorang pengemis yang datang ke rumah. Aku kasihan
melihatnya. Aku minta maaf tidak bilang-bilang terlebih dahulu pada Ayah,”
akunya.
“Tak
apa-apa, Nak. Itu tindakan yang terpuji. Kau harus membiasakan dirimu menjadi
orang yang baik. Jangan suka berbuat jahat, karena suatu saat, kejahatan itu
bisa jadi candu, Nak,” nasihat Udin. “Untuk makanan ringanmu yang habis, akan
kuganti. Nanti, aku belikan lagi di pelabuhan.”
Tiba-tiba,
telepon genggam Udin berdering. Ia pun segera melangkah menjauh dari anaknya
untuk memberikan jawaban. Raut wajahnya tampak sangat serius. Ia larut dalam
percakapan yang alot. Nada suaranya tak terkendali.
Seketika
sambungan telepon terputus, Udin pun bergegas mempersiapkan diri. Ia berencana
pergi ke satu tempat rahasia untuk bersembunyi. Pasalnya, polisi mengendus
urusannya di tepi laut. Barang selundupan yang selalu ia jemput di pelabuhan
"tikus", terendus radar kepolisian. Barang itu adalah paket terlarang: narkoba.
“Nak,
maafkan aku. Ada urusan mendadak di pelabuhan. Aku harus pergi." Udin lalu
memeluk anaknya erat-erat. Air matanya, nyaris tak tertahan. “Jaga dirimu
baik-baik. Jika aku tak kembali sampai besok pagi, hubungilah ibumu,” pesannya, kemudian menyerahkan sebuah nomor telepon pada secarik kertas.
Riko
mengangguk. Nasihat itu sudah sering ia dengar, meski saran untuk menghubungi
sang ibu, baru sekali ini. “Aku akan baik-baik saja, Ayah.”
Dengan
sekali kecupan di dahi sang anak, Udin pun bergegas pergi, tanpa membawa
seragam kapten kapalnya. Dan hari ini, ia tak akan pulang dengan sejumlah
oleh-oleh dari pelabuhan. Entah berapa lama. Mungkin, untuk beberapa hari,
sebagaimana kapten kapal sungguhan. Atau bisa jadi selamanya, sebagaimana
pelayar sejati yang gugur di tengah laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar