Kusibak
kembali sebuah lipatan kertas dari sang penggubah rahasia. Aku menemukan kertas
bermakna itu di dalam tasku, dua hari lalu. Isinya adalah sebuah gambar kartun
atas diriku, disertai sebuah tulisan singkat yang sangat menyanjungku sebagai seorang
perempuan: Kau memang cantik.
Sungguh! -R-
Tak
salah jika aku meyakini pesan itu ditujukan khusus untukku. Namaku tertulis
pada kertas, tepatnya di pojok kanan bawah. Tentang siapa pengirimnya, aku tak
bisa memastikan. Apalagi, ia hanya menuliskan inisialnya, R.
Untuk
sementara, aku merasa ada seseorang yang memendam perasaan padaku. Kupikir, ia hendak menyatakan perasaannya dengan cara yang mengesankan.
Tiba-tiba,
sebuah pesan singkat, masuk di telepon genggamku. Pengirimnya tanpa nama. Kami
pun berbalas pesan:
X : Sering-seringlah
tersenyum. Jangan murung terus.
Aku : Kau ini siapa?
Aku : Kau ini siapa?
X : Kita adalah teman dekat. Kau pasti
mengenalku.
Aku
tak membalas. Kubuat ia penasaran atas tanggapanku. Kuduga pelakunya adalah R.
Setelah
sejam berlalu, dia akhirnya mengirimkan sebuah pesan.
X : Datanglah di tempat biasa tepat jam 4 sore. Ada sesuatu untukmu.
Nalarku
bekerja keras. Dari sekian banyak teman lelaki yang aku kenal, ada beberapa
yang memiliki nama berawalan R. Tapi dugaan terbesarku tertuju pada Rumi, teman
dekatku, yang selama ini kuidam-idamkan.
Hampir
jam 4 sore. Aku pun membawa segumpal rasa penasaran menuju satu lokasi, tempat
kami sering menghabiskan waktu bersama. Tepatnya, di sebuah kantin, di salah
satu meja yang berada di pojok ruangan.
Namun,
sesampainya di tempat yang kuduga, aku tak menemukannya.
Aku
pun menyerah. Kuduga, sosok pelakunya, hanya iseng mengerjaiku.
Setelah
menghabiskan waktu hampir sejam menyantap nasi goreng, aku pun melangkah
pulang. Sampai akhirnya, aku menemukan Rumi di area parkiran. Ia tampak
menunggu seseorang.
“Hei,
dari mana saja kamu?” tanyanya seketika, setelah melihatku. “Aku telah lama
menunggumu.”
“Inikah
yang kau katakan tempat biasa?” tanyaku.
Dahinya berkerut. “Maksudmu?”
Aku
mencoba menahan tuduhanku. Takut kalau ternyata, aku memang salah menabak. “Aku
hanya bergurau. Untuk apa kau mencariku?”
Dia
mengaduh. “Masa kau lupa? Hari ini kan Roki pergi ke kota seberang.”
Seketika,
aku tersadar. Ternyata aku punya teman baik yang lain dengan nama panggilan berinisial R,
Roki. Dialah teman baikku. Tempatku sering berdiskusi tentang persoalan kuliah.
Dia lelaki yang cerdas, namun tertutup untuk persoalan pribadinya.
“Apa
kita masih bisa menemuinya sekarang?” tanyaku, cemas-memas. Khawatir kalau aku
tak sempat melihatnya lagi, atau karena aku tak sempat mengetes apakah ia sosok
berinisial R.
Rumi
terlihat pasrah. “Sekarang sudah jam lima. Aku yakin, dia sudah di jalan menuju
bandara. Sia-sia juga kalau kita berupaya mengejarnya.”
Aku
membenarkan pertimbangannya.
Tanpa
berbincang lama dengan Rumi, aku kemudian menuju ke perpustakaan seorang diri.
Hendak mengecek, kalau-kalau ada pertanda di satu bangku, tempatku sering mengobrol
dengan Roki.
Dan
akhirnya, aku benar-benar menemukan secarik kertas tergeletak di kursi
favoritku, bersama dua buah buku. Di sana, tampak serangkaian kata: Maaf, aku harus pergi tanpa pamit padamu. Kuharap
kau tak merasa kehilangan. Terimalah buku pemberianku.
Kubandingkan
bentuk tulisannya dengan tulisan pada secarik kertas yang kuterima dua hari
lalu. Bentuknya sama persis.
Sungguh,
aku tak pernah tahu tentang perasaannya padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar