Ombak
pagi masih tenang. Air laut sedang surut. Asmi hanya termenung di pelataran
rumahnya. Berdiam diri. Membiarkan wajahnya diterpa embusan angin yang tenang.
Sekadar menatap hamparan pantai yang lengang. Tapi jauh dalam benaknya, sebuah
cerita terselubung, masih menghantuinya.
Sikap
Asmi yang tertutup, telah berlangsung sekitar sebulan. Tak ada yang tahu
sebabnya. Bahkan Asdar, suaminya, turut dibuat bingung. Ia merasa tak pernah
melakukan kesalahan besar, yang dapat membuat sang istri, memendam kekesalan
begitu dalam. Berulang kali sudah, ia mencoba menyelidik, tapi sang istri tetap
bungkam.
Puncak
dari perubahan sikap Asmi, terjadi tiga hari lalu. Kala itu, hampir tengah
malam. Sebuah peristiwa tragis, dialaminya tanpa pertanda apa-apa. Entah
bagaimana alur ceritanya, ia hampir saja meregang nyawa, tenggelam di tengah
ombak laut yang menggulung. Beruntung, Anton, sepupu sang suami, segera
menyelamatkannya.
Setelah
kejadian misterius itu, desas-desus berkembang di tengah masyarakat. Banyak
yang menuding Asmi hendak bunuh diri. Ia diduga frustasi lantaran tak dikaruniai momongan. Pasalnya, selama delapan tahun menikah, ia tak kunjung hamil. Tapi, spekulasi itu disanggah Asdar. Ia
tahu betul kalau istrinya tak pernah mengeluhkan perihal anak, meski para
mertua sering kali bertanya.
“Kau tak usah memikirkan kejadian yang telah
lalu, Sayang. Lupakanlah. Jika aku ataupun orang lain punya salah padamu,
kumohon, maafkanlah. Semua demi masa depan kita,” nasihat Asdar, sembari
membelai rambut sang istri.
Asmi
bergeming. Ia terlihat masih asyik berdialog dengan dirinya sendiri.
Beberapa
detik berlalu, Asdar mengalihkan alur pembicaraan. Mencoba membahas perihal
yang mungkin membuat istrinya menjadi senang. Sebuah kejutan. “Aku punya kabar
gembira untukmu. Kau mau tahu?” pancing Asdar.
Tanpa
mengeluarkan sepetah kata pun, Asmi mengangguk pelan.
“Kau
hamil, Sayang,” seru Asdar, berharap senyuman istrinya merekah. “Saat kau
dirawat di rumah sakit tiga hari lalu, dokter memberitahu kalau kau hamil. Aku
yakin, orang tua kita pasti gembira mendengar kabar ini.”
Dugaan
Asdar melenceng. Tak ada respons berarti. Asmi cuma tersenyum sejenak, lalu
kembali terdiam. Seakan kabar itu biasa saja baginya. Tak mengejutkan.
Asdar
pun pasrah. Ia sadar tak ada cara untuk membuat istrinya kembali semringah.
“Oh,
iya, Anton telah pulang ke kota subuh tadi. Ia punya urusan mendadak. Entah
apa,” tutur Asdar. Ia bertutur tanpa ekspektasi apa-apa kepada sang istri. “Ia
meminta maaf, sebab tak sempat pamitan padamu.”
Raut
wajah Asmi masih datar. Tidak juga marah, tidak juga senang. Padahal, Anton
adalah lelaki yang menyelamatkannya dari amukan ombak tiga malam yang lalu.
“Hari
ini, aku akan pergi melaut seorang diri,” sambung Asdar, sambil menoleh kepada
sang istri yang hanya berbagi pipi. “Berjanjilah padaku kalau kau akan
baik-baik saja?”
Asmi
tiba-tiba menoleh pada sang suami. Masih tak kuasa beradu tatapan. Dan tanpa
diduga, ia menguraikan sebuah pesan, “Hati-hati. Jaga diri baik-baik,”
tuturnya, sambil tersenyum.
Asdar
mengangguk. Tampak sangat senang. Pelukan, belaian, dan kecupan pun, ia berikan
untuk sang istri. Lalu, dengan hati yang gembira, ia bergegas mempersiapkan
segala peralatan untuk pergi melaut. Dan tak lama berselang, ia menghilang di
balik ombak yang masih tenang.
Masih
di posisi yang sama, Asmi tak henti-hentinya memanjatkan doa agar suaminya pulang
dengan selamat. Apalagi, belakangan ini, di kesempatan hidupnya yang kedua, ia
semakin kalut. Dosa-dosanya yang menggunung, terus menghantui.
Kini,
Asmi berharap Tuhan memberinya waktu yang panjang. Ia hendak mengikis dosa-dosanya
kepada sang suami. Dosa yang masih dirahasiakannya. Dan mungkin sepanjang waktu
itu, suaminya tak akan pernah tahu kalau rencananya untuk mengakhiri hidup, ada
hubungannya dengan Anton dan kehamilannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar