Selasa, 10 November 2015

Ketika Penulis Jatuh Hati

Bagaimana jika seorang penulis jatuh hati? Ya, jatuh hati, bukan jatuh cinta. Sebagaimana tafsir Raisa Andriana dalam lagunya berjudul Jatuh Hati. Itu cocok untuk bahasan ini. Kurang tepat jika menggunakan frasa “jatuh cinta” yang makna kekiniannya terlalu sempit, hanya terkait ketertarikan dan keinginan saling memiliki antarlawan jenis.
 
Jika menilik lagu Raisa tersebut, berarti ketertarikan kita terhadap seseorang didasarkan pada keluhuran perilakunya. Baik itu tentang cara berfikirnya, tutur katanya, ataupun tindakannya. Terpancar budi pekerti luhur pada pribadinya yang membuat kita tertarik untuk meneladani dan menjadikannya inspirasi. Bukan hanya itu, kekaguman itu tak harus berujung pada hubungan saling memiliki, sebagaimana kesan yang timbul ketika kita menggunakan frasa “jatuh cinta”.

Pemilihan frasa itu bukan tanpa alasan. Bagi seorang penulis yang sadar bahwa tulisannya adalah konsumsi publik, tentu tak elok jika menonjolkan citra subjektif pada setiap gubahannya. Penulis selayaknya mengutarakan persoalan dari perspektif objektif, sehingga setiap pembaca merasa menjadi pelakon dalam tulisannya. Untuk itu, sekarang pun, Penulis berusaha menerapkan konsep itu. 

Berangkat dari uraian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa penulis yang baik akan senantiasa menghindari untuk menggamblangkan perasaannya dalam setiap tulisan yang ia rangkai. Berusaha semaksimal mungkin agar tulisannya tidak dicap sebagai curahan hati, atau bahkan diary, meski berat melakukannya. Hal itu sengaja dilakukan penulis, kecuali pada media-media pribadi yang memang diperuntukkan untuk menumpahkan isi hati secara polos. Semua untuk kepentingan pembaca.

Yang harus dihindari bukanlah tentang perspektif rasa si penulis, tetapi jalan cerita atau pokok bahasan tulisan yang tak ubahnya kisah pribadi penulis. Tak dimungkiri, setiap tulisan tentu akan menggunakan kadar rasa menurut subjektivitas si penulis. Sedangkan kita tahu, kadar rasa, misalnya kesepian, akan dituturkan si penulis menurut perasaannya sendiri. Sebagai contoh, kadang ketika seseorang kesepian, ia akan sangat gusar. Tapi bagi orang lain, mungkin biasa-biasa saja. Kedua tipe orang tersebut pun akan berbeda dalam menuliskan perspektif rasanya. 

Kembali pada pertanyaan pokok di tulisan ini; bagaimana jika penulis jatuh hati, bagaimana ia mengutarakannya perasaannya secara gamblang? Ini pertanyaan yang sulit terjawab jika Penulis tak menggunakan perspektif subjektif. Oleh karena itu, mau tak mau, Penulis akan menggunkan keakuan untuk menjawabnya, dan menduga-duga setiap orang yang tertarik menulis, juga merasa sama.

Sebagaimana diutarakan di awal, penulis yang baik akan berusaha menghindari untuk menulis kisahnya sendiri dalam tulisannya. Ia tak ingin memaksakan setiap orang mengagumi kisahnya atau merasa mengalami kisahnya tersebut. Tapi mengingat kecenderungan seorang penulis yang tak sreg menyatakan perasaannya secara verbal, termasuk ketika ia jatuh hati, maka bagaimana perasaannya bisa tersampaikan? Akhirnya, menyiratkan rasa lewat tulisan adalah jalan keluarnya. Karena itu juga, hanya orang yang dekat dengan si penulis yang akan menyadari kadar curahan hatinya dalam tulisan.   

Demi profesionalitaslah, penulis berusaha menyembunyikan gambaran jelas kisahnya dalam setiap kata-kata yang ia ukir. Pembaca jadinya sulit mengetahuinya, apakah jalan cerita pada sebuah tulisan adalah kisah nyata atau tidak. Keadaan itu tentu membuat penulis dilematis. Terlebih baginya, tulisan adalah pelarian ataupun tempat sampah untuk menampung keresahan jiwa agar tak membebani. Itulah risiko menjadi penulis yang baik. 

Janganlah heran ketika menemui seorang penulis yang enggan banyak cakap tentang perasaannya, namun sangat enteng mengutarakannya melalui tulisan. Juga, jangan heran ketika menjumpai seorang penulis yang tak mampu mengucapkan kata-kata selangit, ataukah melakukan tindakan mengesankan untuk mengungkapkan perasaan jatuh hatinya. Carilah bagaimana sesungguhnya perasaan seorang penulis di balik kata-kata tulisannya. 

Bagi seorang penulis, tulisan adalah lidah. Bukan berarti bahwa penulis adalah pecundang. Tidak benar juga mengatakan penulis adalah pengecut yang tak punya nyali mengutaraan perasaannya saat sedang jatuh hati. Di luar pelabelan itu, sesungguhnya penulis adalah seseorang pemberani yang siap bertanggung jawab. Berani mengungkapkan perasaannya, bahkan mengabadikannya untuk setiap saat bisa diapresiasi atau dicela. Bukan sekadar kata-kata lewat mulut yang terdengar secepat kilat, lalu menghilang. Intinya, ini hanya perbedaan pilihan media untuk menyatakan perasaan. 

Banyak cara mengungkapkan perasaan. Dan bagi penulis, lewat tulisanlah semua sebaiknya terjadi. Termasuk untuk menyatakan dan berbagi perasaan. Penulis pun kemungkinan besar mencari jawaban atas setiap keresahan hatinya melalui tulisan. Penulis adalah orang-orang yang senang mengeja huruf-huruf. Bahkan untuk mengetahui pesan-pesan terselubung dari hati yang lain. Bagi penulis, tulisan adalah dunia yang sangat menyenangkan. Dunia sesungguhnya. Semua bisa terjadi lewat tulisan. Hingga datang saatnya, penulis pun merindukan seseorang untuk menulis untuknya, tentang persoalan jatuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar