Sabtu, 21 November 2015

Mengagumi Pengagum

Hidup sebagai pengagum pasti penuh kejutan. Jika tak sampai keadaan meruntuhkan kekaguman, kejutan tak akan pernah berhenti mendatangi. Hidup pun tak akan berjalan datar dan membosankan. Menegangkan tapi tetap mengesankan, meskipun yang dikagumi tak menyadari. Karena itu juga, banyak orang yang merasa hidupnya sangat membahagiakan bersama kekaguman tak terucap. Seperti yang dirasakan Dilan. Laki-laki pemalu yang hanya bisa memendam perasaannya pada seorang perempuan, Lira. Telah lama Dilan memendam kagum padanya. 

Pertemuan mereka terjadi semasih sama-sama sebagai mahasiswa baru. Tapi berawal dari keteledoranlah, Dilan mulai mengagumi Lira, gadis ayu dengan lesung pipi yang timbul tenggelam. Kelalaian yang sebenarnya tak terlalu penting, tapi berkesan bagi Dilan. Mungkin memang benar, kekaguman bisa muncul dari hal-hal yang remeh-temeh dan tak masuk akal. Seperti kisah Dilan. Tepatnya waktu masa pembinaan karakter mahasiswa. Sebuah program kerja rektorat untuk memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru. Kala itu, peserta pembinaan yang merupakan mahasiswa baru dari lintas fakultas, dicampurbaurkan dalam setiap kelompok. Dilan dan Lira yang beda fakultas pun sekelompok. 

Suatu hari, karena terburu-buru, Dilan dengan gegabah salah menandatangani kolom daftar hadir. Ia bertandatangan di kolom milik seseorang bernama Lira Kirana Sibe. Karena ingin menebus keteledorannya, Dilan pun menunggu hingga antrean penandatangan habis, lalu muncul seseorang yang bertutur kesal. Akhirnya dengan wajah penuh kesal sambil menggerutu, seorang perempuan pun melaporkan kejadian itu pada instruktur pembinaan. Dilan yakin gadis itu Lira. Tampak ia takut kalau tak melulusi pembinaan karakter yang menjadi syarat memperoleh gelar sarjana gegara tanda tangannya kotor.

“Maaf, aku yang menandatangani kolommu. Aku benar-benar tak sengaja. Kalau tak keberatan, kau bisa menghapusnya,” tutur Dilan sambil menyodorkan tipe-x. “Atau kalau kau berat memaafkan, kau bisa balas menandatangani kolomku agar kita impas.”

Lira hanya memandang Dilan tanpa ekspresi. Matanya yang bulat menatap tajam. “Oh, pelakunya kamu. Lain kali hati-hati saja,” balas Lira, seperti masih kesal. “Sini penghapusmu yang tadi. Kakak senior mengatakan tak masalah jika kuhapus saja tandanganmu di kolomku.”

Setelah kejadian itu, Dilan mengingat jelas sebuah nama, Lira Kirana Sibe. Berbekal nama, ia pun menelusuri keberadaan gadis mahal senyum itu di dunia maya. Dilan yakin nama seunik itu tak ada duanya di dunia. Tapi kenyataannya Google tak memberikan hasil yang berarti. Dilan tak menemukan apa-apa, kecuali akun Facebook Lira yang sudah lama tak diperbaharui.  Diduganya, Lira mungkin pindah ke dimensi lain. Ke situs media sosial yang mempersyaratkan keyword personal untuk dapat saling mengintip. Terang saja Dilan tak mungkin melakukannya. Ia hanya ingin menjadi pengagum diam-diam, untuk gadis pendiam yang diam-diam membuatnya terkagum.

Lama sesudah menelusuri Lira pertama kalinya di dunia maya, Dilan mulai menyerah. Padahal perasaan misteriusnya selalu menuntut untuk mengulik tentang pribadi Lira, gadis yang sebenarnya manis tapi cuek. Jika dulu ia mengunjungi kronologi Facebook Lira sesering mungkin, sekarang tidak lagi. Ia sadar, kemungkinan besar tak ada informasi yang berarti apa-apa. Setelah setahun berlalu, ia hanya mengunjungi akun Lira sekali sebulan. Namun di tiga tahun setelah menjadi mahasiswa, Dilan telah bisa membunuh rasa penasarannya. Sudah kapok ia mencari sesuatu yang jelas tiada. Ia berhenti mengintip akun Lira yang terlanjur dikiriminya permintaan pertemanan. 

***

Kini Dilan telah duduk di semester VI. Datanglah masa ia harus membaur di tengah masyarakat untuk mempraktikkan pengetahuan terorinya selama kuliah. Ia mesti mengabdi di daerah pelosok agar melulusi mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata), demi memperoleh gelar sarjana secepatnya. Sebagaimana karakternya yang menyukai kejutan, semua tentang KKN yang penuh misteri pun ia dambakan. Ia menanti untuk tahu tempat pengabdinya, juga tahu teman-teman kelompok yang akan menemaninya hingga dua bulan di kampung orang lain.

Sesampainya di lokasi KKN, tepatnya di posko yang menjadi tempat mereka bernaung dan menyusun strategi kerja, rasa penasaran pun terjawab. Jelas sudah yang dulu diangan-angankan, kini telah menjadi kenyataan. Ia dipertemukan di daerah pegunungan, bersama delapan orang teman seposko yang mengasyikkan. Termasuk seseorang yang tak asing baginya, Lira.

“Hai, nama kamu Dilan kan?” terka seorang wanita, Lira, sambil melambaikan tangan waktu Dilan baru saja tiba di posko. Ia menumpang mobil yang berangkat terakhir. Wanita berpipi tembem itu seperti mencoba menjadi teman yang ramah. 

 “Iya. Tahu dari mana namaku? Nama kamu siapa?” Dilan balik bertanya kala berada di dekat si wanita berponi itu. Ia mencoba menyamarkan kalau sebenarnya ia masih ingat jelas raut wajah dan namanya.

“Kamu pasti sudah lupa. Aku Lira. Kita pernah sekelas waktu pembinaan karakter,” tuturnya sambil menyiratkan kesan canggung.

“Oh ya? Aku mungkin lupa,” balas Dilan. Mereka berdua pun tampak mati kutu. Sulit menemukan pembahasan yang tepat. Di benaknya, Dilan tak menduga bahwa takdir akan mengurung mereka lagi dalam ruang yang sama. Tapi tak mengapa. Kejadian sebelumnya ia sudah anggap tak pernah terjadi. Baginya, lamanya waktu untuk meruntuhkan kekaguman, seharusnya tak dilecehkan dengan membangun kembali kenangan hanya dalam waktu dua bulan. Ia telah bertekad meredam kesan berlebihannya pada Lira.

Seiring berjalannya waktu, Dilan mencoba bersikap hangat pada Lira. Sebagai sesama anggota tim, mereka berdua memang harus saling mengakrabi. Tak mungkin terus bersikap "jaga image" dalam waktu dua bulan. Sangat menjemukan pastinya. Meski begitu, Dilan tetap tak ingin ketahun Lira, bahwa kejadian kecil dan remeh-temeh tiga tahun silam, masih diingatnya begitu dalam. 

Di akhir kebersamaan di lokasi praktik, mereka tak lagi saling segan-segan. Hingga Lira pun tak enggan lagi untuk berbagi kisah pribadi, termasuk tentang tambatan hatinya. 

“Dil, pasti kau sudah punya kekasih kan? Orang sepertimu pasti tak sulit meluluhkan seorang wanita saja,” ujar Lira, kala mereka tengah makan semeja di sebuah warung. Mereka ditugaskan untuk pergi ke pasar oleh teman-teman seposko untuk membeli barang kebutuhan bagi program kerja.

Mendengar itu, Dilan mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Ia tak menyangka wanita yang selama ini pendiam, kini ceplas-ceplos bertutur padanya. “Ah, kau bisa saja. Siapalah aku ini. Aku tak memiliki siapa-siapa untuk saat ini,” jawabnya, tanpa balas bertanya.

Suasana kembali lengang. Lira masih menunggu pertanyaan balik dari Dilan yang tak kunjung terlontar. “Hmm…,” Lira mendeham. “Kalau begitu, kau pasti lelaki pengagum yang hanya bisa pemendam? Haha. Coba aku jadi kau, tak akan kusia-siakan kesempatan jika aku memang suka sama seseorang. Sayang, aku hanya seorang wanita yang masih dinilai lancang kalau menyatakan perasaan lebih dulu. Ya, akhirnya aku hanya memendam kagum pada seseorang sampai saat ini. Sudah sejak lama.”

“Haha, ironis ya. Kalau memang suka seseorang, ya katakan saja. Tak ada juga aturan yang melarang. Kalau aku, memang tidak ingin saling memiliki untuk sekarang. Ah, sudahlah. Ayo kita pulang. Sepertinya akan hujan,” balas Dilan, seperti tampak tak punya selera memperpanjang perbincangan perihal tambatan hati. 

***

Enam bulan sekambalinya dari KKN, Dilan tiba-tiba rindu masa-masa di lokasi pengabdian, termasuk bertemu dengan teman-teman seposkonya, terutama Lira. Dilan yang selama ini menyibukkan diri dengan persoalan kuliah, terpengaruh juga mengobati kerinduannya. Akhirnya, ia melanggar tekadnya. Ia kembali mengunjungi kronologi Facebook milik Lira. Ia benar-benar penasaran ingin memastikan, bagaimana perkembangan akun itu. Apalagi setahunya, permintaan pertemanan yang ia kirimkan sejak setahun silam, tak kunjung dikonfirmasi Lira. Ia masih mewanti-wanti akun Lira masih tak terurus.

Setelah masuk ke akun Fecebook-nya, Dilan pun melihat permintaan pertemanannya ke akun Lira telah terkonfirmasi enam bulan yang lalu. Dilan pun lanjut menelisik pembaruan pada akun Lira.

Di persinggahan sederhana, aku pernah terperangkap dengan seseorang, yang kukagumi. Kami sudah sangat dekat. Karena itu juga, mungkin ia sulit membedakan kapan tuturku bercanda atau serius. Saat itu, aku benar-benar ingin ia menyikapi tanyaku dengan tanggapan yang hangat. Sudah lama aku menanti. Namun karena waktu itu, mendung dan butir hujan segera menyerbu tanah, percakapan pun harus berakhir tanpa ending yang berarti. Aku tetap mengaguminya sampai saat ini.

Bait-bait status di kronologi Facebook Lira yang diposkan enam bulan yang lalu itu, membuat perasaan Dilan tersentak. Kenangan-kenangan imajinatif semasa masih mengagumi, kembali menghujami memorinya. Ia menafsirkan tulisan itu berkisah tentang kebersamaan mereka di sebuah warung, di masa KKN. Bahkan di status terbaru Lira yang lain pun, ia juga sulit menghindari ketersinggungan dirinya.

Tapi berhenti sampai di situ. Dilan harus menyadarkan diri bahwa anggapannya hanya buah dari hayalan liar. Ia menyadari bahwa perasaan kagumnya yang belum benar-benar sirna, menuntutnya berpikir yang tidak-tidak. Kata-kata itu menipu. Di setiap statusnya, Lira selalu saja menandai sebuah akun Facebook. Namanya Dio Patria. Mereka tak malu lagi bermesraan lewat kata-kata dan selalu berbalas di setiap kolom komentar status. Harapan Dilan yang mencoba memuncak kembali, kini harus mati-matian diredam lagi. 

Karena penasaran, Dilan pun membuka akun misterius itu. Tapi ia tak menemukan keterangan berarti. Foto profilnya hanya menampakkan seseorang dari belakang. Setengah badan. Semua identitas di akun itu pun disetel privasi, termasuk galeri foto dan status-statusnya. Dilan jadi sulit menerka sosok di balik akun itu. Ia lalu mengirimkan permintaan pertemanan ke akun tersebut. Berharap dikonfirmasi segera sehingga ia tahu siapa sosok yang benar-benar akan membantunya meruntuhkan kekaguman pada Lira. Tapi empat bulan berlalu, ia tak juga dikonfirmasi. Ia pun menyerah dan tak ingin menimbun rasa penasaran lagi.

***

Di hari yang lengang tanpa bayang-banyang Lira, lagi dan lagi, perasaan kagum itu tumbuh. Seperti hantu yang menakutkan tapi membuat penasaran. Lira tiba-tiba mengajak Dilan bersama semua teman KKN-nya untuk temu kangen. Lira menuliskan melalui pesan singkat bahwa setelah sarjana nanti, ia akan berangkat ke kota lain. Semester akhir adalah kesempatan terbaik menurutnya, sebelum teman-teman seposko berpencar dan tak ada perjumpaan lagi.

Di hari pertemuan yang telah ditentukan, Lira yang tak pandai mengendarai motor pun memohon Dilan untuk menjemputnya. Sesampainya Lira di  halte, tempatnya menunggu, kejadian tak terduga terjadi. Lira yang terpaku menatap ke arah kanan menanti kemunculan Dilan, disambar motor yang melaju dari arah berlawanan, dari belakangnya. Ia pun tersungkur seketika dan mengalami pendarahan di pelipis kanan. 

Mendapat kabar dari teman seposkonya yang lain kalau Lira kini dilarikan ke rumah sakit akibat tertabrak, Dilan pun berbalik arah, memacu kendaraannya untuk segera menjenguk Lira. Ia menduga Lira telah lama menunggunya di halte. Rasa bersalah menggerogotinya akibat tak menjemput Lira tepat waktu. Ia pun was-was. Menjadi tak sabaran memastikan bagaimana keadaan Lira. Rasa kesalnya akibat kekaguman yang timbul tenggelam pada Lira, sesaat benar-benar sirna ditutupi rasa simpati.

“Dio…. Dio…. Hei Dio….,” suara seorang wanita terdengar olen Dilan yang masih kebingungan mencari kamar tempat Lira dirawat. Jelas saja perhatian Dilan tersita sejenak, menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari lelaki yang bernama Dio itu. Lelaki yang selama ini masuk daftar pencariannya. 

Tapi lambaian tangan dan sorot mata si wanita tambun itu tertuju ke arahnya. Dilan pun menengok ke belakang, tapi tak melihat seorang pun. Ia lalu membalik badan dan mencoba menuju arah lain untuk mencari Lira. Namun kepakan sepatu si wanita berambut keriting itu didengar Dilan menuju ke arahnya. Dilan pun berbalik hingga berhadapan langsung dengan wanita sipit itu. Ia seperti memalang Dilan.

“Hei Dio, kamu pasti cari Lira kan? Aku Dona, teman dekat Lira,” tuturnya sambil menjulurkan tangannya. Ingin berjabat.

Dilan masih bingung, kenapa wanita itu memanggilnya Dio. “Iya, aku mencari Lira. Tapi aku bukan Dio. Namaku Dilan,” balasnya, sambil sekilas menjabat tangannya.

“Ah, sudahlah. Jangan mengelak. Aku ingat betul raut wajahmu di foto koleksi Lira. Kamu pasti sekampus dengan Lira kan? Teman KKN juga? Lira banyak bercerita tentangmu. Ia katakan padaku bahwa kau adalah kekasihnya. Kalau dilihat-lihat, kalian memang pasangan yang serasi,” tuturnya, sambil menyunggingkan senyum lebar.

Dilan hanya terdiam. Matanya menatap kosong pada lantai. Kedipnya lambat.

“Kenapa bengong. Ayo aku antar kamu ke Lira.

Dilan melangkah tanpa kesadaran penuh. Ia seperti masih membayangkan sesuatu. Sesampainya di bilik tempat Lira dirawat, Dilan pun disambut dengan senyum termanis Lira. Sangat mendamaikan. Seperti membasuh luka-luka kesal yang selama ini menumpuk berkarat.

Kini Dilan mulai menemukan alasan yang tepat, kenapa selama ini akun Facebook Dio Patria tak kunjung mengkonfirmasi permintaan pertemanannya. Tapi yang pasti, jika benar Dio selama ini adalah ia, tentu saja itu kejutan yang luar biasa. Tak ada salahnya sudah Dilan menafsir status Facebook Lira memang tentangnya, tentang mereka.

Tapi ada hal yang tak benar-benar diketahui Dilan, bahwa selama ini Lira juga memendam kagum padanya. Lira diam-diam sering mengunjungi kronologi Facebook Dilan. Tentang kekaguman Dilan padanya, Lira pun tahu sejak Dilan mengirimkan permintaan pertemanan setahun lalu. Lira juga sering mengintip status Dilan yang terbaca jelas menyinggung tentang dirinya. Ia sengaja saja tak langsung mengkonfirmasi permintaan pertemanan Dilan karena tak ingin Dilan langsung mengetahui tentang kesan kekagumannya. Karena kekaguman yang dia pendam juga, Lira membuat akun palsu, Dio Patria, untuk menyinggung Dilan yang tak kunjung jujur padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar