Tami
adalah seorang wanita penyendiri. Suka melakukan segala hal seorang diri. Terasa
lebih bebas menurutnya. Ia pun enggan bergumul dengan kawanan orang-orang.
Tak seperti siswa-siswi pada umumnya, ia bukanlah bagian dari geng atau
komunitas apa pun. Karena itu, ia dicap aneh.
Sampai
suatu hari, Rion yang terkenal sebagai idola kaum hawa di sekolah, mulai mendekatinya. Kenyataan itu membuat siswi lain iri dan melontarkan singgungan. Apalagi, Tami yang tomboi, dipandang tak serasi dengan Rion. Tak pelak, Tami pun jadi risih
dan mencoba menghindar. Bukan karena malu, tapi ia memang belum berpikir untuk memulai
hubungan dengan seorang lelaki.
Akhirnya, usaha
Rion yang tak henti, membuahkan hasil. Ia jadi akrab dengan Tami. Di
lingkungan sekolah, ia pun terkenal sebagai teman dekat wanita judes
itu. Makan di kantin,
membaca di perpustakaan, hingga pulang-pergi ke sekolah, sering mereka lakukan bersama. Hubungan seperti itulah yang sedari awal diinginkan Rion.
Dan,
terjadilah hal yang ditakutkan Rion. Sikap Tami semakin berubah. Aura
keperempuanannya semakin tampak. Seperti perempuan pada umumnya, ia mulai
mengikuti tren mode masa kini. Ia mulai mewarnai wajahnya, hingga membalut tubuhnya
dengan sejumlah aksesoris. Rion jelas khawatir kalau semua perubahan itu,
terjadi karenanya.
Sampai
suatu hari, ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Tami tiba-tiba kesal. Seakan
Rion melakukan sebuah kesalahan besar.
“Jangan
dekati aku lagi!” tegas Tami, saat Rion menawarkan tumpangan di motornya
untuk pulang sekolah.
“Kamu
kenapa? Aku punya salah apa padamu?” tanya Rion. Ia jelas tak mengerti
sebab-musababnya.
“Pokonya,
jangan dekat denganku lagi!” bentak Tami, lalu pergi tanpa memberikan
penjelasan yang berarti. Menghilang di balik angkutan kota.
Jelas
saja, sikap Tami membuat Rion tak habis pikir. Keadaan itu membuat Rion was-was, kalau-kalau misinya untuk
lebih dekat dengan lingkungan kehidupan Tami, gagal total. Sebuah misi penting
yang harus ditunaikannya.
Di
ruang hatinya yang lain, ada juga rasa takut yang terus menahan. Ia takut
kalau Tami menafsirkan maksud kedekatannya secara berlebihan. Takut jika ia melukai
perasaan Tami, padahal tak sedikit pun maksudnya bermain hati.
Tiba-tiba
telepon genggam Rion berdering. Ada panggilan dari ayahnya, Rudi.
“Hei,
kau melakukan apa pada Tami? Aku dengan kabar dari ibunya kalau dia ngambek,” tutur Rudi di ujung telepon.
“Aku juga tak tahu Ayah. Tiba-tiba saja,
dia marah padaku tanpa sebab,” jawab Rion, segan.
“Kau
sudah berikan kado padanya?” tanya Rudi lagi.
“Maksud
Ayah,” sergah Rion.
Rudi
berdecak-decak sejenak. “Dua hari lalu kan aku sudah memperingatkanmu, kalau
hari ini adalah hari ulang tahunnya. Kau lupa?”
Rion
tersadar. “Maaf Ayah. Aku benar-benar lupa. Aku akan segera mencarikan kado
untuknya,” akunya, terkesan memelas. “Ayah ada saran tidak, kado apa yang tepat?”
“Kau
pikir saja sendiri. Asalkan kadonya melambangkan persaudaraan, dan cocok untuk
seorang perempuan,” saran Rudi. “Aku mohon, perlakukanlah dia dengan baik. Kau
kan tahu sendiri, kalau tak ada halangan, dua minggu lagi, kalian akan resmi
menjadi saudara tiri.”
Rion
terdiam sejenak. “Baik, Ayah,” pungkasnya.
Tiba-tiba, Rion merasa terbebani untuk memberikan sebuah kado ulang tahun pada Tami.
Lagi-lagi, ada kekhawatiran di hatinya, jika Tami menafsirkan maksudnya secara
berbeda. Ia khawatir Tami menilai dirinya ada maksud untuk dekat lebih dari
sekadar teman, kecuali sebagai saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar