Selasa, 17 November 2015

Demi Belajar dari Sejarah



Dunia sudah sangat tua. Manusia pun jadi semakin jauh dari akar kebenaran. Semua karena sejarah dianggap hanyalah lembaran-lembaran usang yang tak konteksual lagi. Tak menarik untuk dilirik. Lambat laun, rayap-rayap waktu pun melenyapkannya. Padahal zaman yang kita jalani adalah kelanjutan sejarah masa lalu dan penggalan sejarah di masa depan. Manusia menjadi bebas karena para pendahulu merelakan jiwanya demi kemerdekaan. Sebaliknya, manusia akan kembali terpenjara seperti budak jika melupakan harga sebuah perjuangan. Dan, manusia sering terlena kenikmatan, lalu abai memelihara sejarah.

Mempelajari sejarah bukan hanya tentang menghafal sebanyak mungkin tanggal-tanggal kejadian penting. Layaknya seperti yang kita pelajari semasa sekolah. Jika begitu, sejarah jadinya seperti benda mati tak bermakna. Menjadi kurang menarik untuk dipelajari. Pun, sejarah tak akan aplikatif dan berguna jika dimaknai sekadar mengingat-ingat nama-nama pendahulu saja. Inti sejarah adalah tentang makna yang bisa dijadikan penuntun dalam kemajuan hidup mendatang. Makna itulah yang membuat manusia belajar dan menghindari sebisa mungkin tindakan-tindakan yang dapat menjerumuskannya kembali ke dalam lembah kehinaan.

Jika menyadari betapa pentingnya sejarah, maka tak ada yang lebih berharga untuk diwariskan daripada sejarah yang mendidik itu. Mengingat setiap manusia dalam satu generasi adalah ahli waris sekaligus pewaris sejarah, maka tanggung jawabnyalah untuk mempelajari makna sejarah masa lalu. Setelah itu, berupaya mengukir sebaik mungkin sejarah yang bisa diwariskan untuk generasi selanjutnya. 

Perlu diingat, keberhargaan sebuah sejarah bukan pada hasil akhirnya, tetapi bagaimana satu generasi menghadapi tantangan di zamannya. Alasannya karena hasil yang baik tentu terjamin jika tantangan yang dihadapi tak berat. Sebaliknya, sebaik-baik apa pun usaha yang dilakukan, masih ada kemungkinan berujung pada hasil akhir yang buruk jika tantangannya begitu berat. Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa “semangat untuk mempersembahkan” adalah warisan yang terpenting.

Masalahnya sekarang, manusia masih sering berlaku egois. Tak pernah berusaha mempersembahkan yang terbaik untuk zamannya. Dipikirnya, itu hanya tentang dirinya dan zamannya saja. Padahal akibat paling buruk dari tindakan tak mewariskan sejarah terbaik adalah generasi selanjutnya jadi tak tahu arah. Bak tangga yang menjulang tinggi, namun di tengah-tengahnya, ada anak tangga yang copot. Imbasnya, generasi selanjutnya tak mampu melihat dan belajar dari masa lalu, sampai rentan untuk terjatuh jauh ke bawah. Ujung-ujungnya, sejarah pun terpotong dan harus kembali dimulai dari awal.

Kadang juga manusia kini sering kali tak memfungsikan sejarah secara baik. Masih banyak yang hanya bercita-cita sekadar menjadi penghafal sejarah. Sejarah hanya diingat sekadar tesis dan antitesis, tapi tak ada usaha menghasilkan anitesis yang berguna untuk generasi selanjutnya. Tidak mengherankan jika pelajaran sejarah tentang terori-teori tak masuk akal sekadar disuguhkan tanpa ada penyanggahan yang memadai sampai sekarang. Di dunia literasi misalnya, masih sering diitemui sebuah karya tulis yang tak ubahnya rangkuman dari beberapa teori, tapi tak berujung pada konklusi teori yang terbarukan. 

Kita tentu sering bertanya-tanya tentang apa fungsi sitasi sebuah karya tulis? Apa gunanya mengutip sebuah karya tulis yang inti dari kutipannya itu sudah menjadi pengetahuan umum yang terlanjur diklaim sang penulis sebagai temuannya? Dan jawaban yang sering didapatkan bahwa sitasi tujuannya untuk memperkuat teori yang kita bangun, ataukah meyakinkan pembaca bahwa pendapat penulis objektif karena didukung oleh ilmuwan lainnya. Namun masalahnya, kita tak pernah menjadikan terori terdahulu sebagai acuan untuk menghasilkan terori yang lebih mutakhir. Akhirnya, pengetahuan hanya berkutat pada setuju atu tidak setuju pada sebuah teori terdahulu. Ilmu pun bak sejarah yang stagnan.

Demi peradaban masa depan, sudah saatnya manusia belajar dari sejarah, termasuk sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Buku-buku tak seharusnya sekadar dibaca, lalu diberikan predikat terhadap ide dalam buku itu: Berkualitas atau tidak. Sudah dimahfumi, pengetahuan manusia saat ini adalah hasil akhir deretan pengetahuan sebelumnya. Maka waktunya kini setiap manusia berpikir tentang pengetahuan terbarukan yang dihasilkan dan ditinggalkan untuk generasi selanjutnya. Jangan sampailah kita menjadi generasi yang abai terhadap tanggung jawab. Hanya gemar mencerca terhadap karya peninggalan orang lain, namun tak menjadi kriti, solutif, dan produktif. Sangat miris tentunya, jika inti pengetahuan kita sekarang masih sama dengan generasi berpuluh-puluh tahun selanjutnya. Untuk itu, solusinya: Membaca dan berdiskusilah secara kritis, lalu menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar