Senin, 09 November 2015

Menjaga Satu Kenangan

Entah adakah orang yang akan memilih barang bekas dibanding barang baru jika ditawarkan secara bersamaan? Yang ada, kemungkinan besar, setiap orang akan memilih barang baru. Di perasaan setiap orang lumrahnya, pasti enggan menerima sisa orang lain. Setiap orang berharap menjadi yang pertama dan terakhir dalam memiliki, bukan yang kedua atau selebihnya. Memang manusiawi jika setiap orang ingin memiliki sesuatu secara eksklusif. Ada ranah privasi yang selayaknya tak mendapat campur tangan pihak luar. 

Tapi masalahnya, di dunia yang gandrung pamer, mendapatkan yang pertama untuk sesuatu yang sifatnya privasi, sepertinya sulit. Di masa kini, semuanya serba obral demi mendapatkan penghargaan diri. Bahkan tentang hal yang wajib terjaga. Tak perlu diperinci itu dalam persoalan apa. Kemungkinan juga bisa melebar ke sejumlah aspek. Yang pasti, setiap orang dalam banyak hal menginginkan dan menuntut sesuatu yang eksklusif. Tapi sebaliknya, sering kali dia tak berusaha menjadikan dirinya sesuatu yang eksklusif pula. Setiap orang ingin sesuatu yang baik, namun ia tak mau menjadi baik untuk sesuatu yang dimilikinya nanti. Akhirnya terjadi kepincangan. Ada ruang kekecewaan atau perdebatan nantinya, akibat salah satu pihak merasa tertipu, tidak mendapatkan sesuatu seharga apa yang telah ia korbankan. Terjadilah perpecahan.

Dalam kenyataannya, kita memang bisa menyaksikan seseorang bisa menerima sesuatu yang tak istimewa lagi baginya. Namun, pada tulisan ini, kita berangkat dari anggapan bahwa semua terjadi secara ideal, sebagaimana mestinya manusia biasa. Yaitu keadaan saat seseorang dapat memilih sesuatu yang teruntuk baginya secara istimewa, dia akan memilih itu. Dia memilih dengan ketulusan nurani, bukan karena tipuan, tidak ada pilihan lain, atau bahkan keterpaksaan. Fenomena yang menunjukkan seseorang menerima sesuatu yang telah terjamah tentu didasarkan pada pertimbangan subjektif. Sebab secara naluriah dan objektif, setiap orang ingin yang eksklusif. Ringkasnya, tampil menerima dengan tulus memang mudah ketimbang merasa tulus.

Tapi kita juga tidak menampikkan bahwa kadang kala, ada seseorang yang dengan setia mempertahankan dan menyayangi sesuatu yang sesungguhnya tak eksklusif lagi baginya. Berusaha mempertahankannya sebagai yang pertama dan terakhir. Meski sebaliknya, ia tak lagi istimewa di sisi pilihannya. Pertanyaan besar akan muncul jika secara kasat mata, sang pemilih itu memiliki modal untuk diperebutkan sebagai sesuatu yang istimewa, namun ia rela membenamkan diri dengan memilih sesuatu yang tak layak dipandang selaras dengannya, tak eksklusif lagi. Lalu seiring berjalannya waktu, kasih sayang sang pemilih tak sedikit pun surut. Kenapa bisa? Bisa jadi karena sang pemilih sudah merasa cukup dan hanya mau tahu apa yang dipilihnya. Ia tak mau tahu dengan daftar pilihan lain yang tak terhingga, serta mampu mengabaikan pandangan orang lain. Intinya, seseorang bisa merasa puas, kecuali bagi yang gemar mencari-cari pembanding. 

Berkaca pada kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa kadang kita perlu menahan diri untuk mencoba dan mengetahui segala sesuatu. Pengetahuan yang berlebih-lebihan ternyata dapat berujung pada keliaran. Tak mampu membendung keinginan untuk memiliki segala sesuatu yang diketahui. Untuk itu, orang yang berpengetahuan harus bersikap bijaksana. Senantiasa merasa cukup dengan yang ada, dan bersyukur. Selain itu, tak mesti juga harus dengan pengalaman untuk kita tahu yang terbaik. Intinya, tak ada kepuasan di dunia, kecuali kita merasa cukup dan bersyukur. 

Demi sesuatu yang kita rasa eksklusif dan telah kita miliki, senantiasalah menundukkan nafsu dengan akal dan hati. Merasa cukuplah dengan satu. Habiskanlah waktu dengan itu, hingga kelak ketika waktu memisahkan, semua akan terkenang. Kenanganlah yang paling berharga. Tak ada gunanya mengukir cerita dengan pemeran yang terganti-ganti. Memang benar bahwa hidup cuma sekali dan tak ada salahnya digunakan untuk meraih kepuasan sebesar mungkin. Tapi ingatlah, waktu tak bisa berjalan mundur. Menodai kenangan sama saja dengan merusak hidup. Kenanganlah yang abadi dan akan diputar kembali di hari kemudian.

Di masa kini, kita sering mendengar orang menceritakan dan membangga-banggakan dirinya karena mampu mengukir kenangan dengan pemeran utama yang berganti-ganti. Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka. Merasa menjadi penakluk. Tapi sekali lagi, kadang-kadang kenangan menjadi sangat kejam. Kita bisa mudah membenci sesuatu karena kita lebih mencintai kenangan dengan sesuatu yang lainnya. Ada pembanding yang membuat kita enggan merasa cukup dengan yang ada. Sadisnya, seberusaha bagaimana pun seseorang melupakan kenangan, mustahil terlupa! Kenangan jugalah yang akan kita putar kembali di waktu kita sadar telah melalui tahun-tahun yang melelahkan dan penuh rintangan. Entahlah kita jadi risau dan bersedih menjadi pecundang sebenarnya, ataukah bangga dan senyum-senyum sendiri telah berhasil menaklukkan kerasnya godaan dunia. 

Tentu sudah disadari, tak perlu harus dengan pengalaman kita untuk mengetahui baik-buruknya sesuatu. Tak perlu dengan kehilangan kita mengerti berharganya memiliki. Sudah cukup kita belajar dari kisah-kisah kelam orang lain. Cukup kita bertanya pada hati, lalu mengimajinasikan dampak-dampak buruk jika kita menuruti kelabilan jiwa dan mengukir kenangan-kenangan sampah! Semua bisa dibayangkan dampaknya tanpa harus kita mengalaminya. Bertahanlah. Waktu hidup yang singkat terlalu sia-sia jika digunakan untuk mencoba-coba kelakuan yang kita tahu sendiri akibat dan akhirnya.

Memang, manusia bukan malaikat yang senantiasa patuh pada kebenaran. Bukan juga iblis yang memilih abadi dalam kemungkaran. Tapi di balik kebebasan kita sebagai manusia, kita punya akal dan hati untuk meredam ganasnya hasrat duniawi. Namun harus diakui, sebagai makhluk yang lemah, kita tetap tak luput dari khilaf. Syukurlah, selalu terbuka jalan untuk kembali pada kebenaran. Yang parah jika kita sengaja melawan kebenaran sambil memamerkannya, seperti banggga mendosa. Untuk itu, dalam pembahasan ini, mungkin perlu direnungi kembali pertanyaan bahwa jika kita ingin sesuatu yang eksklusif, kenapa kita tak menjaga eksklusivitas diri kita untuk takdir kita nantinya? Bersikap adillah!

Akhirnya, tak usah merisaukan penilaian orang lain untuk tak mengukuhkan idealisme. Tak perlu merasa menjadi pecundang di antara orang-orang yang merasa dirinya sebagai penakluk, yang membanggakan dirinya menjadi rebutan. Jika kita berhasil mempersembahkan diri kita sebagai sesuatu yang eksklusif, itu jauh lebih berharga. Namun jika akhirnya kita ditakdirkan pada yang tak eksklusif untuk kita, jangan risaukan. Setidaknya diri kita mendapatkan kebaikan lebih. Yang kiranya bisa jadi sandaran, bahwa kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan pada diri orang lain. Jika apa yang akan menjadi kenangan kita nantinya adalah sebuah cerita yang terjaga, yang kita miliki tanpa terkacau orang lain, bahagialah! Layaknya menonton film, hampir pasti tak ada orang yang senang menonton film jika tak sampai tamat. Akhirnya teringat lagi ungkapan yang pernah saya tuliskan:

“Untuk yang terbaik, tak perlu ada pembanding. Tak harus juga lewat pertikaian. Maka cukup selami satu. Akan mengalir kesan mendamaikan dari ketulusan menerima. Jika nanti telah memulai, akhiri sampai waktu, sehingga tak mengukir dan terjebak kenangan sesat. Bertahanlah. Seperti drama, tak peduli bagaimana alurnya, yang terbaik adalah tamat dengan tokoh utama yang tak terganti.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar