Sepi
pernah menuntunmu menuju ke arahku. Kau datang menawarkan cinta dengan bahasa
isyarat. Sangat tersirat, namun masih bisa kuterka. Kutahu pasti, kau mencari
ruang kosong di hatiku, untuk kau diami. Tapi aku memilih mengabaikan maksudmu.
Bukan berarti aku tak mengerti, hanya tak ingin.
Akhirnya,
kau pun kembali kepada siapa seharusnya kau berlabuh. Bukan aku, tapi dia. Dialah
sosok lelaki yang telah merenggut cintamu sejak awal. Maka, sudah sepatutnya
kau tak berpindah ke lain hati, apalagi mengetuk hati yang telah mati, hatiku.
Aku telah bertekad untuk tak mencintai dan dicintai olehmu, selamanya.
Dan
hari ini, kita mengobrol lagi, saat aku dan kalian bertemu di sebuah kafe tanpa
sengaja.
“Bagaimana
kabarmu?” Pertanyaan klasik itu meluncur dari mulutku kala gugup, saat dia
meninggalkan kita berdua untuk memesan minuman.
Kau
pun mengangkat wajah, sembari tersenyum singkat. Kedua bola mata di balik lensa
kacamatamu, menatapku segan. “Baik. Kau sendiri?”
Segera
kurespons tanyamu untuk menyembunyikan kekakuan, “Ya, baik-baik saja. Masih
seperti dulu. Tak ada yang berubah.” Kemudian, aku mulai menyelidik dengan
hati-hati. “Hubungan kalian masih baik-baik saja kan?”
Kau
hanya mengangguk sembari tersenyum simpul. Tak berkata sepatah kata pun.
Aku
pun jadi bingung bagaimana melanjutkan percakapan. Kurasa, aku telah salah
menanyakan perihal kalian. Tapi memang, hanya itulah yang sepantasnya
kupertanyakan. Adalah salah besar jika aku mengulas kembali tentang kedekatan
kita di masa lalu. Aku takut ada hati yang terluka.
Dan,
di tengah obrolan kita yang kaku, belahan hatimu yang juga senior kita di
kampus, datang memecah suasana. “Hai, ini untukmu kawan,” tuturnya, sambil
meletakkan secangkir kopi di depanku. “Dan ini, untukmu sayang,” tuturnya lagi,
sembari meletakkan secangkir teh di depanmu.
Kita
pun terjebak dalam kebekuan. Aku dan kau pastilah sama-sama bingung menyikapi kanyataan bahwa
kita tak mungkin lagi mengulik tentang kebersamaan di waktu lampau. Telah ada
dia, pendampingmu menelusuri masa depan. Maka, sudah tamat tentang kita. Kini,
hanya tentang aku dan kalian.
“Apa
rencanamu ke depan? Aku dengar-dengar, kau handal menulis. Apa kau punya rencana
menjadi seorang wartawan?” Dia bertanya, sambil mengaduk-aduk secangkir
kopi-susu di depannya.
“Ya,
memang aku ada rencana. Tapi untuk sementara waktu, aku tak ingin terikat. Aku
masih asyik menjadi seorang penulis lepas, meski dengan pendapatan yang tidak
menentu,” jawabku.
Dia
mengangguk, sambil menyeruput minuman hangatnya beberapa kali. “Aku setuju
denganmu. Bekerja dalam tekanan, memang sangat menjemukan. Jelas, tak ada
ketenangan dalam pola kerja yang diburu deadline,”
timpalnya sambil tertawa pendek, lalu memandang ke arahmu, “Seperti yang kutahu
darinya, kau punya potensi untuk menjadi penulis besar.”
Aku
tiba-tiba kehabisan kata mendengar pujianmu untukku, dari mulut seseorang yang
telah merenggutmu dariku. “Jangan berlebihan. Dia lebih handal dariku.” Aku
balas memujimu, melalui dirinya juga.
Kau
bergeming. Masih tak antusias menanggapi obrolan kami. Kau hanya memandang
suasana sekitar atau menoleh pada kami sesekali. Terpaksa menyela jika ada
keperluan. Selebihnya, kau baru berpendapat kalau ditanya. Jelas, aku tak bisa
membaca jalan pikiran dan isi hatimu saat ini.
Di
tengah keheningan, kau pun beranjak untuk membayar tagihan di kasir.
Seketika,
dia memandangiku lekat-lekat. “Kau tahu, sebelum kami bersama, ada orang lain
yang lebih dulu mengisi hatinya. Katanya, orang itu telah meninggal. Tapi
kulihat, ia masih sering mengkhayalkan lelaki itu. Kau tak mengenalnya?” tanya
dia dengan mimik penuh penasaran.
Satu
rahasia masa lalumu, terkuak lagi. “Aku tak tahu tentang itu. Meski kami
berteman, kurasa ia punya rahasia yang perlu dipendamnya sendiri,” jawabku.
Dia
mengangguk. Pasrah atas jawabanku.
Tak
lama berselang, kau pun datang. Dan setelah melalui basa-basi perpisahan,
kalian lalu pergi dan lenyap dari pandanganku.
Pikiranku
pun melayang ke masa lalu. Kusibak lagi lembaran kenangan kita secara teliti.
Namun sepanjang kebersamaan kita, aku tak pernah mendengar kalau kau pernah
dekat dengan seseorang lelaki pun di kampus, termasuk yang dimaksudnya telah
meninggal.
Seketika,
ingatanku berhenti pada satu momen kebersamaan kita di masa lalu, saat kita
mengobrolkan tentang isi hati di taman kampus.
“Apakah
kau tak pernah menyukai seseorang lebih dari teman biasa?” Kau telihat gugup
bertutur.
“Tak
pernah. Memangnya kenapa?” Aku pura-pura tak paham. Padahal dari sikap yang kau
tampakkan, aku yakin kau mempertanyakan tentang perasaanku padamu.
“Aku
hanya bertanya,” balasmu, terkesan mengelak dari maksud yang kau tuju, kemudian
bertanya lagi, “Kau betah sepi sendiri?”
“Tidak
juga. Aku hanya merasa belum membutuhkan seorang pendamping hidup,” tuturku.
Diam-diam,
hatiku berkata lain. Jujur, aku pernah menyukaimu di satu waktu. Berharap kau
menjadi cinta pertama dan terakhirku. Hadir mendampingiku sepanjang waktu. Tapi
nahas, perasaan kita tak seiring waktu. Cinta datang terlambat. Aku
mendambakanmu, saat kau telah jatuh di pelukannya. Dan kau baru mengharapkanku,
kala aku tak lagi berharap tentangmu.
Kukira,
kebersamaanlah yang membuat kau dan aku berhasrat untuk saling mencintai.
Kini,
aku dapat pelajaran berharga dari kisah kita, bahwa cinta tak lebih dari rasa
takut akan kehilangan. Beruntunglah, aku tak pernah mendapatkan dan
menempatkanmu di hatiku yang terdalam, maka aku pun tak akan merasa kehilangan.
Jadi, hatiku tak akan terluka karenamu, sebab aku tak pernah mencintaimu.
“Bagaimana caramu meredam perasaan jika suatu
waktu, kau menyukai seseorang?” tanyamu lagi.
“Aku
membunuhnya dalam hatiku, seperti aku membunuh tokoh-tokoh dalam tulisan ceritaku
secara sadis,” pungkasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar