Karyo
senang bukan kepalang. Ia tak henti berkhayal tentang wanita pujaannya, Husni. Itu
karena hari ini, setelah gajian, ia akan menunaikan janjinya untuk membawa gadis
cantik itu berjalan-jalan, menelusuri seluruh penjuru kota. Hingga sepulang
kerja, ia mengebut sepeda motornya. Tak tahan untuk segera berjumpa dengan sang
idaman.
Alur
perjalanan romantisnya kali ini, telah dirancang Karyo jauh-jauh hari. Di awal,
akan ada prosesi santap makan di sebuah restoran elit. Di situlah ia hendak
mengungkapkan maksudnya meminang Husni. Ia yakin perasaannya tak tertolak.
Setelah itu, ia akan mengajak Husni membeli perhiasan mewah. Sepasang cincin
yang akan dijadikan simbol ikatan cinta suci mereka, kelak.
Sungguh,
perasaan Karyo berbunga-bunga. Ia bak seorang pengeran yang hendak menjemput
seorang putri yang cantik jelita. Ia benar-benar terlena dengan angan-angannya.
Sebagaimana orang yang jatuh cinta, ia merasa dunia hanya miliknya bersama sang
kekasih. Segenap suara pun jadi serasa bernada, segala bebauan jadi harum, dan
semua tampakan bak lukisan surga.
Demi
khayalannya, Karyo tak mau ada yang mengganggu rencananya hari ini. Selain
untuk Husni, semua akan ia abaikan.
Hingga
akhirnya, kala masih di tengah perjalanan, seorang Ibu tua, mencoba menahan
laju motornya. Sambil menenteng sebuah keranjang, Ibu itu terlihat melambaikan-lambaikan
tangan. Berseru, sambil tersenyum. Seperti memberi pesan kalau ia ingin diberi
tumpangan di tengah terik matahari yang mengendap di aspal.
Namun,
tekad Karyo kuat. Sekali lagi, tak ada yang boleh merecoki hari spesialnya. Ia
tak ingin menghiraukan siapa pun, apalagi orang yang tak dikenalnya. Apalagi, ada
kemungkinan si Ibu tua bertempat tinggal di tempat yang jauh. Jelas, itu bisa
membuat ia ingkar janji pada Husni, untuk datang menjemputnya tepat waktu. Maka, tanpa rasa
bersalah, ia pun melewatkan si Ibu begitu saja.
Seiring
sikap pengabaiannya, seberkas wajah yang mirip si Ibu, terlintas di benaknya
seketika. Tapi tentang kapan dan di mana wajah itu dilihatnya, ia tak tahu
pasti. Seperti de javu. Dan, sekeras
apa pun ia coba mengingat-ingat, tetap tak berhasil. Maka, tanpa mau pusing
lebih lama, ia pun mengebut kembali laju sepeda motornya.
Tak
berselang lama, Karyo akhirnya sampai di rumah Husni. Seusai memastikan penampilannya
baik-baik saja, ia pun melangkah penuh wibawa, menuju teras rumah. Setelah
berdeham dua kali terlebih dahulu, ia lalu mengetuk daun pintu. Berharap segera
disambut dengan senyuman termanis.
Tanpa
menunggu lama, gadis pujaannya, muncul dengan dandanan yang belum kelar. “Ayo
masuk.”
Karyo
pun melangkah ke ruang tamu.
“Kamu
tunggu di luar dulu ya,” pesan Husni. “Maaf ya, aku belum siap. Bisa tunggu
sebentar lagi kan?” tuturnya, sambil terus meratakan bedaknya yang belepotan.
Karyo
mengangguk tegas. “Iya. Seberapa lama pun, aku akan menunggumu kok,” balasnya.
Husni
pun kembali ke ruang belakang untuk menyelesaikan dandanannya.
Kala
ditinggal sendiri, mata Karyo pun terarah ke seluruh penjuru ruangan. Hingga sebuah
foto berbingkai yang menggantung di dinding, menyita perhatiannya. Dan setelah
kembali menerawang ingatannya dalam-dalam, ia pun tahu, siapa sosok Ibu yang
mencoba menahannya di tengah jalan tadi.
Husni
datang kembali. Tampilannya terlihat sangat menawan. “Ayo, berangkat! Aku sudah
siap!” tegasnya, penuh semangat.
Karyo
masih termenung. Tak menghiraukan seruan gadis pujaannya.
Husni
jadi heran. “Kamu kenapa?”
“Ibumu
di mana?” Karyo malah balik bertanya.
“Dia
ke pasar. Mungkin sebentar lagi datang,” balas Husni dengan raut wajah yang
menggemaskan.
“Apa
ibumu mengenal betul wajahku?” tanya Karyo lagi.
Husni
tampak bingung. “Iya. Aku juga sering memperlihatkan fotomu padanya. Memangnya
kenapa?”
Karyo
menggeleng. “Tak mengapa,” balasnya, lalu terdiam beberapa detik. Seperti
berdialog dengan dirinya sendiri. “Oke, ayo berangkat.”
Husni
tersenyum manis. “Kau akan membawaku ke mana?”
Wajah
Karyo datar saja. Tak sesemringah di awal kedatangannya. “Ya, seperti janjiku,
kita akan melahap makanan terenak di restoran,” jawabnya, sembari berusaha menyembunyikan
kekalutannya.
Rencana
Karyo berubah. Tak ada lagi tentang cincin, kecuali setelah ia mengeles dan sungkem
pada sang calon mertua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar