Angga
merasa ada yang aneh terhadap seorang perempuan di depannya, yang terpisah dua meja
besar darinya di perpustakaan saat ini. Bukannnya tunduk dan serius
membaca buku, perempuan bermata bulat dan beralis tebal itu malah sering
menengadah dan menatap ke arahnya, seperti mencari perhatian. Sesekali jika
pandangan mereka bertabrakan, perempuan itu akan tersenyum segan, dan Angga hanya akan balas menyunggingkan senyum seadanya, lalu lekas memandang lembar-lembar bacaannya kembali. Ia tak tahu bagaimana
menyikapinya secara wajar. Apalagi ia tak mengenal perempuan berhidung mencung itu.
Seingatnya, hanya ada sedikit gambaran wajah mirip gadis itu di dalam benaknya. Hanya
mirip. Itu pun samar-samar dan meragukan.
Jam
dinding menunjukkan pukul 15.50 Wita. Sepuluh menit lagi perpustakaan akan ditutup.
Sudah lebih sejam Angga bermanja-manjaan dengan buku yang dipilihnya dari rak.
Ia memang punya mata yang tahan lama menyorot huruf-huruf. Jika tak
diperingatkan petugas, bisa jadi ia keasyikan dan lupa meninggalkan ruang
perpustakaan hingga gelap. Namun tidak untuk hari ini. Ia merasa risih dan tak
menikmati alur bacaannya. Mata perempuan asing di depannya seperti memata-matai. Ia sulit untuk menghindar, sedang ia enggan untuk pindah dari tempat duduk
favoritnya. Sampai akhirnya, ia memilih pulang lebih cepat sepuluh menit dari biasanya.
“Hai,”
sapa perempuan berpipi tembam itu sambil
mengulurkan tangannya saat Angga tengah mengemas buku bacaannya. Ia tepat
berada di samping Angga, berdiri memeluk bukunya di dada. “Namaku Jihan.”
Perlahan,
Angga menegapkan badan dan menyambut tangan perempuan itu. Ia masih berpikir
macam-macam kalau jangan-jangan wanita pengobral senyuman yang ada di depannya
kurang waras. Maka dengan senyuman terpaksa, ia lantas membalas dengan keki, “Ya. Namaku Angga,”
tuturnya, sembari lekas menarik jabat tangannya dan lanjut memasukkan buku-bukunya
ke dalam tas.
“Kakak tak menganggap aku aneh, kan?” tanyanya lalu diam menunggu balasan.
Angga
sontak menatap wajah perempuan bernama Jihan itu. “Mmm...,” dengungnya, dengan
kedua alis terangkat. Seperti ragu atas apa yang didengarnya.
“Sebenarnya
ada sesuatu yang ingin aku katakan pada kakak dari tadi, tapi aku takut
mengganggu,” lanjut Jihan.
“Apa?
Katakan saja,” balas Angga dengan nada datar saat berdiri tepat menghadap Jihan
yang memiliki tinggi badan sebahu darinya. Tangannya menyilang di dada, seperti
ingin menegaskan bahwa ia sedia bercakap serius untuk beberapa saat saja. Sebelah
tali tasnya pun disangkutkannya di bahu. Tampak bersiap-siap untuk bergegas pergi.
“Aku
ingin meminjam novel klasik yang kakak baca tadi. Aku harus meresensinya
sebagai tugas pengganti tes finalku. Aku telah mencarinya pada seluruh toko
buku di kota ini, tapi aku tak dapat. Pas kupikir akan menemukannya di
perpustakaan ini, kakak malah mengambilnya lebih dahulu. Jadi please, tolong aku kak. Tugasnya harus dikumpul tiga hari ke
depan,” tuturnya dengan mimik risau dan manja.
Kini
Angga mulai paham kenapa gadis yang baru ia kenal itu menungguinya sedari tadi.
Ia lalu terdiam sejenak memandang wajah gadis berbehel gigi itu. “Oh, begitu. Baiklah. Tapi
itu bukan buku perpustakaan. Itu bukuku,” jelasnya. Angga lalu mengurai kembali
resleting tasnya, menarik lalu menyerahkan buku yang dimaksud pada Jihan. “Ini.
Jaga baik-baik ya. Aku berharap kau orang yang bisa dipercaya. Kembalikan buku
itu empat hari ke depan. Aku belum selesai membacanya. Temui aku di café ini
jam 4 sore saat kau ingin mengembalikannya. Oke? Aku harus cepat-cepat pergi. Aku
punya urusan penting,” pungkas Angga sambil meninggalkan sebuah kartu berisi
alamat kafe.
Jihan
hanya menganggukkan ucapan Angga dengan wajah berseri-seri. Ia tak menyangka
lelaki yang dikiranya cuek akan merespons sebaik itu terhadap orang yang baru
dikenalnya.
Akhirnya, Angga pun berlalu cepat menuju pintu keluar.
Akhirnya, Angga pun berlalu cepat menuju pintu keluar.
***
Empat
hari berlalu. Datanglah hari yang diperjanjikan Angga untuk pengembalian buku. Angga sudah sekitar 30 menit berada di sebuah kafe, tempat
nongkrong favorit, untuk menanti kedatangan sebuah bukunya. Kurang lima menit jam
empat sore, di waktu yang diperjanjikan, datanglah Jihan dengan keadaan
setengah basah, seperti terjilat hujan di akhir-akhir perjalanannya
menuju kafe.
“Hai, kak Angga,” sapa Jihan dengan senyuman yang tersimpul di bibirnya seperti biasa,
sesaat setelah melewati pintu kaca kafe, seperti sangat senang.
Tiba-tiba, ekspresi wajah Jihan yang seperti itu mengingatkan Angga pada satu wajah di malam pembacaan puisi sukarela, sebelas hari yang lalu. Miripnya sangat meyakinkan. Wajah anggun itulah yang menginspirasinya menulis sebuah puisi sehari setelahnya, yang terus coba ia lupakan di hari-hari selanjutnya, sebab ia yakin itu hanya kekaguman sesaat.
Tiba-tiba, ekspresi wajah Jihan yang seperti itu mengingatkan Angga pada satu wajah di malam pembacaan puisi sukarela, sebelas hari yang lalu. Miripnya sangat meyakinkan. Wajah anggun itulah yang menginspirasinya menulis sebuah puisi sehari setelahnya, yang terus coba ia lupakan di hari-hari selanjutnya, sebab ia yakin itu hanya kekaguman sesaat.
“Ini
novel kakak,” tutur Jihan saat masih berdiri mengusap-usap lengan bajunya yang tampak dirembesi hujan. “Kakak kok memerhatikanku seperti itu. Kanapa?”
Angga
yang melongok, jadi tersentak. “Oh, maaf. Ayo, duduklah,” balas
Angga, tersadar dari lamunannya. “Kamu pasti kedinginan. Kenapa tak berteduh
kalau hujan?”
Jihan pun tertawa kecil. "Tidak apa-apa basah sedikit kak, daripada ingkar janji. Kata orang, hujan kan
cuma membahasi, bukan menghalangi,” balasnya, seperti ingin mencairkan suasana obrolan mereka.
Angga
mulai mengenal karakter Jihan. Perempuan dewasa yang tingkahnya tampak
kekanak-kanakan. Jihan dibacanya suka becanda. Sedikit lucu dan menggemaskan.
Mereka pun menghabiskan waktu berbincang santai tentang kegemaran pada cerita fiksi. Bertukar pendapat dan berbagi referensi tentang gubahan karya sastra klasik dan modern. Kecanggungan antarmereka seperti sirna dalam waktu sekejap. Mereka asyik mengobrol, hingga tanpa mereka sadari, hujan telah reda saat mentari memancarkan sinar jingganya di ujung bukit. Malam telah menjelang dan mereka pun harus berpisah.
Mereka pun menghabiskan waktu berbincang santai tentang kegemaran pada cerita fiksi. Bertukar pendapat dan berbagi referensi tentang gubahan karya sastra klasik dan modern. Kecanggungan antarmereka seperti sirna dalam waktu sekejap. Mereka asyik mengobrol, hingga tanpa mereka sadari, hujan telah reda saat mentari memancarkan sinar jingganya di ujung bukit. Malam telah menjelang dan mereka pun harus berpisah.
“Aku
pulang ya, kak. Terima kasih sudah mau meminjamkan buku dan
berbincang-bincang denganku,” tutur Jihan.
Angga mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan hujan tidak turun kembali sampai kau melewati pintu rumahmu."
Jihan tersenyum senang.
Jihan tersenyum senang.
Mereka
pun terpisah secara wajar.
Jihan kemudian berlalu di balik puntu, sedangkan Angga masih ingin tinggal beberapa menit untuk melanjutkan bacaannya.
Sampai akhirnya, perhatian Angga tertuju pada secarik kertas yang baru dilihatnya di balik meja. Sebuah tiket untuk acara Malam Persembahan Seni yang akan diselenggarakan tiga hari ke depan. Ia yakin itu milik Jihan. Tapi entah bagaimana caranya ia menghubungi dan mengabari perempuan itu setelah ia keliru telah enggan berbagi nomor telepon dengannya.
Dan akhirnya, ia memutuskan untuk membawa pulang tiket itu.
Jihan kemudian berlalu di balik puntu, sedangkan Angga masih ingin tinggal beberapa menit untuk melanjutkan bacaannya.
Sampai akhirnya, perhatian Angga tertuju pada secarik kertas yang baru dilihatnya di balik meja. Sebuah tiket untuk acara Malam Persembahan Seni yang akan diselenggarakan tiga hari ke depan. Ia yakin itu milik Jihan. Tapi entah bagaimana caranya ia menghubungi dan mengabari perempuan itu setelah ia keliru telah enggan berbagi nomor telepon dengannya.
Dan akhirnya, ia memutuskan untuk membawa pulang tiket itu.
Malam
tiba. Di tengah kerisauan soal pengembalian tiket, nada pesan singkat ponsel Angga pun berdering. Ia berharap Jihan telah mengetahui nomor
teleponnya entah dari mana, lalu mengirimkan sebuah tanya perihal tiketnya.
Namun setelah ia cek, pengirim dengan nomor baru itu bukanlah Jihan.
“Selamat
malam Pak Angga Setia Azkara. Saya Amel, panitia acara Malam Persembahan Seni.
Cuma ingin menyampaikan bahwa puisi anda berjudul Lukisan Sempurna Tak Bertuan terpilih
sebagai salah satu dari lima puisi yang akan dipentaskan di acara nanti. Kami
harapankan kehadiran anda untuk membacakan puisi di acara tersebut. Terima
kasih,” tulis sang pengirim pesan.
Angga
menjadi heran. Seingatnya, tak sekali pun ia mengirimkan puisinya untuk sebuah
pementasan ataupun perlombaan. Bukan tak mau. Ia hanya tak percaya diri dengan
gubahan kata-katanya selama ini. Sejumlah puisinya cuma berakhir di gudang arsip laptopnya. Beberapa ia unggah di blog pribadinya yang entah dibaca orang lain atau tidak. Namun untuk kejutan kali ini, ia bersyukur saja. Setidaknya ada alasan lebih untuk menghadiri acara
tersebut, selain untuk menemukan Jihan di sana.
***
Tiga hari kembali berlalu. Datanglah saat dilangsungkannya Malam Persembahan Seni.
Angga tentu saja hadir. Hitung-hitung momennya sebagai pembuktian awal kepada
khalayak, bahwa ia punya bakat yang layak untuk diapresiasi. Selain itu, juga untuk
menemukan Jihan yang mungkin saja merengek-rengek ingin masuk
menyaksikan acara dengan beribu alasan.
Waktu
menunjukkan pukul 19.00 Wita. Tiga puluh menit lagi, acara akan berlangsung.
Angga pun mengebut sepeda motornya agar segera sampai di lokasi. Ia berencana
menunggu di luar gerbang untuk menanti kedatangan Jihan yang tentu saja
was-was, ragu apakah panitia membolehkannya masuk tanpa tiket.
Lima belas menit sebelum acara dimulai, Angga telah sampai di tempat acara. Dan akhirnya, sesaat setelah memarkir sepeda motornya, ia melihat Jihan berdiri sendiri dengan lesu di pelataran pintu masuk.
Ia lalu bergegas menghampiri Jihan. "Oh, hai, kenapa belum masuk?” tanya Angga, seakan tak tahu alasannya.
Lima belas menit sebelum acara dimulai, Angga telah sampai di tempat acara. Dan akhirnya, sesaat setelah memarkir sepeda motornya, ia melihat Jihan berdiri sendiri dengan lesu di pelataran pintu masuk.
Ia lalu bergegas menghampiri Jihan. "Oh, hai, kenapa belum masuk?” tanya Angga, seakan tak tahu alasannya.
“Aku
tak diperbolehkan masuk oleh panitia. Aku tak bawa tiket. Padahal telah
kukatakan kalau tiketku hilang tiga hari yang lalu. Hari di mana aku
mengembalikan bukumu,” jawab Jihan dengan mimik lunglai.
Angga
segera merogoh kantong celananya. Menarik keluar secarik kertas yang tertinggal
di bawah meja tiga hari yang lalu. “Ini tiket yang kau maksud bukan?” tunjuk
Angga.
Jihan pun terkesima dan perlahan-lahan menyambut sodoran Angga. “Benar. Iya benar. Ini tiketku. Terima kasih,” jawab Jihan, sangat senang, tanpa mempertanyakan di mana Angga menemukannya. Seperti tahu pasti Angga akan membawakan tiket itu untuknya.
Mereka
berdua pun memasuki gedung. Beriringan. Mereka duduk di kursi yang bedekatan.
Bersampingan. Mereka terlihat menikmati sejumlah pertunjukan seni. Dari tari,
musik, hingga teater. Dan di sela-sela rihat, kala MC melantur tak jelas, mereka akan
bertukar komentar tentang penampilan yang baru saja mereka saksikan.
“Selanjutnya,
kita sambut pembacaan puisi oleh Angga Setia Azkara. Dia akan membacakan sebuah
puisi karyanya berjudul Lukisan Sempurna Tak Bertuan. Kepada saudara Angga,
dipersilahkan untuk naik ke panggung,” tutur MC.
Panggilan itu seketika membuat Angga tersentak. Ketenangannya
seperti terusik. Jantungnya berdegub kencang. Ini kali pertama ia tampil
membacakan puisi di forum yang ramai dan dihadiri orang-orang penting.
Sebelumnya, ia hanya pernah tampil sekali di sebuah pementasan puisi sukarela
yang diadakan sebuah komunitas dua minggu yang lalu.
“Tampillah
seperti dua minggu yang lalu. Aku yakin kakak bisa,” tutur Jihan, memberi
semangat pada Angga.
Angga
yang deg-degan, seperti tak menyimak ucapan Jihan yang terdengar sayup-sayup di tengah sorakan para hadirin. Ia hanya melemparkan
senyuman sepintas, lalu bergegas ke atas panggung.
Seketika, saat berada di atas panggung, Angga pun merasakan suasana yang semakin menegangkan ketika ia menyaksikan deretan penonton di depannya. Tangannya yang menggenggam microphone tampak bergetar. “Terima kasih telah memberikan kesempatan kepadaku. Puisi ini biasa saja. Sebuah puisi untuk para pengagum.”
Seketika, saat berada di atas panggung, Angga pun merasakan suasana yang semakin menegangkan ketika ia menyaksikan deretan penonton di depannya. Tangannya yang menggenggam microphone tampak bergetar. “Terima kasih telah memberikan kesempatan kepadaku. Puisi ini biasa saja. Sebuah puisi untuk para pengagum.”
Lukisan
Sempurna Tak Bertuan
Wajah manis
berlalu meninggalkan tanya
Belum sempat aku
bertanya-tanya
Apakah masih
serupa kembang tanpa tuan?
Izinkanlah kutukarkan
dengan nyawaku
Tak mungkinlah kubiarkan
sinar mentari membuatnya meranggas
Waktu-waktu akan
kuhabiskan bermanja-manja dengannya
Berharap
perangkainya tersanjung dan merasa terhormat
Malam-malam, kuajak
ia berbaring di taman istana kala bintang berpijar
Tak peduli
kembang-kembang lain meronta karena iri
Biarkan saja aku
seperti gila
Padanyalah takdir
kupaksakan
Jangan tanya kenapa
begini jadinya
Kata-kata tak
akan bisa menjelaskannya
Sumpah! Aku
memuji untuk satu lukisan terindah itu
Wahai Pelukis
Agung yang kupuja, takdirkanlah aku sebagai pemetiknya
Seketika
seusai puisi dilantunkan dengan penuh penghayatan, sorakan dan aplaus terlontar
untuk Angga. Ia pun mengucapkan terima kasih dan membungkukkan badannya kepada para penonton. Setelah itu, ia bergegas kembali ke tempat
duduknya, di dekat Jihan.
“Aku
suka puisi kakak barusan. Sebelum-sebelumnya, aku selalu yakin kalau karya kakak layak
dipentaskan di forum seperti ini,” puji Jihan. “Kalau boleh tahu, kakak
membuatnya untuk siapa?”
Angga tersenyum senang. “Aku menciptakannya semasih terbayang-bayang dengan satu wajah dua minggu yang
lalu di sebuah pementasan puisi. Gadis berjaket putih yang bergambar kelinci itu
duduk manis di sudut kanan ruangan. Wajahnya manis. Nyaris membuatku tak fokus
membaca puisi. Dia mirip sekali denganmu. Kau tak cemburu, kan?”
Jihan
lalu mengalihkan pandangannya dari Angga. Ia kemudian menunduk dan terdiam. Ia tampak mengingat-ingat kembali dua minggu lalu, kala ia menyaksikan sebuah pementasan
puisi di sebuah kafe. Waktu di saat ia mulai terkesima dengan seorang lelaki
yang sangat handal membaca puisi. Seingatnya, waktu itu ia duduk di pojok
sebelah kanan ruangan. Ia juga mengenakan jaket milik temannya, berwarna putih
dengan gembar kepala kelinci di sisi depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar