Hidup
sebagai pengagum pasti penuh kejutan. Jika tak sampai keadaan meruntuhkan
kekaguman, kejutan tak akan pernah berhenti mendatangi. Hidup pun tak akan
berjalan datar dan membosankan. Menegangkan tapi tetap mengesankan, meskipun
yang dikagumi tak menyadari. Karena itu juga, banyak orang yang merasa hidupnya
sangat membahagiakan bersama kekaguman tak terucap. Seperti yang dirasakan
Dilan. Laki-laki pemalu yang hanya bisa memendam perasaannya pada seorang
perempuan, Lira. Telah lama Dilan memendam kagum padanya.
Pertemuan
mereka terjadi semasih sama-sama sebagai mahasiswa baru. Tapi berawal dari keteledoranlah,
Dilan mulai mengagumi Lira, gadis ayu dengan lesung pipi yang timbul
tenggelam. Kelalaian yang sebenarnya tak terlalu penting, tapi berkesan bagi
Dilan. Mungkin memang benar, kekaguman bisa muncul dari hal-hal yang
remeh-temeh dan tak masuk akal. Seperti kisah Dilan. Tepatnya waktu masa
pembinaan karakter mahasiswa. Sebuah program kerja rektorat untuk memberikan
pembekalan kepada mahasiswa baru. Kala itu, peserta pembinaan yang merupakan mahasiswa
baru dari lintas fakultas, dicampurbaurkan dalam setiap kelompok. Dilan dan
Lira yang beda fakultas pun sekelompok.
Suatu
hari, karena terburu-buru, Dilan dengan gegabah salah menandatangani kolom
daftar hadir. Ia bertandatangan di kolom milik seseorang bernama Lira Kirana
Sibe. Karena ingin menebus keteledorannya, Dilan pun menunggu hingga antrean penandatangan
habis, lalu muncul seseorang yang bertutur kesal. Akhirnya dengan wajah penuh
kesal sambil menggerutu, seorang perempuan pun melaporkan kejadian itu pada
instruktur pembinaan. Dilan yakin gadis itu Lira. Tampak ia takut kalau tak melulusi
pembinaan karakter yang menjadi syarat memperoleh gelar sarjana gegara tanda
tangannya kotor.
“Maaf,
aku yang menandatangani kolommu. Aku benar-benar tak sengaja. Kalau tak
keberatan, kau bisa menghapusnya,” tutur Dilan sambil menyodorkan tipe-x. “Atau
kalau kau berat memaafkan, kau bisa balas menandatangani kolomku agar kita
impas.”
Lira
hanya memandang Dilan tanpa ekspresi. Matanya yang bulat menatap tajam. “Oh,
pelakunya kamu. Lain kali hati-hati saja,” balas Lira, seperti masih kesal.
“Sini penghapusmu yang tadi. Kakak senior mengatakan tak masalah jika kuhapus
saja tandanganmu di kolomku.”
Setelah
kejadian itu, Dilan mengingat jelas sebuah nama, Lira Kirana Sibe. Berbekal
nama, ia pun menelusuri keberadaan gadis mahal senyum itu di dunia maya. Dilan
yakin nama seunik itu tak ada duanya di dunia. Tapi kenyataannya Google tak
memberikan hasil yang berarti. Dilan tak menemukan apa-apa, kecuali akun Facebook
Lira yang sudah lama tak diperbaharui.
Diduganya, Lira mungkin pindah ke dimensi lain. Ke situs media sosial
yang mempersyaratkan keyword personal
untuk dapat saling mengintip. Terang saja Dilan tak mungkin melakukannya. Ia
hanya ingin menjadi pengagum diam-diam, untuk gadis pendiam yang diam-diam
membuatnya terkagum.
Lama
sesudah menelusuri Lira pertama kalinya di dunia maya, Dilan mulai menyerah.
Padahal perasaan misteriusnya selalu menuntut untuk mengulik tentang pribadi
Lira, gadis yang sebenarnya manis tapi cuek. Jika dulu ia mengunjungi kronologi
Facebook Lira sesering mungkin, sekarang tidak lagi. Ia sadar, kemungkinan
besar tak ada informasi yang berarti apa-apa. Setelah setahun berlalu, ia hanya
mengunjungi akun Lira sekali sebulan. Namun di tiga tahun setelah menjadi
mahasiswa, Dilan telah bisa membunuh rasa penasarannya. Sudah kapok ia mencari
sesuatu yang jelas tiada. Ia berhenti mengintip akun Lira yang terlanjur dikiriminya
permintaan pertemanan.
***
Kini
Dilan telah duduk di semester VI. Datanglah masa ia harus membaur di tengah
masyarakat untuk mempraktikkan pengetahuan terorinya selama kuliah. Ia mesti
mengabdi di daerah pelosok agar melulusi mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata),
demi memperoleh gelar sarjana secepatnya. Sebagaimana karakternya yang menyukai
kejutan, semua tentang KKN yang penuh misteri pun ia dambakan. Ia menanti untuk
tahu tempat pengabdinya, juga tahu teman-teman kelompok yang akan menemaninya
hingga dua bulan di kampung orang lain.
Sesampainya
di lokasi KKN, tepatnya di posko yang menjadi tempat mereka bernaung dan menyusun
strategi kerja, rasa penasaran pun terjawab. Jelas sudah yang dulu
diangan-angankan, kini telah menjadi kenyataan. Ia dipertemukan di daerah
pegunungan, bersama delapan orang teman seposko yang mengasyikkan. Termasuk
seseorang yang tak asing baginya, Lira.
“Hai,
nama kamu Dilan kan?” terka seorang wanita, Lira, sambil melambaikan tangan
waktu Dilan baru saja tiba di posko. Ia menumpang mobil yang berangkat
terakhir. Wanita berpipi tembem itu seperti mencoba menjadi teman yang
ramah.
“Iya. Tahu dari mana namaku? Nama kamu siapa?”
Dilan balik bertanya kala berada di dekat si wanita berponi itu. Ia mencoba
menyamarkan kalau sebenarnya ia masih ingat jelas raut wajah dan namanya.
“Kamu
pasti sudah lupa. Aku Lira. Kita pernah sekelas waktu pembinaan karakter,”
tuturnya sambil menyiratkan kesan canggung.
“Oh
ya? Aku mungkin lupa,” balas Dilan. Mereka berdua pun tampak mati kutu. Sulit
menemukan pembahasan yang tepat. Di benaknya, Dilan tak menduga bahwa takdir akan
mengurung mereka lagi dalam ruang yang sama. Tapi tak mengapa. Kejadian
sebelumnya ia sudah anggap tak pernah terjadi. Baginya, lamanya waktu untuk meruntuhkan
kekaguman, seharusnya tak dilecehkan dengan membangun kembali kenangan hanya
dalam waktu dua bulan. Ia telah bertekad meredam kesan berlebihannya pada Lira.
Seiring
berjalannya waktu, Dilan mencoba bersikap hangat pada Lira. Sebagai sesama
anggota tim, mereka berdua memang harus saling mengakrabi. Tak mungkin terus bersikap
"jaga image" dalam waktu dua bulan.
Sangat menjemukan pastinya. Meski begitu, Dilan tetap tak ingin ketahun Lira,
bahwa kejadian kecil dan remeh-temeh tiga tahun silam, masih diingatnya begitu
dalam.
Di
akhir kebersamaan di lokasi praktik, mereka tak lagi saling segan-segan. Hingga
Lira pun tak enggan lagi untuk berbagi kisah pribadi, termasuk tentang tambatan
hatinya.
“Dil,
pasti kau sudah punya kekasih kan? Orang sepertimu pasti tak sulit meluluhkan
seorang wanita saja,” ujar Lira, kala mereka tengah makan semeja di sebuah
warung. Mereka ditugaskan untuk pergi ke pasar oleh teman-teman seposko untuk
membeli barang kebutuhan bagi program kerja.
Mendengar
itu, Dilan mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Ia tak menyangka wanita yang
selama ini pendiam, kini ceplas-ceplos bertutur padanya. “Ah, kau bisa saja.
Siapalah aku ini. Aku tak memiliki siapa-siapa untuk saat ini,” jawabnya, tanpa
balas bertanya.
Suasana
kembali lengang. Lira masih menunggu pertanyaan balik dari Dilan yang tak
kunjung terlontar. “Hmm…,” Lira mendeham. “Kalau begitu, kau pasti lelaki pengagum
yang hanya bisa pemendam? Haha. Coba aku jadi kau, tak akan kusia-siakan
kesempatan jika aku memang suka sama seseorang. Sayang, aku hanya seorang
wanita yang masih dinilai lancang kalau menyatakan perasaan lebih dulu. Ya,
akhirnya aku hanya memendam kagum pada seseorang sampai saat ini. Sudah sejak
lama.”
“Haha,
ironis ya. Kalau memang suka seseorang, ya katakan saja. Tak ada juga aturan
yang melarang. Kalau aku, memang tidak ingin saling memiliki untuk sekarang.
Ah, sudahlah. Ayo kita pulang. Sepertinya akan hujan,” balas Dilan, seperti tampak
tak punya selera memperpanjang perbincangan perihal tambatan hati.
***
Enam
bulan sekambalinya dari KKN, Dilan tiba-tiba rindu masa-masa di lokasi
pengabdian, termasuk bertemu dengan teman-teman seposkonya, terutama Lira. Dilan
yang selama ini menyibukkan diri dengan persoalan kuliah, terpengaruh juga
mengobati kerinduannya. Akhirnya, ia melanggar tekadnya. Ia kembali mengunjungi
kronologi Facebook milik Lira. Ia benar-benar penasaran ingin memastikan, bagaimana
perkembangan akun itu. Apalagi setahunya, permintaan pertemanan yang ia
kirimkan sejak setahun silam, tak kunjung dikonfirmasi Lira. Ia masih mewanti-wanti akun
Lira masih tak terurus.
Setelah
masuk ke akun Fecebook-nya, Dilan pun melihat permintaan pertemanannya ke
akun Lira telah terkonfirmasi enam bulan yang lalu. Dilan pun lanjut menelisik
pembaruan pada akun Lira.
Di persinggahan sederhana, aku
pernah terperangkap dengan seseorang, yang kukagumi. Kami sudah sangat dekat.
Karena itu juga, mungkin ia sulit membedakan kapan tuturku bercanda atau serius.
Saat itu, aku benar-benar ingin ia menyikapi tanyaku dengan tanggapan yang
hangat. Sudah lama aku menanti. Namun karena waktu itu, mendung dan butir hujan
segera menyerbu tanah, percakapan pun harus berakhir tanpa ending yang berarti.
Aku tetap mengaguminya sampai saat ini.
Bait-bait
status di kronologi Facebook Lira yang diposkan enam bulan yang lalu itu, membuat
perasaan Dilan tersentak. Kenangan-kenangan imajinatif semasa masih mengagumi,
kembali menghujami memorinya. Ia menafsirkan tulisan itu berkisah tentang
kebersamaan mereka di sebuah warung, di masa KKN. Bahkan di status terbaru Lira
yang lain pun, ia juga sulit menghindari ketersinggungan dirinya.
Tapi
berhenti sampai di situ. Dilan harus menyadarkan diri bahwa anggapannya hanya
buah dari hayalan liar. Ia menyadari bahwa perasaan kagumnya yang belum
benar-benar sirna, menuntutnya berpikir yang tidak-tidak. Kata-kata itu menipu.
Di setiap statusnya, Lira selalu saja menandai sebuah akun Facebook. Namanya
Dio Patria. Mereka tak malu lagi bermesraan lewat kata-kata dan selalu berbalas di
setiap kolom komentar status. Harapan Dilan yang mencoba memuncak kembali, kini
harus mati-matian diredam lagi.
Karena
penasaran, Dilan pun membuka akun misterius itu. Tapi ia tak menemukan
keterangan berarti. Foto profilnya hanya menampakkan seseorang dari belakang.
Setengah badan. Semua identitas di akun itu pun disetel privasi, termasuk
galeri foto dan status-statusnya. Dilan jadi sulit menerka sosok di balik akun
itu. Ia lalu mengirimkan permintaan pertemanan ke akun tersebut. Berharap
dikonfirmasi segera sehingga ia tahu siapa sosok yang benar-benar akan membantunya
meruntuhkan kekaguman pada Lira. Tapi empat bulan berlalu, ia tak juga
dikonfirmasi. Ia pun menyerah dan tak ingin menimbun rasa penasaran lagi.
***
Di
hari yang lengang tanpa bayang-banyang Lira, lagi dan lagi, perasaan kagum itu
tumbuh. Seperti hantu yang menakutkan tapi membuat penasaran. Lira tiba-tiba
mengajak Dilan bersama semua teman KKN-nya untuk temu kangen. Lira menuliskan melalui
pesan singkat bahwa setelah sarjana nanti, ia akan berangkat ke kota lain. Semester
akhir adalah kesempatan terbaik menurutnya, sebelum teman-teman seposko
berpencar dan tak ada perjumpaan lagi.
Di
hari pertemuan yang telah ditentukan, Lira yang tak pandai mengendarai motor
pun memohon Dilan untuk menjemputnya. Sesampainya Lira di halte, tempatnya menunggu, kejadian tak
terduga terjadi. Lira yang terpaku menatap ke arah kanan menanti kemunculan
Dilan, disambar motor yang melaju dari arah berlawanan, dari belakangnya. Ia
pun tersungkur seketika dan mengalami pendarahan di pelipis kanan.
Mendapat
kabar dari teman seposkonya yang lain kalau Lira kini dilarikan ke rumah sakit
akibat tertabrak, Dilan pun berbalik arah, memacu kendaraannya untuk segera
menjenguk Lira. Ia menduga Lira telah lama menunggunya di halte. Rasa bersalah
menggerogotinya akibat tak menjemput Lira tepat waktu. Ia pun was-was. Menjadi
tak sabaran memastikan bagaimana keadaan Lira. Rasa kesalnya akibat kekaguman
yang timbul tenggelam pada Lira, sesaat benar-benar sirna ditutupi rasa
simpati.
“Dio….
Dio…. Hei Dio….,” suara seorang wanita terdengar olen Dilan yang masih
kebingungan mencari kamar tempat Lira dirawat. Jelas saja perhatian Dilan
tersita sejenak, menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari lelaki yang bernama
Dio itu. Lelaki yang selama ini masuk daftar pencariannya.
Tapi
lambaian tangan dan sorot mata si wanita tambun itu tertuju ke arahnya.
Dilan pun menengok ke belakang, tapi tak melihat seorang pun. Ia lalu membalik
badan dan mencoba menuju arah lain untuk mencari Lira. Namun kepakan sepatu si
wanita berambut keriting itu didengar Dilan menuju ke arahnya. Dilan pun
berbalik hingga berhadapan langsung dengan wanita sipit itu. Ia seperti
memalang Dilan.
“Hei
Dio, kamu pasti cari Lira kan? Aku Dona, teman dekat Lira,” tuturnya sambil
menjulurkan tangannya. Ingin berjabat.
Dilan
masih bingung, kenapa wanita itu memanggilnya Dio. “Iya, aku mencari Lira. Tapi aku
bukan Dio. Namaku Dilan,” balasnya, sambil sekilas menjabat tangannya.
“Ah,
sudahlah. Jangan mengelak. Aku ingat betul raut wajahmu di foto koleksi Lira.
Kamu pasti sekampus dengan Lira kan? Teman KKN juga? Lira banyak bercerita
tentangmu. Ia katakan padaku bahwa kau adalah kekasihnya. Kalau dilihat-lihat,
kalian memang pasangan yang serasi,” tuturnya, sambil menyunggingkan senyum
lebar.
Dilan
hanya terdiam. Matanya menatap kosong pada lantai. Kedipnya lambat.
“Kenapa
bengong. Ayo aku antar kamu ke Lira.
Dilan
melangkah tanpa kesadaran penuh. Ia seperti masih membayangkan sesuatu. Sesampainya
di bilik tempat Lira dirawat, Dilan pun disambut dengan senyum termanis Lira.
Sangat mendamaikan. Seperti membasuh luka-luka kesal yang selama ini menumpuk berkarat.
Kini
Dilan mulai menemukan alasan yang tepat, kenapa selama ini akun Facebook Dio
Patria tak kunjung mengkonfirmasi permintaan pertemanannya. Tapi yang pasti, jika
benar Dio selama ini adalah ia, tentu saja itu kejutan yang luar biasa. Tak ada
salahnya sudah Dilan menafsir status Facebook Lira memang tentangnya, tentang
mereka.
Tapi
ada hal yang tak benar-benar diketahui Dilan, bahwa selama ini Lira juga
memendam kagum padanya. Lira diam-diam sering mengunjungi kronologi Facebook
Dilan. Tentang kekaguman Dilan padanya, Lira pun tahu sejak Dilan mengirimkan
permintaan pertemanan setahun lalu. Lira juga sering mengintip status Dilan yang
terbaca jelas menyinggung tentang dirinya. Ia sengaja saja tak langsung
mengkonfirmasi permintaan pertemanan Dilan karena tak ingin Dilan langsung mengetahui
tentang kesan kekagumannya. Karena kekaguman yang dia pendam juga, Lira membuat akun
palsu, Dio Patria, untuk menyinggung Dilan yang tak kunjung jujur padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar