Jam
7 lewat 5 menit, pagi. Aku berangkat ke kantor dengan membawa sejumlah berkas
yang kuperlukan. Jika tak ada halangan, aku bisa sampai 15 menit kemudian. Aku
jelas tak ingin terlambat. Sebagai pegawai negeri yang baru terangkat, aku
harus menunjukkan kepatuhan. Selain menunaikan tanggung jawabku sebagai abdi
negara, juga penting bagiku menjaga citra di hadapan atasan, demi karir.
Tapi
di kota, perencanaan sering kali hanya awang-awang. Selalu ada peristiwa tak
terduga yang membuat semua hanya indah di angan. Dan hari ini, aku mengalaminya
lagi. Di tengah perjalanan, lagi-lagi, aku terjebak macet. Kendaraan menumpuk.
Sampai seiring waktu, aku tahu, penyebabnya karena para pedagang pasar membuka
lapak hingga ke bahu jalan. Sungguh menyebalkan.
Ujian
kesabaranku, masih berlanjut. Di menit ke-10 perjalanan, peristiwa khas kota,
kembali menjebakku. Dua orang pengendara, meluapkan emosinya tanpa menghiraukan
pengendara lain. Selagi kendaraan mereka menutupi setengah bahu jalan, mereka
beradu argumen dengan nada tinggi, hanya karena saling senggol. Mereka baru
meluluh setelah pengendara lain menunjukkan emosi yang tak kalah garang.
Selepas
dari jebakan manusia yang tak tahu aturan, aku segera mengebut gas mobilku.
Melaju sekencang mungkin pada ruang jalan yang kosong, sambil menggumamkan
sumpah serapah. Hingga, tanpa terduga, aku hampir saja menabrak seorang yang
menyeberang jalan bukan di zebra cross.
Emosiku pun mendidih. Tanpa kendali, aku mencacinya dengan kata-kata kotor,
dalam ruang mobilku yang tertutup.
Setelah
menenangkan diri sejenak, aku melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah aku di
sebuah lampu merah. Lagi-lagi, kendaraan berhenti secara tidak teratur.
Sejumlah kendaraan bahkan menutupi lintasan penyeberangan.
Dan,
kulirik jam tanganku, ternyata, lima menit berlalu lagi. Waktuku tersisa 10
menit. Aku harap bisa sampai di kantor tepat waktu, agar aku dapat mengawali
rutinitasku dengan tenang.
Lampu
hijau menyala, tapi kendaraan dari arah lain, terus saja melaju. Jelas saja aku
kesal. Maka, kusegerakan untuk memajukan kendaraan. Mencari celah yang
memungkinkan untuk menyalip. Tapi akhirnya, usahaku gagal. Saat aku tepat di
baris depan, lampu merah kembali menyala. Aku pun harus berhenti, menunggu
lampu hijau untuk kedua kalinya.
Sambil
menanti waktu 30 detik berlalu, aku mencoba menyalakan radio. Mencari siaran
yang kira-kira bisa menghibur. Tapi ruang ketenanganku, terusik lagi. Di balik
kaca jendela mobil, menggerayang para pengais rezeki jalanan. Ada penjual
asongan, pengamen, dan pengemis. Mereka silih berganti membujukku. Menawarkan
perihal yang mereka bisa jual.
Aku
tak ingin menggubris mereka. Kututup jendela mobilku rapat-rapat, sambil
pura-pura tak mengacuhkan. Meredam rasa belas kasihku yang sudah terlalu sering
dikhianati. Aku selalu curiga, sedekahku kemarin-kemarin, tak digunakan mereka
secara baik. Karena itu, aku tak ingin memberikan harapan, sehingga mereka
bertahan menawarkan barang dan jasanya dengan cara yang terkesan memalak.
Akhirnya,
lampu hijau menyala kembali. Aku ingin segera lepas jadi paradoks batinku
tentang cara penghuni pinggiran kota mencari nafkah. Aku merasa tak punya
urusan dengan mereka. Maka, kukebut kembali kendaraanku, lebih kencang dari
sebelumnya. Beruntung, arus kendaraan lancar di atas bahu jalan yang lebar. Sungguh
melegakan.
Sekarang,
dua menit lagi jam setengah 8. Tapi ternyata, rintanganku belum usai.
Sesampainya di depan kantorku, aku melihat sejumlah orang sedang berkerumun. Mereka
berunjuk rasa tepat di gerbang masuk kantor. Mereka berteriak sembari
membentangkan spanduk yang bertuliskan tuntutan agar upah buruh dinaikkan.
Otomatis,
tak ada ruang untukku masuk dan memarkir mobil di halam kantor. Emosiku pun kembali
mendidih. Aku terpaksa memarkir kendaraanku di sisi lain kantor, di halaman
belakang. Setelahnya, aku pun menyelinap masuk ke gedung melalui pintu
belakang. Aku tak ingin menjadi sasaran teriakan dan olok-olokan para
demonstran.
Kilirik
kembali jam tanganku. Sudah jam 7 lewat 31 menit. Jelas, aku terlambat mengisi
absen. Maka dengan tergopoh-gopoh, aku setengah berlari menuju ruang
administrasi untuk mengisi kolom tanda tangan kehadiranku. Dan, ternyata,
ruangan masih lengang. Hanya ada beberapa pegawai yang mendahuluiku.
“Ibu
tak ikut unjuk rasa?” tanyaku pada Yuni, pegawai alih daya yang dikontrak sebagai
tukang bersih-bersih kantor.
“Aku
takut dipecat. Aku cari aman saja. Statusku sebagai pegawai alih daya, sangat
rentan pemecatan, Pak,” tuturnya, terlihat semringah seperti biasa.
“Ngomong-ngomong, Bapak rajin benar datang ke kantor?”
Aku
sedikit tersipu mendengar pujiannya. “Ini kan sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Dia
tersenyum tersipu. “Tapi Bapak kok rapi sekali?”
Aku
memerhatikan setelah bajuku. Khawatir kalau sebenarnya, ia cuma meledek. “Ya,
kan aturannya harus seperti itu, Bu. Harus pakai sepatu, jas, dasi,
macam-macam,” tangkisku. “Yang lain mana, Bu. Kok sepi? Apa ada rapat mendadak
atau kunjungan pejabat di kantor ini?”
Tiba-tiba,
tawanya pecah. “Aduh, Bapak. Ini kan tanggal 1 Mei, Hari Buruh,” tuturnya.
“Memangnya
kenapa kalau Hari Buruh?” sergahku.
“Itu
artinya tanggal merah, Pak,” tegasnya, sambil tergelak.
Seketika,
aku merasa bodoh sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar