Entah
adakah orang yang akan memilih barang bekas dibanding barang baru jika
ditawarkan secara bersamaan? Yang ada, kemungkinan besar, setiap orang akan
memilih barang baru. Di perasaan setiap orang lumrahnya, pasti enggan menerima
sisa orang lain. Setiap orang berharap menjadi yang pertama dan terakhir dalam
memiliki, bukan yang kedua atau selebihnya. Memang manusiawi jika setiap orang
ingin memiliki sesuatu secara eksklusif. Ada ranah privasi yang selayaknya tak
mendapat campur tangan pihak luar.
Tapi
masalahnya, di dunia yang gandrung pamer, mendapatkan yang pertama untuk
sesuatu yang sifatnya privasi, sepertinya sulit. Di masa kini, semuanya serba
obral demi mendapatkan penghargaan diri. Bahkan tentang hal yang wajib terjaga. Tak perlu
diperinci itu dalam persoalan apa. Kemungkinan juga bisa melebar ke sejumlah
aspek. Yang pasti, setiap orang dalam banyak hal menginginkan dan menuntut
sesuatu yang eksklusif. Tapi sebaliknya, sering kali dia tak berusaha
menjadikan dirinya sesuatu yang eksklusif pula. Setiap orang ingin sesuatu yang
baik, namun ia tak mau menjadi baik untuk sesuatu yang dimilikinya nanti.
Akhirnya terjadi kepincangan. Ada ruang kekecewaan atau perdebatan nantinya,
akibat salah satu pihak merasa tertipu, tidak mendapatkan sesuatu seharga apa
yang telah ia korbankan. Terjadilah perpecahan.
Dalam
kenyataannya, kita memang bisa menyaksikan seseorang bisa menerima sesuatu yang
tak istimewa lagi baginya. Namun, pada tulisan ini, kita berangkat dari
anggapan bahwa semua terjadi secara ideal, sebagaimana mestinya manusia biasa.
Yaitu keadaan saat seseorang dapat memilih sesuatu yang teruntuk baginya secara
istimewa, dia akan memilih itu. Dia memilih dengan ketulusan nurani, bukan
karena tipuan, tidak ada pilihan lain, atau bahkan keterpaksaan. Fenomena yang
menunjukkan seseorang menerima sesuatu yang telah terjamah tentu didasarkan
pada pertimbangan subjektif. Sebab secara naluriah dan objektif, setiap orang
ingin yang eksklusif. Ringkasnya, tampil menerima dengan tulus memang mudah
ketimbang merasa tulus.
Tapi
kita juga tidak menampikkan bahwa kadang kala, ada seseorang yang dengan setia
mempertahankan dan menyayangi sesuatu yang sesungguhnya tak eksklusif lagi baginya.
Berusaha mempertahankannya sebagai yang pertama dan terakhir. Meski sebaliknya,
ia tak lagi istimewa di sisi pilihannya. Pertanyaan besar akan muncul jika
secara kasat mata, sang pemilih itu memiliki modal untuk diperebutkan sebagai sesuatu
yang istimewa, namun ia rela membenamkan diri dengan memilih sesuatu yang tak layak
dipandang selaras dengannya, tak eksklusif lagi. Lalu seiring berjalannya
waktu, kasih sayang sang pemilih tak sedikit pun surut. Kenapa bisa? Bisa jadi
karena sang pemilih sudah merasa cukup dan hanya mau tahu apa yang dipilihnya. Ia
tak mau tahu dengan daftar pilihan lain yang tak terhingga, serta mampu
mengabaikan pandangan orang lain. Intinya, seseorang bisa merasa puas, kecuali bagi
yang gemar mencari-cari pembanding.
Berkaca
pada kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa kadang kita perlu menahan diri
untuk mencoba dan mengetahui segala sesuatu. Pengetahuan yang berlebih-lebihan
ternyata dapat berujung pada keliaran. Tak mampu membendung keinginan untuk
memiliki segala sesuatu yang diketahui. Untuk itu, orang yang berpengetahuan
harus bersikap bijaksana. Senantiasa merasa cukup dengan yang ada, dan
bersyukur. Selain itu, tak mesti juga harus dengan pengalaman untuk kita tahu
yang terbaik. Intinya, tak ada kepuasan di dunia, kecuali kita merasa cukup dan
bersyukur.
Demi
sesuatu yang kita rasa eksklusif dan telah kita miliki, senantiasalah menundukkan
nafsu dengan akal dan hati. Merasa cukuplah dengan satu. Habiskanlah waktu dengan
itu, hingga kelak ketika waktu memisahkan, semua akan terkenang. Kenanganlah
yang paling berharga. Tak ada gunanya mengukir cerita dengan pemeran yang
terganti-ganti. Memang benar bahwa hidup cuma sekali dan tak ada salahnya digunakan
untuk meraih kepuasan sebesar mungkin. Tapi ingatlah, waktu tak bisa berjalan
mundur. Menodai kenangan sama saja dengan merusak hidup. Kenanganlah yang abadi
dan akan diputar kembali di hari kemudian.
Di
masa kini, kita sering mendengar orang menceritakan dan membangga-banggakan
dirinya karena mampu mengukir kenangan dengan pemeran utama yang berganti-ganti.
Ada kebanggaan tersendiri bagi mereka. Merasa menjadi penakluk. Tapi sekali lagi,
kadang-kadang kenangan menjadi sangat kejam. Kita bisa mudah membenci sesuatu karena
kita lebih mencintai kenangan dengan sesuatu yang lainnya. Ada pembanding yang
membuat kita enggan merasa cukup dengan yang ada. Sadisnya, seberusaha bagaimana
pun seseorang melupakan kenangan, mustahil terlupa! Kenangan jugalah yang akan
kita putar kembali di waktu kita sadar telah melalui tahun-tahun yang
melelahkan dan penuh rintangan. Entahlah kita jadi risau dan bersedih menjadi
pecundang sebenarnya, ataukah bangga dan senyum-senyum sendiri telah berhasil
menaklukkan kerasnya godaan dunia.
Tentu
sudah disadari, tak perlu harus dengan pengalaman kita untuk mengetahui baik-buruknya
sesuatu. Tak perlu dengan kehilangan kita mengerti berharganya memiliki. Sudah
cukup kita belajar dari kisah-kisah kelam orang lain. Cukup kita bertanya pada
hati, lalu mengimajinasikan dampak-dampak buruk jika kita menuruti kelabilan
jiwa dan mengukir kenangan-kenangan sampah! Semua bisa dibayangkan dampaknya
tanpa harus kita mengalaminya. Bertahanlah. Waktu hidup yang singkat terlalu
sia-sia jika digunakan untuk mencoba-coba kelakuan yang kita tahu sendiri akibat
dan akhirnya.
Memang,
manusia bukan malaikat yang senantiasa patuh pada kebenaran. Bukan juga iblis
yang memilih abadi dalam kemungkaran. Tapi di balik kebebasan kita sebagai
manusia, kita punya akal dan hati untuk meredam ganasnya hasrat duniawi. Namun
harus diakui, sebagai makhluk yang lemah, kita tetap tak luput dari khilaf.
Syukurlah, selalu terbuka jalan untuk kembali pada kebenaran. Yang parah jika
kita sengaja melawan kebenaran sambil memamerkannya, seperti banggga mendosa.
Untuk itu, dalam pembahasan ini, mungkin perlu direnungi kembali pertanyaan
bahwa jika kita ingin sesuatu yang eksklusif, kenapa kita tak menjaga
eksklusivitas diri kita untuk takdir kita nantinya? Bersikap adillah!
Akhirnya,
tak usah merisaukan penilaian orang lain untuk tak mengukuhkan idealisme. Tak
perlu merasa menjadi pecundang di antara orang-orang yang merasa dirinya
sebagai penakluk, yang membanggakan dirinya menjadi rebutan. Jika kita berhasil
mempersembahkan diri kita sebagai sesuatu yang eksklusif, itu jauh lebih berharga.
Namun jika akhirnya kita ditakdirkan pada yang tak eksklusif untuk kita, jangan
risaukan. Setidaknya diri kita mendapatkan kebaikan lebih. Yang kiranya bisa
jadi sandaran, bahwa kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan pada diri
orang lain. Jika apa yang akan menjadi kenangan kita nantinya adalah sebuah
cerita yang terjaga, yang kita miliki tanpa terkacau orang lain, bahagialah!
Layaknya menonton film, hampir pasti tak ada orang yang senang menonton film jika
tak sampai tamat. Akhirnya teringat lagi ungkapan yang pernah saya tuliskan:
“Untuk yang terbaik, tak perlu ada
pembanding. Tak harus juga lewat pertikaian. Maka cukup selami satu. Akan
mengalir kesan mendamaikan dari ketulusan menerima. Jika nanti telah memulai,
akhiri sampai waktu, sehingga tak mengukir dan terjebak kenangan sesat.
Bertahanlah. Seperti drama, tak peduli bagaimana alurnya, yang terbaik adalah
tamat dengan tokoh utama yang tak terganti.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar