Kadang kala, aku ingin hidup seperti orang lain. Hidup dalam keluarga yang sederhana.
Bebas, tanpa tuntutan apa-apa. Tapi nyatanya, aku ditakdirkan lahir sebagai
anak seorang pejabat negara yang berwibawa dan kaya raya. Jadinya, hidupku penuh
dengan tuntutan. Semuanya telah diatur dan wajib dilaksanakan. Tak ada bedanya
dengan kehidupan di penjara.
Hidupku
benar-benar terkekang. Aku tak pernah menjalani pilihan yang kumau. Perihal dengan
siapa aku bergaul, di mana aku bersekolah, dan kelak aku harus jadi apa, semua
telah ditetapkan oleh ayah-ibuku, sebelum kelahiranku. Aku harus
melaksanakannya tanpa banyak tanya, demi aku dan nama baik keluargaku, katanya.
Aku mengalah.
Awalnya,
semua berjalan baik-baik saja. Aku bisa menjadi kebanggaan orang tuaku. Di
kelas, aku unggul pada semua mata pelajaran. Hingga akhirnya, di semester I kelas
2 SMA, seorang siswa teman baruku di kelas konsentrasi eksakta, Arsal,
membuatku berang. Aku kalah bersaing dengannya. Bahkan di pelajaran matematika,
ia mendapat nilai 90, sedangkan aku 92.
Pada
sesi penerimaan rapor, aku akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Arsal
meraih ranking I, dan aku turun kasta, di rangking II. Pamorku di mata keluarga,
guru, dan teman-teman sekolah, jadi memudar. Aku tak dianggap lagi. Serasa, hanya ada dua kelompok siswa di
sekolah: rangking I yang cerdas, dan rangking selainnya yang dinilai berotak
tumpul.
Keadaan
semakin merisaukan, sebab ayah Arsal berteman baik dengan ayahku. Bahkan, kami
bertetangga. Dan petaka batin pun tak bisa kuhindari, bahwa tuntutan hidupku
semakin meningkat. Aku terpaksa harus bersusah payah merebut posisiku sebagai
siswa terbaik, jika tak mau terus dibanding-bandingkan dengan Arsal. Harus!
Belum
usai perjuanganku, ayahku, tanpa perasaan, malah memerintahkan agar aku
sering-sering belajar kelompok dengan Arsal. Menjengkelkan. Terpaksa, aku
mengiyakannya saja, tanpa benar-benar melakukannya. Dan apa yang terjadi di
lingkungan sekolah adalah sebaliknya, aku selalu mengambil jarak dan
menempatkan Arsal sebagai lawan bebuyutanku.
Hingga
akhirnya, sebuah kejadian membuatku sedikit meluluh dan berpikir untuk berhenti
membenci. Di satu pagi, di hari saat ujian matematika dilangsungkan untuk
semester II kelas 2 SMA, aku melupakan semua peralatan ujianku. Buku, penggaris,
pulpen, penghapus, semua tertinggal dalam satu kotak di teras rumah. Dan di tengah
kebingunganku, Arsal muncul dengan menenteng kotak itu. Sungguh, aku benar-benar
merasa tertolong.
Setelah
kejadian menggugah rasa itu, aku pun berdialog dengan diriku sendiri. Ada
keinginanku berhenti mengulur jarak dengan Arsal hanya karena persoalan nilai
rapor dan tuntutan irasional orang tua. Ada yang lebih penting dari itu:
pertemanan. Aku pun bertekad untuk menyegerakan hidup dalam suasana yang baru,
berkawan dengannya, termasuk dalam soal pelajaran.
Keinginanku
berdamai dengannya, tepatnya berdamai dengan diriku sendiri, semakin memuncak
seminggu setelah ujian. Itu terjadi setelah aku mengetahui bahwa nilai
matematikaku setara dengan nilai yang ia dapatkan. Sama-sama 98. Sebuah
pencapaian yang kuanggap luar biasa, sebab sebelumnya nilai matematika
tertinggiku hanya mentok 90.
Segera
di hari itu juga, aku pulang dan berencana bertamu di rumahnya. Ada ucapan
terima kasih yang belum sempat kuucapkan kepadanya, hanya karena ego.
“Arsal
ada, Bu,” tanyaku pada Tiyem, seorang pembantu di rumah Arsal.
Perempuan
tua itu, sontak menoleh padaku. “Kamu terlambat, Nak Adam. Dia sekeluarga baru
saja pergi. Mereka hendak menetap di kota seberang. Dia tak mengabarimu, Nak?”
Aku
tersentak. Tak kuasa berkata apa-apa. Baru kusadari, kalau ternyata, selama
ini, aku masih diperdaya sifat kekanak-kanakan.
“Oh,
iya. Ada surat untukmu dari Arsal, Nak,” tutur Tiyem, sambil menyodorkan sebuah
amplop.
Rasa
penasaranku, melonjak seketika. Segera kusibak sepucuk surat darinya: Aku tahu kita tidak akrab. Tapi selama ini,
aku telah menganggapmu sebagai teman baik. Terima kasih telah memaksaku menjadi
lebih baik daripada dirimu dan diriku yang sebelumnya. Kau adalah kawan bagiku,
seorang partner belajar secara tidak langsung.
Lagi-lagi,
aku menyesal atas keegoisanku. Aku pun melangkah pulang, membawa penyesalan
yang mungkin kupendam sepanjang waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar