Jumat, 06 November 2015

Luka di Musim Hujan


Aku selalu suka ketika musim hujan datang. Suasananya akan membawa anganku melayang mengikuti alur mundur waktu. Memutar kembali cerita ceria di bawah rintihan hujan di masa silam. Ya, banyak kenangan tentangku dan butiran hujan di masa lalu. Masih melekat di memoriku, kala bandel-bandelnya menjadi anak baru sekolah. Hujan menjadi waktu yang tepat untuk bermain dengan teman-teman. Tak peduli menuai marah karena pakaian kotor sesampai di rumah, atau karena penyakit akan memaksa kami tak masuk sekolah lagi keesokan harinya. Kami tetap suka menyusuri rerumpuran dan kubangan lumpur di jalanan. Senang saling menjaili.
 
Di bawah rintuhan hujan pula, sebuah kisah kelam membekas di benakku. Di awal November. Tak akan terlupakan. Kala itu, layaknya anak berumur sekitar tujuh tahun, kelakuan kami masih sangat polos dan egois. Anak sebaya yang mau diajak bermain adalah teman. Selebihnya adalah musuh. Ya, kami suka berkubu-kubuan. Hingga berujung pada permusuhan geng laki-laki dan perempuan. Kami tiga, lawan lima. Saling membenci. Tak ada lagi lakon kami sebagai petani ulung yang mengumpulkan bahan masakan untuk teman-teman perempuan. 

Puncaknya, hanya karena anak-anak perempuan tak ingin diajak bermain petak umpet, aku bersama anggota geng laki-laki sekonyong-konyong menghancurkan miniatur dapur para geng perempuan. Saat itu mereka tengah memasak dedauanan tanpa resep di bilik kecil bawah kolong rumah. Tak kusangka, Si Ompong, Vina, menghujamiku dengan kerikil tajam. Bidikannya tepat mengenai kening kananku. Aku spontan membalasnya dengan kerikil yang lebih besar. Lemparanku tepat mengenai tengah dahinya. Segera suara tangis wanita berambut keriting itu menembus deru denting hujan di atap seng. 

Suasana kurasa hambar. Aku bingung. Rasa haruku lambat tergugah. Sepertinya ego sebagai anak-anak kala itu masih memuncak. Aku hanya terdiam. Sedangkan tangis Vina semakin menjadi-jadi. Sambil menekan dahinya dengan telapak tangan, kulihat ia berjalan pulang ke rumahnya bersama anak buahnya. Mereka menembus derasnya hujan. Aku pun melangkah pulang. Hingga kusadari kala tetesan menekan bulu mataku, ternyata darah mengalir dari keningku. 

Aku tak tahu bagaimana keadaan Vina setelah kejadian itu. Lima hari setelahnya, aku tak melihatnya lagi. Dia masih di rumah sakit menurut kabar yang kudengar. Yang pasti, ayahku murka atas kelakuanku. Suasana di rumah pun menjadi serupa saat di sekolah. Orang tua dan guru matematika sama-sama menakutkan. Aku dapat dua pukulan di betis seketika ayah tahu aku yang menyulut pertempuran. Tapi beruntung, mungkin karena keningku luka dan aku segera menangis, ayah tak memberikan bonus lebih. Yang pasti karena kejadian itu, aku selalu ingat wejangan ibuku agar tidak memperlakukan wanita secara kasar. 

Di hari-hari selanjutnya, di musim hujan itu, aku hanya bisa melihat Vina di beranda rumahnya. Hampir sebulan sudah dia tak menginjakkan kakinya di sekolah. Sedangkan aku sudah bisa bersua di sekolah dua minggu yang lalu. Teman-teman sekelas mencarinya. Tapi sebaliknya, teman-teman dekatku mulai tak ramah padaku. Mereka menjauhiku.

Sepulang sekolah, di balik tirai buturan hujan, aku sesekali mengintai Vina di jendela rumahku yang berjarak 50 meter darinya. Tampak perban masih membujur di dahinya. Rasa bersalah membuatku takut dia membenciku selamanya. Karena itu juga, aku selalu penasaran ingin memastikan ia baik-baik saja. Aku berharap ada kemungkinan kami bermain hujan bersama lagi. 

Tapi musim hujan kala itu benar-benar kejam. Meninggalkan rasa bersalah yang tak sempat terhapus maaf. Seminggu selanjutnya, Vina dan keluarganya beranjak ke kota. Dia juga akan pindah sekolah jauh di sana. Kuharap itu bukan karena kesalahanku. Yang jelas, suasana hujan telah merekam masa kelam itu. Semuan akan teringat kembali bersamaan dengan datangnya hujan. Hujan memang tak selamanya membawa kedamaian.

***

Cerita hujan masih terbayang saat umurku 13 tahun. Saat itu aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku tentu belum melupakan peristiwa tentang hujan di masa kecilku. Aku pun selalu menyimpan kesan berbeda kepada setiap perempuan yang memiliki tanda lahir di dahinya. Akan selalu kuperhatikan. Dugaku selalu, jangan-jangan itu adalah perempuan yang dulu pernah kulukai, Vina. 

Meski musim telah berganti berpuluh-puluh kali dan banyak cerita yang terukir di balik hujan, kenangan tentang Vina tak akan terlupakan. Aku menafsir, itu sebab ceritanya belum sampai tamat. Ada tindakanku yang membuatnya terluka, dan aku tak ditakdirkan bertanya padanya tentang kabar dan perasaannya padaku. Aku selalu ingin tahu itu.  

Akhirnya, musim hujan datang lagi di bulan November. Masa-masa mengenang pun tiba. Tapi tidak untuk hari ini. Cerita tentang hujan sepertinya berlanjut. Hujan deras membuatku terperangkap di ruang sempit, di halte, selepas mengikuti bimbingan belajar. Sepertinya hujan ditakdirkan untukku mengimpaskan tanya yang terpendam tentang cerita hujan masa lalu. Ya, di halte itu, kuterpaku pada sebuah wajah yang mengingatkanku pada komposisi wajah Vina. Bentuknya oval, bermata sipit, berambut ketiring, dan berbibir tipis. 

Hujan semakin deras saja. Deru di atap meredam suara sepatu perempuan itu, yang ia gesek-gesekkan di lantai sedari tadi. Dia sepertinya suka bermain air hujan. Tak seperti beberapa penumpang halte lain yang tak sabaran dan nekat menembus butiran air hujan yang terus mengguyur. Akhirnya tersisa kami berdua. Entah kenapa ujung-ujungnya seperti ini. Keadaan memaksa untuk bernostalgia. Tetesan hujan seakan berubah menjadi harmoni nada yang indah. Tapi aku tetap tak berucap dan gusar sendiri. Tak tahu bagaimana harus memulai percakapan. Tak ada masalah yang menghubungkan kami dan layak jadi pembahasan. Kalaupun tentang masa kecil itu, kurasa dia tak pasti mengingatnya. Untung-untung juga kalau itu benar-benar Vina.

“Hey, bukumu kena hujan,” seruku padanya. 

Dia sepertinya tak mendengar jelas ejaan kalimatku. Mungin karena hujan berisik. Mungkin juga karena aku berucap terbata-bata. Syukurlah, dia aku bersuara, lalu berpaling padaku. “Apa?” tanyanya.

“Bukumu,” balasku sambil menunjuk-nunjuk ke arah bukunya. 

Dia lalu menengok ke samping kirinya dan menyadari apa maksud kata-kataku. Ia pun bergeser ke kanan, ke arahku, untuk menghindari cengkraman hujan yang terbawa angin. Kini jarak kami hanya semester. Aku jadi menyesal telah menyadarkannya. “Terima kasih,” tuturnya. Tak lama, ia menunduk lagi, menumpukan kedua telapak tangannya di bangku halte, lalu mengayun ayunkan sepasang sepatunya.

“Hmm,” aku mendahak. “Bukumu sepertinya menarik. Aku sudah baca sinopsisnya. Sudah lama aku mencarinya di toko buku, tapi aku tak dapat. Kau dapat dari mana?”

Dia sontak berbalik, menatapku. Seperti tak menyangka aku akan berkata lagi. “Oh, yang ini aku tidak beli. Punya Ibuku. Kebetulan ia suka baca karya sastra kalsik. Menurutku ceritanya menarik. Tapi aku belum menamatkannya,” jelasnya tanpa balas bertanya. Tapi mimiknya membuka peluang untuk melakukan percakapan panjang.

“Kau suka baca cerita fiksi juga?” tanyaku lagi. 

Dia hanya memandangku sejenak, lalu memandang sepatunya kembali. “Tidak terlalu. Hanya ketika minatku kambuh dan aku ada waktu luang,” balasnya.

“Aku suka membaca tulisan fiksi,” akuku, sebab sadar dia tak akan bertanya balik. “Belakangan, aku juga mencoba menulis fiksi. Aku berharap bisa jadi penulis hebat seperti penulis buku tuamu. Aku akan menulis tentang cerita masa kecilku, dan hujan,” tuturku. Mencoba memberikan tanda bahwa aku ingin percakapan kami tak terlalu serius.

“Haha. Amin. Aku akan membeli buku karanganmu, dan kuharap kau sudi membubuhkan tanda tanganmu,” balasnya sambil tersenyum. Tampaklah gigi serinya yang besar, seperti gigi kelinci.

Lebih dari sejam berlalu. Namun kurasa kami belum cukup bercerita. Apa mau dikata, mentari sore telah menampakkan sinar jingganya. Hujan telah reda, menyisakan pelangi yang indah. Tapi tak beruntung bagiku, kami tak sempat membahasnya. Angkutan kota berhenti tiba-tiba, hingga membuatnya lenyap di ujung jalan. Ia pergi tanpa meninggalkan identitas. Bahkan aku lupa bertanya namanya. Ada satu hal yang ingin kutanyakan padanya andai kami telah akrab, tentang bagaimana cerita di balik bekas luka di tengah dahinya?

Setelah kejadian itu, aku semakin suka dengan hujan. Aku menanti pertemuan selanjutnya, ketika hujan menjebaknya lagi di halte mendebarkan itu. Bahkan beberapa kali aku sengaja berdiam diri di sana kala hujan deras datang. Tapi kesempatan memang tak datang dua kali.

***

Mimpiku semakin nyata. Di umurku yang 26 tahun, aku telah menjadi seorang penulis fiksi profesional. Beberapa karyaku telah terbit di koran harian, bahkan dalam format buku. Sejak menjadi mahasiswa, aku memang telah menekuni dunia penulisan fiksi. Beberapa penikmat karya fiksi pun mengenalku lewat karya. Tak pelak, undangan untuk menjadi pembicara penulisan fiksi pun sesekali datang kepadaku. Ya, kini tak berlebihan jika aku punya keyakinan bisa menjadi penulis fiksi yang hebat. Kuharap dengan itu, aku bertemu lagi dengan gadis kecil yang pernah kulukai, yang kuduga pernah di halte bersamaku, dan dengan senang hati akan kububuhi tanda tangan di buku karyaku yang dimilikinya.

November datang lagi. Tentang perempuan di musim hujan itu pun tak bisa kutahan untuk tak merasuki ingatanku. Jejak-jejakku di musim hujan seperti dipandu kenangan. Karena jalanan pasti macet, akan kupilih menembus rintik hujan di bawah payung. Sekadar meresapi dinginnya hawa musim hujan. Jika hujan deras melanda, aku akan menepi pada gubuk di persimpangan jalan, berdiam diri, menatap aliran air yang mencari jalan, sambil menghirup bau dari aspal yang terbasuh hujan. Ya, aku merasa dekat dengan Si Gadis Hujan jika melakukan ritual sesederhana itu.

Saat ini aku sedang menghangatkan diri di sebuah kedai kopi langgananku. Kuteguk kopi sedikit demi sedikit, sembari memandangi uap dari hujan yang mulai mengaburkan kaca jendela. Sampai akhirnya suara deret pintu memancingku. Kualihkan pandangan ke arah tamu baru itu. Dia wanita tomboy yang berponi tebal. Ia muncul sambil menggendong tas ransel. Fokusku tertuju pada sampul buku yang digenggamnya. Ya, itu adalah buku gubahan cerita fiksiku. Kudapati satu lagi penebar kisahku, dia.

Tarpaksa karena tak ada bangku kosong, ia akhirnya duduk di dekatku. Kami semeja, namun ia tak duduk tepat di depanku. Ia memilih untuk duduk di sampingku, di sebelah kanan. Aku hanya meliriknya sejenak sebelum ia duduk. Setelah itu, perhatianku tertuju pada koran yang sedari tadi kubaca. Ia juga masih fokus melahap ketikan kata-kataku di buku fiksinya. Kuharap ia tak menyadari, akulah penulis buku yang ia baca. Aku tak ingin ia bertingkah lupa diri dan mengundang perhatian para pengunjung kedai yang lain, seperti yang biasa terjadi. 

“Hujan sepertinya akan lama,” ucapnya setelah hampir setengah jam duduk berdekatan. 

Aku yang sedari tadi menunduk, menengadah dan memastikan bahwa tak ada orang lain yang diajaknya berbicara. Ya, sepertinya memang kata-katanya ditujukan kepadaku. “Iya, semoga saja segera reda,” balasku singkat.

Dia pun meletakkan buku bacaannya, lalu merenggangkan pinggangnya. “Bukumu bagus juga. Sepertinya kau punya selera fiksi yang baik,” tuturnya sambil membalik-balik buku fiksi karangan idolaku yang bertumpuk di atas meja. 

“Haha, kau bisa saja. Kau juga pastinya suka membaca cerita fiksi. Bukumu familiar bagiku. Kau suka membacanya?” balasku. Aku masih tak ingin menunjukkan keseriusan bercakap dengannya. Akan segera kupalingkan wajahku darinya.

“Tidak terlalu. Hanya saja, kalau tidak salah menduga, si penulisnya adalah teman kecilku. Aku pernah mengenalnya. Aku suka bagian ceritanya yang berjudul Luka di Musim Hujan. Membacanya membuatku mengingat masa-masa kecilku,” tuturnya.

Kata-katanya mengejutkanku. Aku langsung menghentikan bacaan koranku dengan sikap yang sebiasa mungkin. Kuperhatikan wajahnya dan sambil berusaha mengingat-ingat teman kecilku. Lama aku mengamatinya raut wajahnya, tak bisa kutemukan wajah kembarnya di memoriku. Kuduga ia hanya mengaku-ngaku.

“Kak, minta tanda tangannya dong,” pinta seorang perempuan di samping kiriku tiba-tiba. Ia tampak kegenitan, seperti masih anak sekolahan. Sikap yang akan kubalas dengan senyum terpaksa. 

Langsung saja kububuhkan tanda tangan di buku gubahanku yang ia sodorkan, lalu melayani pintanya untuk foto bersama. Setelah itu, ia bergegas pergi.

Tapi imbasnya, perempuan di samping kananku sepertinya mulai menyadari bahwa bukunya mirip dengan buku yang disodorkan perempuan tadi. “Jadi benar, kau penulis bukuku ini. Kamu Fedy kan?” tuturnya, lalu bertahan dengan mimik seperti menanti kejutan datang.

Aku masih berusaha terlihat biasa. “Iya. Aku dari tadi mencoba mengingat-ingat kamu siapa. Tapi aku tak ingat. Benar kau pernah mengenal aku?”

Dia lalu tersenyum lebar, hingga terpancar jelas wajah perempuan yang pernah kulukai di musim hujan. “Coba liat alismu. Haha, jejak lemparanku masih membekas,” tuturnya.

“Jadi kau Vina?” tanyaku.

“Liat saja bekas lemparanmu jika tak percaya,” tuturnya, sambil menyapu poni yang menutup dahinya. “Aku harap kau sudi menendatangani bukuku ini.”

“Haha, aku tak akan mau sebelum kau meminta maaf!” candaku.

“Enak saja. Kau duluan yang meminta maaf!” balasnya.

“Baiklah, aku minta maaf telah melukaimu di waktu lampau, di musim hujan,” tuturku.

Sore itu kami lalui dengan perbincangan panjang. Luka masa lalu yang tercipta tak sedikit pun menyisakan dendam. Kini, semua bahkan terasa lucu dan mengejutkan. Kami mengerti itu sebagai keluguan anak-anak. Dan sekarang, kami sama-sama dewasa. Aku berharap, kami merasakan kesan yang sama, bahwa  musim hujan telah datang untuk mendamaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar