Aku selalu suka ketika musim hujan datang. Suasananya akan membawa anganku melayang mengikuti alur mundur waktu. Memutar kembali cerita ceria di bawah rintihan hujan di masa silam. Ya, banyak kenangan tentangku dan butiran hujan di masa lalu. Masih melekat di memoriku, kala bandel-bandelnya menjadi anak baru sekolah. Hujan menjadi waktu yang tepat untuk bermain dengan teman-teman. Tak peduli menuai marah karena pakaian kotor sesampai di rumah, atau karena penyakit akan memaksa kami tak masuk sekolah lagi keesokan harinya. Kami tetap suka menyusuri rerumpuran dan kubangan lumpur di jalanan. Senang saling menjaili.
Di
bawah rintuhan hujan pula, sebuah kisah kelam membekas di benakku. Di awal
November. Tak akan terlupakan. Kala itu, layaknya anak berumur sekitar tujuh
tahun, kelakuan kami masih sangat polos dan egois. Anak sebaya yang mau diajak
bermain adalah teman. Selebihnya adalah musuh. Ya, kami suka berkubu-kubuan.
Hingga berujung pada permusuhan geng laki-laki dan perempuan. Kami tiga, lawan
lima. Saling membenci. Tak ada lagi lakon kami sebagai petani ulung yang
mengumpulkan bahan masakan untuk teman-teman perempuan.
Puncaknya,
hanya karena anak-anak perempuan tak ingin diajak bermain petak umpet, aku
bersama anggota geng laki-laki sekonyong-konyong menghancurkan miniatur dapur
para geng perempuan. Saat itu mereka tengah memasak dedauanan tanpa resep di bilik
kecil bawah kolong rumah. Tak kusangka, Si Ompong, Vina, menghujamiku dengan
kerikil tajam. Bidikannya tepat mengenai kening kananku. Aku spontan membalasnya
dengan kerikil yang lebih besar. Lemparanku tepat mengenai tengah dahinya. Segera suara
tangis wanita berambut keriting itu menembus deru denting hujan di atap seng.
Suasana
kurasa hambar. Aku bingung. Rasa haruku lambat tergugah. Sepertinya ego sebagai
anak-anak kala itu masih memuncak. Aku hanya terdiam. Sedangkan tangis Vina
semakin menjadi-jadi. Sambil menekan dahinya dengan telapak tangan, kulihat ia
berjalan pulang ke rumahnya bersama anak buahnya. Mereka menembus derasnya
hujan. Aku pun melangkah pulang. Hingga kusadari kala tetesan menekan bulu
mataku, ternyata darah mengalir dari keningku.
Aku
tak tahu bagaimana keadaan Vina setelah kejadian itu. Lima hari setelahnya, aku
tak melihatnya lagi. Dia masih di rumah sakit menurut kabar yang kudengar. Yang
pasti, ayahku murka atas kelakuanku. Suasana di rumah pun menjadi serupa saat
di sekolah. Orang tua dan guru matematika sama-sama menakutkan. Aku dapat dua
pukulan di betis seketika ayah tahu aku yang menyulut pertempuran. Tapi
beruntung, mungkin karena keningku luka dan aku segera menangis, ayah tak memberikan
bonus lebih. Yang pasti karena kejadian itu, aku selalu ingat wejangan ibuku
agar tidak memperlakukan wanita secara kasar.
Di
hari-hari selanjutnya, di musim hujan itu, aku hanya bisa melihat Vina di
beranda rumahnya. Hampir sebulan sudah dia tak menginjakkan kakinya di sekolah.
Sedangkan aku sudah bisa bersua di sekolah dua minggu yang lalu. Teman-teman
sekelas mencarinya. Tapi sebaliknya, teman-teman dekatku mulai tak ramah padaku.
Mereka menjauhiku.
Sepulang
sekolah, di balik tirai buturan hujan, aku sesekali mengintai Vina di jendela
rumahku yang berjarak 50 meter darinya. Tampak perban masih membujur di
dahinya. Rasa bersalah membuatku takut dia membenciku selamanya. Karena itu
juga, aku selalu penasaran ingin memastikan ia baik-baik saja. Aku berharap ada
kemungkinan kami bermain hujan bersama lagi.
Tapi
musim hujan kala itu benar-benar kejam. Meninggalkan rasa bersalah yang tak
sempat terhapus maaf. Seminggu selanjutnya, Vina dan keluarganya beranjak ke
kota. Dia juga akan pindah sekolah jauh di sana. Kuharap itu bukan karena
kesalahanku. Yang jelas, suasana hujan telah merekam masa kelam itu. Semuan akan
teringat kembali bersamaan dengan datangnya hujan. Hujan memang tak selamanya
membawa kedamaian.
***
Cerita
hujan masih terbayang saat umurku 13 tahun. Saat itu aku duduk di bangku kelas
2 SMP. Aku tentu belum melupakan peristiwa tentang hujan di masa kecilku. Aku
pun selalu menyimpan kesan berbeda kepada setiap perempuan yang memiliki tanda
lahir di dahinya. Akan selalu kuperhatikan. Dugaku selalu, jangan-jangan itu
adalah perempuan yang dulu pernah kulukai, Vina.
Meski
musim telah berganti berpuluh-puluh kali dan banyak cerita yang terukir di
balik hujan, kenangan tentang Vina tak akan terlupakan. Aku menafsir, itu sebab
ceritanya belum sampai tamat. Ada tindakanku yang membuatnya terluka, dan aku
tak ditakdirkan bertanya padanya tentang kabar dan perasaannya padaku. Aku selalu
ingin tahu itu.
Akhirnya,
musim hujan datang lagi di bulan November. Masa-masa mengenang pun tiba. Tapi tidak
untuk hari ini. Cerita tentang hujan sepertinya berlanjut. Hujan deras
membuatku terperangkap di ruang sempit, di halte, selepas mengikuti bimbingan
belajar. Sepertinya hujan ditakdirkan untukku mengimpaskan tanya yang terpendam
tentang cerita hujan masa lalu. Ya, di halte itu, kuterpaku pada sebuah wajah yang
mengingatkanku pada komposisi wajah Vina. Bentuknya oval, bermata sipit,
berambut ketiring, dan berbibir tipis.
Hujan
semakin deras saja. Deru di atap meredam suara sepatu perempuan itu, yang ia gesek-gesekkan
di lantai sedari tadi. Dia sepertinya suka bermain air hujan. Tak seperti beberapa
penumpang halte lain yang tak sabaran dan nekat menembus butiran air hujan yang
terus mengguyur. Akhirnya tersisa kami berdua. Entah kenapa ujung-ujungnya
seperti ini. Keadaan memaksa untuk bernostalgia. Tetesan hujan seakan berubah
menjadi harmoni nada yang indah. Tapi aku tetap tak berucap dan gusar sendiri.
Tak tahu bagaimana harus memulai percakapan. Tak ada masalah yang menghubungkan
kami dan layak jadi pembahasan. Kalaupun tentang masa kecil itu, kurasa dia tak
pasti mengingatnya. Untung-untung juga kalau itu benar-benar Vina.
“Hey,
bukumu kena hujan,” seruku padanya.
Dia
sepertinya tak mendengar jelas ejaan kalimatku. Mungin karena hujan berisik.
Mungkin juga karena aku berucap terbata-bata. Syukurlah, dia aku bersuara, lalu
berpaling padaku. “Apa?” tanyanya.
“Bukumu,”
balasku sambil menunjuk-nunjuk ke arah bukunya.
Dia
lalu menengok ke samping kirinya dan menyadari apa maksud kata-kataku. Ia pun
bergeser ke kanan, ke arahku, untuk menghindari cengkraman hujan yang terbawa
angin. Kini jarak kami hanya semester. Aku jadi menyesal telah menyadarkannya.
“Terima kasih,” tuturnya. Tak lama, ia menunduk lagi, menumpukan kedua telapak
tangannya di bangku halte, lalu mengayun ayunkan sepasang sepatunya.
“Hmm,”
aku mendahak. “Bukumu sepertinya menarik. Aku sudah baca sinopsisnya. Sudah
lama aku mencarinya di toko buku, tapi aku tak dapat. Kau dapat dari mana?”
Dia
sontak berbalik, menatapku. Seperti tak menyangka aku akan berkata lagi. “Oh,
yang ini aku tidak beli. Punya Ibuku. Kebetulan ia suka baca karya sastra
kalsik. Menurutku ceritanya menarik. Tapi aku belum menamatkannya,” jelasnya
tanpa balas bertanya. Tapi mimiknya membuka peluang untuk melakukan percakapan
panjang.
“Kau
suka baca cerita fiksi juga?” tanyaku lagi.
Dia
hanya memandangku sejenak, lalu memandang sepatunya kembali. “Tidak terlalu.
Hanya ketika minatku kambuh dan aku ada waktu luang,” balasnya.
“Aku
suka membaca tulisan fiksi,” akuku, sebab sadar dia tak akan bertanya balik.
“Belakangan, aku juga mencoba menulis fiksi. Aku berharap bisa jadi penulis
hebat seperti penulis buku tuamu. Aku akan menulis tentang cerita masa kecilku,
dan hujan,” tuturku. Mencoba memberikan tanda bahwa aku ingin percakapan kami tak
terlalu serius.
“Haha.
Amin. Aku akan membeli buku karanganmu, dan kuharap kau sudi membubuhkan tanda
tanganmu,” balasnya sambil tersenyum. Tampaklah gigi serinya yang besar,
seperti gigi kelinci.
Lebih
dari sejam berlalu. Namun kurasa kami belum cukup bercerita. Apa mau dikata, mentari
sore telah menampakkan sinar jingganya. Hujan telah reda, menyisakan pelangi
yang indah. Tapi tak beruntung bagiku, kami tak sempat membahasnya. Angkutan kota
berhenti tiba-tiba, hingga membuatnya lenyap di ujung jalan. Ia pergi tanpa
meninggalkan identitas. Bahkan aku lupa bertanya namanya. Ada satu hal yang ingin kutanyakan padanya andai kami
telah akrab, tentang bagaimana cerita di balik bekas luka di tengah dahinya?
Setelah
kejadian itu, aku semakin suka dengan hujan. Aku menanti pertemuan selanjutnya,
ketika hujan menjebaknya lagi di halte mendebarkan itu. Bahkan beberapa kali
aku sengaja berdiam diri di sana kala hujan deras datang. Tapi kesempatan
memang tak datang dua kali.
***
Mimpiku
semakin nyata. Di umurku yang 26 tahun, aku telah menjadi seorang penulis fiksi
profesional. Beberapa karyaku telah terbit di koran harian, bahkan dalam format
buku. Sejak menjadi mahasiswa, aku memang telah menekuni dunia penulisan fiksi.
Beberapa penikmat karya fiksi pun mengenalku lewat karya. Tak pelak, undangan
untuk menjadi pembicara penulisan fiksi pun sesekali datang kepadaku. Ya, kini tak
berlebihan jika aku punya keyakinan bisa menjadi penulis fiksi yang hebat.
Kuharap dengan itu, aku bertemu lagi dengan gadis kecil yang pernah kulukai,
yang kuduga pernah di halte bersamaku, dan dengan senang hati akan kububuhi
tanda tangan di buku karyaku yang dimilikinya.
November
datang lagi. Tentang perempuan di musim hujan itu pun tak bisa kutahan untuk
tak merasuki ingatanku. Jejak-jejakku di musim hujan seperti dipandu kenangan. Karena
jalanan pasti macet, akan kupilih menembus rintik hujan di bawah payung. Sekadar
meresapi dinginnya hawa musim hujan. Jika hujan deras melanda, aku akan menepi
pada gubuk di persimpangan jalan, berdiam diri, menatap aliran air yang mencari
jalan, sambil menghirup bau dari aspal yang terbasuh hujan. Ya, aku merasa
dekat dengan Si Gadis Hujan jika melakukan ritual sesederhana itu.
Saat
ini aku sedang menghangatkan diri di sebuah kedai kopi langgananku. Kuteguk
kopi sedikit demi sedikit, sembari memandangi uap dari hujan yang mulai mengaburkan
kaca jendela. Sampai akhirnya suara deret pintu memancingku. Kualihkan
pandangan ke arah tamu baru itu. Dia wanita tomboy yang berponi tebal. Ia muncul
sambil menggendong tas ransel. Fokusku tertuju pada sampul buku yang
digenggamnya. Ya, itu adalah buku gubahan cerita fiksiku. Kudapati satu lagi
penebar kisahku, dia.
Tarpaksa
karena tak ada bangku kosong, ia akhirnya duduk di dekatku. Kami semeja, namun ia
tak duduk tepat di depanku. Ia memilih untuk duduk di sampingku, di sebelah
kanan. Aku hanya meliriknya sejenak sebelum ia duduk. Setelah itu, perhatianku
tertuju pada koran yang sedari tadi kubaca. Ia juga masih fokus melahap ketikan
kata-kataku di buku fiksinya. Kuharap ia tak menyadari, akulah penulis buku yang
ia baca. Aku tak ingin ia bertingkah lupa diri dan mengundang perhatian para
pengunjung kedai yang lain, seperti yang biasa terjadi.
“Hujan
sepertinya akan lama,” ucapnya setelah hampir setengah jam duduk berdekatan.
Aku
yang sedari tadi menunduk, menengadah dan memastikan bahwa tak ada orang lain
yang diajaknya berbicara. Ya, sepertinya memang kata-katanya ditujukan
kepadaku. “Iya, semoga saja segera reda,” balasku singkat.
Dia
pun meletakkan buku bacaannya, lalu merenggangkan pinggangnya. “Bukumu bagus
juga. Sepertinya kau punya selera fiksi yang baik,” tuturnya sambil membalik-balik
buku fiksi karangan idolaku yang bertumpuk di atas meja.
“Haha,
kau bisa saja. Kau juga pastinya suka membaca cerita fiksi. Bukumu familiar
bagiku. Kau suka membacanya?” balasku. Aku masih tak ingin menunjukkan
keseriusan bercakap dengannya. Akan segera kupalingkan wajahku darinya.
“Tidak
terlalu. Hanya saja, kalau tidak salah menduga, si penulisnya adalah teman
kecilku. Aku pernah mengenalnya. Aku suka bagian ceritanya yang berjudul Luka di Musim Hujan. Membacanya
membuatku mengingat masa-masa kecilku,” tuturnya.
Kata-katanya
mengejutkanku. Aku langsung menghentikan bacaan koranku dengan sikap yang
sebiasa mungkin. Kuperhatikan wajahnya dan sambil berusaha mengingat-ingat
teman kecilku. Lama aku mengamatinya raut wajahnya, tak bisa kutemukan wajah
kembarnya di memoriku. Kuduga ia hanya mengaku-ngaku.
“Kak,
minta tanda tangannya dong,” pinta seorang perempuan di samping kiriku
tiba-tiba. Ia tampak kegenitan, seperti masih anak sekolahan. Sikap yang akan
kubalas dengan senyum terpaksa.
Langsung
saja kububuhkan tanda tangan di buku gubahanku yang ia sodorkan, lalu melayani
pintanya untuk foto bersama. Setelah itu, ia bergegas pergi.
Tapi
imbasnya, perempuan di samping kananku sepertinya mulai menyadari bahwa bukunya
mirip dengan buku yang disodorkan perempuan tadi. “Jadi benar, kau penulis
bukuku ini. Kamu Fedy kan?” tuturnya, lalu bertahan dengan mimik seperti
menanti kejutan datang.
Aku
masih berusaha terlihat biasa. “Iya. Aku dari tadi mencoba mengingat-ingat kamu
siapa. Tapi aku tak ingat. Benar kau pernah mengenal aku?”
Dia lalu tersenyum lebar, hingga terpancar jelas wajah perempuan yang pernah
kulukai di musim hujan. “Coba liat alismu. Haha, jejak lemparanku masih
membekas,” tuturnya.
“Jadi
kau Vina?” tanyaku.
“Liat
saja bekas lemparanmu jika tak percaya,” tuturnya, sambil menyapu poni yang
menutup dahinya. “Aku harap kau sudi menendatangani bukuku ini.”
“Haha,
aku tak akan mau sebelum kau meminta maaf!” candaku.
“Enak
saja. Kau duluan yang meminta maaf!” balasnya.
“Baiklah,
aku minta maaf telah melukaimu di waktu lampau, di musim hujan,” tuturku.
Sore
itu kami lalui dengan perbincangan panjang. Luka masa lalu yang tercipta tak sedikit pun
menyisakan dendam. Kini, semua bahkan terasa lucu dan mengejutkan. Kami
mengerti itu sebagai keluguan anak-anak. Dan sekarang, kami sama-sama dewasa. Aku
berharap, kami merasakan kesan yang sama, bahwa musim hujan telah datang untuk mendamaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar