Dunia
sudah sangat tua. Manusia pun jadi semakin jauh dari akar kebenaran. Semua
karena sejarah dianggap hanyalah lembaran-lembaran usang yang tak konteksual
lagi. Tak menarik untuk dilirik. Lambat laun, rayap-rayap waktu pun melenyapkannya.
Padahal zaman yang kita jalani adalah kelanjutan sejarah masa lalu dan
penggalan sejarah di masa depan. Manusia menjadi bebas karena para pendahulu
merelakan jiwanya demi kemerdekaan. Sebaliknya, manusia akan kembali terpenjara
seperti budak jika melupakan harga sebuah perjuangan. Dan, manusia sering terlena
kenikmatan, lalu abai memelihara sejarah.
Mempelajari
sejarah bukan hanya tentang menghafal sebanyak mungkin tanggal-tanggal kejadian
penting. Layaknya seperti yang kita pelajari semasa sekolah. Jika begitu, sejarah
jadinya seperti benda mati tak bermakna. Menjadi kurang menarik untuk
dipelajari. Pun, sejarah tak akan aplikatif dan berguna jika dimaknai sekadar
mengingat-ingat nama-nama pendahulu saja. Inti sejarah adalah tentang makna
yang bisa dijadikan penuntun dalam kemajuan hidup mendatang. Makna itulah yang
membuat manusia belajar dan menghindari sebisa mungkin tindakan-tindakan yang dapat
menjerumuskannya kembali ke dalam lembah kehinaan.
Jika
menyadari betapa pentingnya sejarah, maka tak ada yang lebih berharga untuk
diwariskan daripada sejarah yang mendidik itu. Mengingat setiap manusia dalam
satu generasi adalah ahli waris sekaligus pewaris sejarah, maka tanggung
jawabnyalah untuk mempelajari makna sejarah masa lalu. Setelah itu, berupaya mengukir
sebaik mungkin sejarah yang bisa diwariskan untuk generasi selanjutnya.
Perlu
diingat, keberhargaan sebuah sejarah bukan pada hasil akhirnya, tetapi
bagaimana satu generasi menghadapi tantangan di zamannya. Alasannya karena hasil
yang baik tentu terjamin jika tantangan yang dihadapi tak berat. Sebaliknya,
sebaik-baik apa pun usaha yang dilakukan, masih ada kemungkinan berujung pada
hasil akhir yang buruk jika tantangannya begitu berat. Akhirnya kita sampai
pada kesimpulan bahwa “semangat untuk mempersembahkan” adalah warisan yang
terpenting.
Masalahnya
sekarang, manusia masih sering berlaku egois. Tak pernah berusaha
mempersembahkan yang terbaik untuk zamannya. Dipikirnya, itu hanya tentang
dirinya dan zamannya saja. Padahal akibat paling buruk dari tindakan tak
mewariskan sejarah terbaik adalah generasi selanjutnya jadi tak tahu arah. Bak
tangga yang menjulang tinggi, namun di tengah-tengahnya, ada anak tangga yang
copot. Imbasnya, generasi selanjutnya tak mampu melihat dan belajar dari masa
lalu, sampai rentan untuk terjatuh jauh ke bawah. Ujung-ujungnya, sejarah pun terpotong
dan harus kembali dimulai dari awal.
Kadang
juga manusia kini sering kali tak memfungsikan sejarah secara baik. Masih
banyak yang hanya bercita-cita sekadar menjadi penghafal sejarah. Sejarah hanya
diingat sekadar tesis dan antitesis, tapi tak ada usaha menghasilkan anitesis
yang berguna untuk generasi selanjutnya. Tidak mengherankan jika pelajaran
sejarah tentang terori-teori tak masuk akal sekadar disuguhkan tanpa ada
penyanggahan yang memadai sampai sekarang. Di dunia literasi misalnya, masih
sering diitemui sebuah karya tulis yang tak ubahnya rangkuman dari beberapa
teori, tapi tak berujung pada konklusi teori yang terbarukan.
Kita
tentu sering bertanya-tanya tentang apa fungsi sitasi sebuah karya tulis? Apa
gunanya mengutip sebuah karya tulis yang inti dari kutipannya itu sudah menjadi
pengetahuan umum yang terlanjur diklaim sang penulis sebagai temuannya? Dan jawaban
yang sering didapatkan bahwa sitasi tujuannya untuk memperkuat teori yang kita
bangun, ataukah meyakinkan pembaca bahwa pendapat penulis objektif karena didukung
oleh ilmuwan lainnya. Namun masalahnya, kita tak pernah menjadikan terori
terdahulu sebagai acuan untuk menghasilkan terori yang lebih mutakhir.
Akhirnya, pengetahuan hanya berkutat pada setuju atu tidak setuju pada sebuah
teori terdahulu. Ilmu pun bak sejarah yang stagnan.
Demi
peradaban masa depan, sudah saatnya manusia belajar dari sejarah, termasuk
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Buku-buku tak seharusnya sekadar dibaca,
lalu diberikan predikat terhadap ide dalam buku itu: Berkualitas atau tidak. Sudah
dimahfumi, pengetahuan manusia saat ini adalah hasil akhir deretan pengetahuan
sebelumnya. Maka waktunya kini setiap manusia berpikir tentang pengetahuan terbarukan
yang dihasilkan dan ditinggalkan untuk generasi selanjutnya. Jangan sampailah
kita menjadi generasi yang abai terhadap tanggung jawab. Hanya gemar mencerca
terhadap karya peninggalan orang lain, namun tak menjadi kriti, solutif, dan
produktif. Sangat miris tentunya, jika inti pengetahuan kita sekarang masih
sama dengan generasi berpuluh-puluh tahun selanjutnya. Untuk itu, solusinya: Membaca
dan berdiskusilah secara kritis, lalu menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar