Hari
ini, Disti menjadi segan pada sahabatnya sendiri, Anggi. Meski apa yang telah
ia lakukan secara diam-diam tidaklah untuk menyakiti siapa pun, perasaan was-was
tetap menggerayanginya. Ia khawatir salah menafsir dan mengambil langkah untuk
menyampaikan isi hati teman sekampusnya itu pada seorang lelaki, Ringgo.
“Dis,
maafkan aku,” tutur Anggi, saat mereka tengah mengobrol di taman kampus.
Jelas
saja Disti merasa aneh, sebab dirinyalah yang diam-diam membuat masalah. “Kamu
punya salah apa padaku sampai harus meminta maaf?”
“Tak
ada apa-apa. Aku hanya takut kalau kau kecewa punya sahabat yang tak pengertian
sepertiku,” balas Anggi.
Disti
semakin tak mengerti. “Maksudmu?”
“Ya,
sebenarnya, kemarin, di hari kelahiranmu, aku hendak memberikan sebuah kado.
Tapi kadonya hilang entah kemana,” aku Anggi. Tampak seperti patah hati. “Tiga
hari lalu, aku telah mengemasnya dalam kotak kecil. Dan masih kuingat jelas, aku
menempatkannya di dalam tas ranselku. Tapi ah…. Entah siapa juga yang tega
mencurinya.”
“Kau
tak mencurigaiku kan?” tanya Disti. Ia berusaha memastikan kalau sahabatnya itu
benar-benar tak tahu bagaimana sekotak kadonya bisa hilang.
Anggi
mengangguk. “Aku tahu kau tak doyan mencuri, kecuali berbohong.”
Mereka
pun tergelak tawa.
Dalam
benaknya, Disti mengulas kembali tingkah lakunya di hari kemarin. Kini, ia
memastikan kalau kado yang telah ia serahkan kepada Ringgo secara
sembunyi-sembunyi, adalah kado yang dimaksud sahabatnya. Jelas, ia tak menduga.
Kenyataan itu membuatnya terharu.
Disti
tersadar dari lamunannya. “Kau tak usah pikirkan itu lagi. Persahabatan kita lebih
berharga daripada apa pun, apalagi dibandingkan dengan sekotak kado. Lagian
menurutku, tak mesti ada kado saat ulang tahun. Doamu untuk kebaikan kita, jauh
lebih berharga.”
Anggi
mengangguk-angguk dengan wajah mengeyel. “Tapi jika kau tahu isi kadoku,
mungkin kau tak akan bertutur sebijak itu. Kau bisa menebaknya?”
Disti
menggeleng. Jelas saja ia tak tahu. Ia sedikit pun tak mengutak-atik kado yang
dimaksud. Kemarin, ia langsung saja menyelundupkan kado itu di medan Ringgo,
seorang lelaki yang diduganya menjadi dambaan Anggi. Ia menempatkannya di atas
bangku taman kampus, tempat Ringgo sering menghabiskan pagi dan sorenya seorang diri,
bersama buku.
Tindakan
Disti beralasan. Sedari awal, ia menduga kalau kado itu akan diberikan Anggi
kepada Ringgo. Tapi karena perasaan gereget melihat sikap pemalu Anggi, ia pun
memberanikan diri mendahului segala rencana. Ia tak ingin lagi seperti dahulu,
saat rasa malu menjadi penganjal utama sahabatnya itu untuk menambatkan
perasaan pada seorang lelaki.
Disti
memang wanita pemberani, namun tak percaya diri. Karena itu, ia sering berkhayal, jika
saja dirinya adalah Anggi, sedari dulu ia akan mengungkapkan perasaannya pada
Ringgo. Tapi sayang, ada satu hal yang membuatnya selalu mengalah untuk
mengungkapkan perasaan pada lelaki: ia selalu merasa tak lebih cantik dan
cerdas di antara wanita yang lain, termasuk terhadap Anggi.
“Isinya
buku,” tutur Anggi, setelah menunggu jawaban Disti begitu lama.
“Untuk
apa kau memberiku buku. Kau kira aku doyan membaca?” sergah Disti.
“Iya.
Aku tahu kau lebih suka menonton sinetron dari pada membaca. Makanya
imajinasimu tak berkembang. Pikiranmu jadi kolot,” ledek Anggi. “Tapi kado itu
kuberikan untukmu, untuk kau berikan pada Ringgo. Aku tahu genre buku
kesukaannya.”
“Apa?”
Disti terkaget.
Anggi
malah tertawa melihat ekspresi wajah sahabatnya. “Iya, untuk kau berikan pada
si Ringgo. Hari ini kan hari ulang tahunnya. Dia sepertinya menyukaimu. Dan aku
tahu kalau kau juga menyukainya. Kan?”
Disti
tak habis pikir. Menjadi bingung. “Tapi….”
“Lah,
kok kau terlihat sangat khawatir. Toh, kado itu kan hilang entah ke mana. Atau
jangan-jangan?” singgung Anggi lagi, lalu meneguk sebotol teh instannya.
“Kau
tak menulis namaku kan?” tanya Disti, terlihat gusar dan penasaran.
“Tidak.
Aku tak bisa meniru tulisan tanganmu. Lagian, aku ingin kau sendiri yang
menuliskan isi hatimu untuknya,” jawab Anggi.
Napas
panjang pun, terembus dari mulut Disti. Di tengah kekalutannya, ia masih bisa
tenang, sebab Ringgo pasti tak akan tahu tentang sosok pemberi dan pemilik
kado.
Hari
menjelang malam. Mereka pun berpisah. Anggi pulang terlebih dahulu. Rasa
penasaran Disti pun memuncak. Ia segera melangkah menuju sebuah bangku taman,
tempatnya meletakkan sekotak kado pagi tadi. Di salah satu sisinya, ia pun
telah menuliskan sebuah klu: Untuk
Ringgo, selamat ulang tahun. Dari seorang gadis pengagummu, “RA”.
Sesampainya
pada bangku yang dimaksud, Disti pun mendapati secarik kertas. Di sana
tertulis: Terima kasih, siapa pun kau. Aku
harap suatu saat kita berkenalan.
Dan,
Disti pun baru menyadari kalau inisial namanya serupa dengan inisial nama Anggi:
Radisti Aurum dan Radiah Anggita.
Kini,
sedikit pertanda yang berawal dari kesalahpahaman, telah membuka
kemungkinan-kemungkinan yang harus dijajaki.
Sungguh,
sekotak kado itu telah menjadi bola liar bagi Disti. Telah menggantungkan arah
hatinya di antara kerelaan untuk berkorban demi seorang sahabatnya, atau
memperjuangkan benih perasaannya yang mulai bermekaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar