Ada
gundah di hati Yuni. Tiap kali membayangkan tudingan miring tentang Rangga, suaminya,
ia pasti bersedih. Jelas, ia tak suka kondisi ekonomi keluarga kecilnya,
disangkut-pautkan dengan kemampuan sang suami. Baginya, Rangga adalah sosok
suami yang bertanggung jawab, meski tak mampu memberikan harta yang
berlimpah-ruah
Di
awal pernikahan, orang tua Yuni memang tak memberi restu. Alasannya tak lain
karena pertimbangan ekonomi. Ayah-Ibu Yuni yang kaya-raya, khawatir Rangga tak mampu
memberi nafkah yang mencukupi bagi anak-istrinya kelak. Tapi Yuni tetap
memaksa. Ia yakin akan bahagia bersama Rangga, walau harus hidup dalam
kemelaratan.
“Hari
ini, apa ada surat yang sampai ke rumah, Bu?” tanya Rangga.
Yuni
menggeleng. “Tak ada, Pak.”
Rangga
pun menghempaskan dirinya pada sofa. Menenangkan perasaannya yang kalut. “Besok
orang tua Ibu jadi datang?” tanyanya lagi, sembari mengurai seragam perusahaan
yang melekat di tubuhnya.
“Jadi,
Pak,” Yuni menyambut seragam sang suami, lalu mengantungnya di dinding.
“Memangnya kenapa?”
“Tak
apa-apa, Bu.” Rangga lalu bangkit, menatap ke luar jendela, memandangi hamparan
alam.
Yuni
mendekat pada suaminya. “Bapak jangan khawatir. Aku bisa meyakinkan mereka kok kalau
kehidupan kita baik-baik saja,” tuturnya, berserta utaian senyuman manis.
Rangga
balas tersenyum. Ia merasa damai, sebab kasih sayang istrinya tak berubah
sedikit pun.
Secara
perlahan, Yuni menggandeng tangan kiri sang suami. Ia lalu menyandarkan
pelipisnya di pundak lelaki yang menikahinya dua tahun lalu. “Yang aku inginkan
adalah kebersamaan kita, Pak. Aku tahu, kita hidup dalam kesederhaan. Tapi apalah
arti harta kalau itu malah membuat kita bercerai-berai.”
Rangga
pun merangkul dan mengusap lembut rambut sang istri.
Dalam
hati, Yuni jelas memahami pergulatan batin suaminya. Di waktu lampau, ia
menyaksikan sendiri ketika Rangga menghadap orang tuanya untuk menyampaikan
maksud hati ingin menikahinya. Di sela itu, juga terucap janji untuk
membahagiakannya, terutama menjamin kecukupan materi. Dan sekarang, itu rentan
untuk kembali dipermasalahkan.
Rangga
melepaskan pelukannya. “Ibu masih punya stok baju yang bagus kan? Ya, paling
tidak, besok, Ibu mengenakan baju yang lebih baiklah dari hari-hari biasanya.
Aku ingin membuat orang tua Ibu tenang melihat keadaan kita.”
“Masih.
Baju-baju lamaku kan masih bagus, Pak. Tinggal disetrika, jadi tampak baru
lagi,” balas Yuni, sambil tertawa pendek nan menggemaskan. Ia mencoba
menenangkan perasaan suaminya. “Kamarin, di pasar, aku juga beli baju baru
untuk Bapak. Itu,” sambungnya, sambil menunjuk sebuah baju yang tergantung rapi
di dinding. “Besok, kenakanlah, Pak. Pasti cocok.”
Dan
untuk yang ke sekian kalinya, Rangga merasa berutung dianugerahi cinta dari
wanita sesempurna Yuni. Ia merasa sangat beruntung memiliki istri yang rela
hidup bersama dalam kesederhanaan.
“Aku
benar-benar beruntung memiliki istri seperti Ibu,” puji Rangga, sambil membelai
rambut sang istri. “Apa perasaan Ibu tak akan berubah, meski kehidupan kita
sesungguhnya lebih memprihatinkan daripada yang Ibu tahu?”
Yuni
menepuk-nepuk lengan suminya. Seperti memberikan sugesti untuk menguatkan hati
menghadapi kenyataan yang ada. “Aku tak akan berubah, Pak. Sebelum aku
mengiyakan pinangan Bapak dahulu, aku sudah menyadari pahit-manis dalam
mengarungi biduk rumah tangga. Aku adalah istri Bapak, dan aku punya tanggung
jawab untuk mempertahankan rumah tangga kita.”
Seketika,
Rangga mengecup dahi istrinya. “Aku juga. Aku akan melakukan apa pun untuk
mempertahankan rumah tangga kita, Bu.”
Setelah
bermanja-manjaan beberapa lama, Yuni pun melangkah menuju dapur. Menyiapkan
hidangan ringan untuk suaminya.
Dan,
ada satu pertanyaan Rangga di awal percakapan yang jawabannya kini menjadi rahasia Yuni: tentang surat.
Sejujurnya, pagi tadi, sebuah surat sampai di rumah mereka. Yuni yang menerima
surat dari kurir pos, awalnya kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, ia
menerima surat perihal Pemutusan Hubungan Kerja dari perusahaan untuk suminya.
Demi
menjaga perasaan sang suami, Yuni pura-pura tak tahu soal surat itu. Ia yakin suaminya
bermaksud merahasiakan tentang keadaannya di perusahaan. Ini soal harga diri.
Ia paham, sebagai lelaki yang bertanggung jawab, suaminya tak ingin ketahuan
sebagai pengangguran, apalagi di depan kedua orang mertua.
Akhirnya,
Yuni memutuskan untuk tak membahas perihal pekerjaan sang suami, sampai kapan
pun, kecuali sang suami mengutarakan sendiri tentang keadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar