Anggapan
orang lain soal kesendirian, tentang lelaki yang tak juga memadu kasih secara
nyata dengan seorang perempuan, tak selamanya mengenakkan. Banyak yang
menganggapnya kuno, ketinggalan zaman, bahkan dicap lelaki pembuangan. Tapi aku
tak menghiraukannya. Kurasa, suasana kesendirian lebih mengasyikkan daripada
mendua. Lebih bebas meresapi getaran cinta tanpa perlu terikat ruang dan waktu.
Mengagumi
sebagai seorang pemendam, telah kujalani sepanjang hidupku. Bahkan sampai kini,
sejak aku tahu, ada rasa yang aneh saat memandang seorang perempuan. Tapi,
aku tak sekali pun mengungkapkannya. Kusimpan saja rasa sukaku pada seorang
wanita di dalam hati, sampai tergantikan oleh rasa suka pada sosok yang lain.
Begitu saja terus. Sebab kupikir, rasa suka tak mesti terwujud dalam kata-kata cinta, sebelum
benar-benar siap mencintai.
Hingga
kini, banyak sudah wanita yang telah menggugah dan memerangkap rasa sukaku di
rentang waktu yang panjang. Ada yang dalam hitungan hari, bulan, setahun, hingga
bertahun-tahun. Akila termasuk daftar perempuan yang menyita rasa sukaku begitu
lama. Rasa itu tumbuh sedikit demi sedikit, dipacu oleh rasa penasaran yang tak
berujung seketika. Awet. Mungkin karena aku banyak mengenalnya di dunia maya,
dan hanya sesekali mengindrainya di dunia nyata.
Perasaanku
pada Akila bertahan hingga hampir dua tahun. Aku bahkan tak menyadari kalau
banyak hari berlalu, dan aku hanya mengaguminya dengan cara yang bodoh. Aku
rela menghabiskan waktu di kampus, sekadar untuk meliriknya kalau
beruntung. Dan saat malam datang, aku akan menguntitnya diam-diam melalui media
sosial, tanpa ada rasa bosan. Aku melakukan kebodohan itu sepanjang waktu.
Akila
bagiku, jadi seperti candu. Aku selalu senang mengimajinasikan bahwa ia juga
memendam perasaan padaku. Seorang pemendam, hanya cocok untuk pemendam. Begitulah anggapanku tentangnya. Kuyakin, sebagaimana lazimnya orang yang suka
melampiaskan kegundahan hatinya lewat huruf-huruf, dia juga adalah pemendam. Dan, aku pun jadi gemar
mencari diriku dalam kata-kata yang ia rangkai, meski itu hanya imajinasi
sesatku. Aku suka.
Sampai
waktunya, aku mulai terbiasa mengabaikan rasa sukaku pada Akila dari waktu ke
waktu. Jika dahulu tak kulewatkan sehari pun tanpa mengingat dan mencari
dirinya melalui segala macam celah, maka kini, dalam beberapa hari, aku kadang
melupakannya. Kuduga, keraguan mulai menyadarkanku, bahwa aku adalah pengkhayal
tingkat tertinggi di antara banyak orang yang ternyata mengaguminya juga.
Akhirnya,
untuk Akila, aku mengalah sebelum bertarung. Aku memutuskannya tanpa pernah ada
ikatan apa-apa. Tapi sebagaimana ruang yang lain, hati tak pernah benar-benar
dalam keadaan kosong. Tak ada yang terhapus, hanya terganti. Aku tak berhenti
menjadi pemendam, hanya rasa sukaku yang beralih pada yang lain. Dan kini kusadari, ada
sosok pendatang baru yang mengikat kekagumanku secara mendalam: Amaratih.
Aku
tak ingat persis bagaimana awalnya aku mengaguminya. Tapi kuduga, aku belajar dari
masa laluku sebagai pemendam. Aku mencoba lebih realistis. Itu bukan berarti
aku mencari jalan untuk menyatakan cintaku, dan berhenti jadi pemendam. Aku
hanya ingin mengagumi kenyataan, bukan khayalan yang terbentuk dari imajinasi
dan dunia maya. Dan itu mungkin, sebab selalu ada kemungkinan aku memandanginya
setiap hari.
Pada
Amaratih, aku mengagumi sebuah kenyataan. Sering ia menampakkan diri tanpa
menyadari apalagi merisaukan keberadaanku. Kami bahkan sesekali berpapasan pada
akhir dari sebuah adegan yang kurencanakan. Pada kesempatan sempit itulah, aku meliriknya.
Mengecap kesempurnaannya diam-diam. Bahkan, sekadar mendengar celotehan
suaranya yang menggemaskan di ruang yang lain, kala tengah mengurus remeh-temah
kehidupan organisasi kampus, juga meyenangkan. Menggetarkan hatiku sendiri. Sungguh.
Tapi
belakangan, kekagumanku padanya, luntur dari waktu ke waktu. Dalam hari
berganti, rasa sukaku semakin menawar. Lagi-lagi, mungkin karena aku merasa
telah cukup waktu untuk mengaguminya. Batas kerahasiaan dirinya secara wajar,
telah kuketahui. Sedangkan bagi pengagum, rasa penasaran adalah sebuah nyawa.
Ringkasnya, aku telah berada di puncak kekaguman padanya. Dan jalan menuju
cinta yang nyata dengannya, yang akan menguak sumber kekaguman yang dahsyat,
lebih mustahil dari sosok-sosok yang kukagumi sebelumnya. Dia serupa seorang
putri raja sekaligus bidadari. Maka, aku cukupkan untuknya.
Dan
lagi, sebagaimana deretan perempuan yang pernah kukagumi, pada banyak sosok
dalam kata “mereka”, aku melepaskannya tanpa pernah benar-benar memiliki. Aku
membiarkannya memadu cinta yang nyata bersama sosok lelaki lain suatu hari
nanti, tanpa sedikitpun rasa penyesalan. Lalu, bagaimana dengan kehampaan
hatiku sepeninggal mereka?
“Apakah
kau akan bertahan sebagai pengagum untuk selamanya?” Satu sisi diriku yang
berpijak di ruang kenyataan, menelisik.
“Entahlah.
Aku tak ingin cintaku ternoda hanya karena aku menyatakannya. Kupikir, cinta
adalah soal rasa. Jika perasaan itu diungkapkan, maka akan membuka kemungkinan
untuknya dikhianati. Aku tak ingin melukai cinta.” Sanggah sisi hatiku yang
terkurung pada kemayaan, pada aku yang pemendam.
“Jangan
menghianati kenyataan cinta. Luka adalah nilai yang datang bersama cinta.
Jangan takut menyatakan cinta hanya karena kau tak ingin hatimu terluka atau
tak ingin melukai hati seseorang. Sebagai manusia yang dilahirkan di bumi,
pilihlah keadaan daripada ketiadaan, meski itu pahit. Kau telah ditakdirkan
untuk dicintai dan mencintai. Maka, kau harus menyadari, bahwa sikap diammu
untuk menghindari cinta yang nyata, bisa jadi malah melukai hati seseorang,
menghianati cinta,” balasnya lagi.
“Aku
hanya memendam. Mana bisa aku melukai perasaan seorang wanita?” tanyaku,
membela diri.
“Jika
kau yakin bahwa cinta tak mesti memiliki, apa kau yakin tak ada seseorang yang
berhasrat memilikimu? Apa kau tak tahu kalau diammu selama ini, tak lebih dari
aksi menebar isyarat, memberi harapan palsu, yang malah melukai banyak hati?
Jika kau yakin pada kodrat bahwa ada satu hati yang ditakdirkan berpasangan
denganmu, maka janganlah melukai dia dalam penantian,” tambahnya lagi.
“Dia
siapa yang kau maksud?” tanyaku, penasaran.
“Tanya
pada hatimu sendiri. Untuk tahu, kau hanya perlu merasakannya,” tuntunnya.
Dan
seketika, kesadaranku pulih. Kini, aku teringat lagi tentangmu, sosok yang
menggantungkanku di antara kemayaan dan kenyataan cinta, di antara keraguan dan keyakinanku memilikimu. Di sela kehampaanku,
kau seakan datang menggugat untuk mengisi kembali hatiku yang pernah memendam perasaan tentangmu begitu
lama. Lebih lama dari siapa pun. Hingga kusadari,
melepasmu tak semudah merelakan yang lain. Kau tak mungkin tergantikan oleh
siapa pun, oleh mereka yang hanya selingan. Sungguh, kekagumanku ini, tak
akan berujung, kecuali pada cinta yang nyata, pada saat kita mengikatkan hati
pada cinta yang sesungguhnya.
Kau
tahu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar