Tak
ada yang bisa memastikan ke mana arah hati seseorang tertambat. Hanya bisa
ditebak. Seperti cuaca, senantiasa ada pertanda yang mengiringi. Namun akhirnya
masih tanda tanya juga. Serupa mendung yang tak pasti berbuah hujan, atau
umpama hujan di tengah terik matahari. Karena datang tanpa aba-aba, tak ada
yang menduga. Namun, kenyataan tak bisa disangsikan.
Analogi itu, semakna dengan caraku menyatakan cinta padamu.
Analogi itu, semakna dengan caraku menyatakan cinta padamu.
Kini,
aku pun larut dalam khayalan. Membayangkan tentang percakapan kita jika suatu
saat nanti, kau bertanya tentang asal-usul cintaku.
“Aku ingin tahu alasanmu tiba-tiba menyatakan
cinta padaku. Aku tak ingin perasaanmu hanya musiman.” Kau terlihat mengeluh manja.
“Alasannya?
Ya, karena aku mencintaimu,” balasku, lalu memetik dagumu.
Kau
merengek. Mungkin mengira kalau aku sedang meledek. “Bukankah dahulu kau dekat
dengan banyak wanita selain aku? Terus, bagaimana bisa hatimu tiba-tiba beralih
kepadaku?”
Kualihkan
pandanganku padamu. Kuelus pipimu yang tembam. “Aku telah lama memendam
perasaan padamu. Jika sebelum kita bersama ada seseorang yang membuatmu
cemburu, yakinlah semua itu hanya prasangka burukmu.”
“Bagaimana
bisa?” tanyamu lagi. Masih tampak penasaran.
“Rina
sayang, dengar baik-baik. Bagiku, cinta itu adalah malu. Jika dua orang berlawanan
jenis terlalu dekat, bisa jadi mereka cuma memosisikan diri sebagai teman biasa.
Tapi jika benar-benar ada hasrat untuk saling mencintai, aku yakin, selalu ada
kegugupan jiwa yang membuatnya bungkam.” jelasku, sambil memandang bola matamu
dalam-dalam. “Karena itulah, orang yang benar-benar berhasrat mencintai, bisa
jadi orang yang terlihat mengabaikan.”
Senyum
manis nan malu-malu pun, merekah di wajahmu. “Jadi, sejak dahulu kau memendam perasaan
padaku?”
“Ya,
di sepanjang waktu saat aku mendiamkanmu,” pungkasku.
Seketika,
kau pun jatuh di pelukanku, lalu menangis terharu.
Tiba-tiba,
sahabat baikku, Raka, menepuk pundakku begitu keras. Aku pun tersadar dari
khayalan. Buyarlah sudah skenario kebersamaan kita yang kurencanakan terwujud
di masa mendatang.
“Kau tahu, Rina akan dipersunting oleh
seseorang?” Tak kusangka, ia menuturkan perihal yang tak mengenakkan bagiku. .
“Bagaimana
bisa?” sergahku. “Rina, si wanita pemalu itu kan?”
“Ya,
bisalah. Kau tahu sendiri, bagaimana aku,” tuturnya, terlihat angkuh.
Aku
butuh dua detik untuk menyadari posisi dirinya dalam percakapan, “Jadi?”
tanyaku.
Senyumnya
merekah sempurna. “Ya, rencananya seminggu lagi keluargaku akan meminangnya.”
Aku
semakin diombang-ambingkan oleh keraguan dan ketidakpercayaanku. “Kok bisa?”
tanyaku lagi.
“Ya
bisalah,” tegasnya, sembari menepuk-nepuk pundakku. “Kau tahu, sebelumnya, aku
sendiri ragu jika ia akan menerima pernyataan perasaanku. Tapi kupikir, sebagai
manusia biasa, kita berhak mencoba. Takdir tak boleh digantungkan dan
dipasrahkan pada ketidakpastian. Kalau sudah usaha dan berdoa, tapi hasilnya
nihil, baru boleh pasrah.”
Aku
masih heran. Tepatnya, masih tak habis pikir.
“Sama
halnya dengan persoalan cinta. Di antara banyak kemungkinan yang menggantung
tentang di mana hati seseorang akan berlabuh, sebenarnya hanya perlu keberanian
untuk memastikannya,” sambungnya dengan kesan seperti menggurui. “Kau tahu,
Rina adalah wanita sempurna. Aku hanya lelaki yang biasa. Jelas banyak lelaki
yang lebih baik dariku. Tapi aku menjadi pemenang hatinya, hanya karena aku berani
mengungkapkan perasaanku.”
Dan
kini, kurasakan lagi pahitnya memendam. Ini untuk yang ke sekian kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar