Minggu, 22 November 2015

Merasa Cukup; Bahagia

Semua manusia sepakat bahwa tujuan hidup adalah memperoleh kebahagiaan. Banyak cara pun ditempuh untuk meraihnya. Bahkan sampai memperebutkan sesuatu yang dinilai mendatangkan kebahagiaan. Akhirnya, kebahagian terkesan dicari-cari, bukan disadari. Banyak di antara manusia sibuk mencari kebahagian di luar dirinya. Padahal kebahagiaan seseungguhnya ada dalam diri setiap manusia. Untuk bahagia, manusia hanya perlu merasakannya.

Gemerlap dunia sering kali menyesatkan dalam meraih kebahagiaan. Menipu untuk selalu dikejar dan merangsang agar tak berkesudahan. Bak meminum air laut, semakin diminum, semakin kehausan. Sampai di ujung upaya penumpukan kekayaan dunia, nyatanya perasaan hampa tetap saja membelenggu jiwa. Itulah hasil dari kekhilafan manusia untuk berdamai dengan dunia. Lalai menyadarkan dirinya untuk senantiasa bersyukur, sehingga merasakan kebahagiaan. 

Paling parahnya, ketika manusia saling sikut-menyikut dalam mencari kebahagiaan. Demi menumpuk sebanyak mungkin kekayaan dunia, manusia saling tak mengasihi, bahkan tega saling membunuh. Manusia jadi serupa binatang buas. Memangsa sesamanya demi memuaskan hasrat duniawi yang tak akan pernah terpuaskan. 

Karena dibutakan dunia dalam mencari kebahagiaan, manusia jadi sering memandang ke atas, lupa bersyukur. Iri hati kepada orang-orang yang mengunggulinya dalam persoalan kepemilikan harta duniawi. Nafsu pun mendentum gederang perlombaan untuk bersaing dalam mendapatkan predikat “ter” di dunia. Manusia menjadi kalap. Mengira bahwa kekayaan berjalan lurus dengan kebahagiaan. Menduga materi dunia adalah tujuan hidup. Padahal tidak. Dunia hanyalah sarana untuk memperoleh kebahagiaan. 

Tidak mengherankanlah jika selama ini, masih ada manusia yang suka berlomba-lomba mengumpulkan harta benda demi membeli kebahagiaan. Tapi bahagia tak kunjung ia peroleh. Pernak-pernik dunia malah membuatnya semakin sibuk. Terus saja mencari, tanpa ada tujuan pasti. Menjadi makluk serakah yang tak ada puasnya. Bukannya saling menasihati untuk bersyukur, ataukah membantu sesama yang tak lebih beruntung darinya.

Selain itu, kadang juga dijumpai kejadian, seseorang memprihatinkan kebahagiaan orang yang tak berpunya secara materi. Mereka merasa kasihan. Menjadi resah dan berang kepada orang kaya raya yang tak juga terketuk hatinya untuk menyantuni mereka yang fakir. Orang tersebut menganggap kebahagiaan hanya dimiliki orang kaya, sedangkan yang miskin tak kebagian. Padahal belum tentu. Bisa jadi orang tak mampu lebih bahagia daripada orang kaya karena lebih pandai bersyukur. Sekali lagi, kebahagiaan bukan perihal materi, tapi kejiwaan.

Memahami bahwa kebahagiaan adalah persoalan jiwa, bukan berarti manusia harus pasrah dan tak memerhatikan kebutuhan fisik-materialnya. Bagaimana pun juga, perilaku manusia sangat dipengaruhi faktor lingkungan, terutama terpenuhi tidaknya kebutuhan dasar. Seperti benar sebuah pepatah bahwa logika dipengaruhi logistik.

Seiring kesenjangan sosial yang semakin lebar, tak dimungkiri akan muncul ketidakseimbangan sosial yang memicu sikap iri dan dengki. Apalagi jika di sisi lain, orang yang berkecukupan bersikap kikir. Bagi jiwa-jiwa tak beruntung secara meteri, yang kebutuhan primernya saja tak terpenuhi, pastilah menganggap keadaan itu sebagai ketidakadilan. Mereka pun menuntut kesejahteraan yang merata. Sampai pada tindakan yang tak diinginkan, yaitu terjadi tindak kriminal serupa pencurian di mana-mana.

Memenuhi kebutuhan duniawi merupa hasrat manusia pada normalnya. Manusia pun ditunut untuk mencari rezeki secara baik dan benar. Tak hanya berpangku tangan. Tak sekadar mengutuk nasib dan menunggu rezeki turun dari langit. Apalagi kefakiran dikatankan cenderung berujung pada kekafiran. Tidak terpenuhinyake butuhan dasar, serta kesenjangan ekonomi, akan membuat pikiran dan perasaan manusia jauh dari kebaikan dan sulit menyadari kebahagiaan. Tapi bukan berarti juga bahwa kebahagiaan harus dengan terpenuhinya semua keinginan yang berlandaskan nafsu. Untuk itulah, manusia perlu bersyukur. 

Perlu diingat bahwa harta benda hanyalah sarana untuk memperoleh kebahagiaan atau berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Jika kebahagiaan bisa diperoleh tanpa perlu menghiraukan gemerlap dunia, maka betapa mudahnya bahagia. Bersyukurlah untuk berbahagia sepanjang waktu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar