Bagaimana
jika seorang penulis jatuh hati? Ya, jatuh hati, bukan jatuh cinta. Sebagaimana
tafsir Raisa Andriana dalam lagunya berjudul Jatuh Hati. Itu cocok untuk
bahasan ini. Kurang tepat jika menggunakan frasa “jatuh cinta” yang makna
kekiniannya terlalu sempit, hanya terkait ketertarikan dan keinginan saling
memiliki antarlawan jenis.
Jika
menilik lagu Raisa tersebut, berarti ketertarikan kita terhadap seseorang
didasarkan pada keluhuran perilakunya. Baik itu tentang cara berfikirnya, tutur
katanya, ataupun tindakannya. Terpancar budi pekerti luhur pada pribadinya yang
membuat kita tertarik untuk meneladani dan menjadikannya inspirasi. Bukan hanya
itu, kekaguman itu tak harus berujung pada hubungan saling memiliki, sebagaimana
kesan yang timbul ketika kita menggunakan frasa “jatuh cinta”.
Pemilihan
frasa itu bukan tanpa alasan. Bagi seorang penulis yang sadar bahwa tulisannya
adalah konsumsi publik, tentu tak elok jika menonjolkan citra subjektif pada
setiap gubahannya. Penulis selayaknya mengutarakan persoalan dari perspektif
objektif, sehingga setiap pembaca merasa menjadi pelakon dalam tulisannya. Untuk
itu, sekarang pun, Penulis berusaha menerapkan konsep itu.
Berangkat
dari uraian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa penulis yang baik akan
senantiasa menghindari untuk menggamblangkan perasaannya dalam setiap tulisan
yang ia rangkai. Berusaha semaksimal mungkin agar tulisannya tidak dicap
sebagai curahan hati, atau bahkan diary, meski berat melakukannya. Hal itu
sengaja dilakukan penulis, kecuali pada media-media pribadi yang memang
diperuntukkan untuk menumpahkan isi hati secara polos. Semua untuk kepentingan
pembaca.
Yang
harus dihindari bukanlah tentang perspektif rasa si penulis, tetapi jalan cerita
atau pokok bahasan tulisan yang tak ubahnya kisah pribadi penulis. Tak dimungkiri,
setiap tulisan tentu akan menggunakan kadar rasa menurut subjektivitas si
penulis. Sedangkan kita tahu, kadar rasa, misalnya kesepian, akan dituturkan si
penulis menurut perasaannya sendiri. Sebagai contoh, kadang ketika seseorang
kesepian, ia akan sangat gusar. Tapi bagi orang lain, mungkin biasa-biasa saja.
Kedua tipe orang tersebut pun akan berbeda dalam menuliskan perspektif rasanya.
Kembali
pada pertanyaan pokok di tulisan ini; bagaimana jika penulis jatuh hati,
bagaimana ia mengutarakannya perasaannya secara gamblang? Ini pertanyaan yang
sulit terjawab jika Penulis tak menggunakan perspektif subjektif. Oleh karena
itu, mau tak mau, Penulis akan menggunkan keakuan untuk menjawabnya, dan
menduga-duga setiap orang yang tertarik menulis, juga merasa sama.
Sebagaimana
diutarakan di awal, penulis yang baik akan berusaha menghindari untuk menulis
kisahnya sendiri dalam tulisannya. Ia tak ingin memaksakan setiap orang
mengagumi kisahnya atau merasa mengalami kisahnya tersebut. Tapi mengingat
kecenderungan seorang penulis yang tak sreg menyatakan perasaannya secara
verbal, termasuk ketika ia jatuh hati, maka bagaimana perasaannya bisa
tersampaikan? Akhirnya, menyiratkan rasa lewat tulisan adalah jalan keluarnya. Karena
itu juga, hanya orang yang dekat dengan si penulis yang akan menyadari kadar
curahan hatinya dalam tulisan.
Demi profesionalitaslah, penulis berusaha menyembunyikan gambaran jelas kisahnya dalam setiap kata-kata yang ia ukir. Pembaca jadinya sulit mengetahuinya, apakah jalan cerita pada sebuah tulisan adalah kisah nyata atau tidak. Keadaan itu tentu membuat penulis dilematis. Terlebih baginya, tulisan adalah pelarian ataupun tempat sampah untuk menampung keresahan jiwa agar tak membebani. Itulah risiko menjadi penulis yang baik.
Demi profesionalitaslah, penulis berusaha menyembunyikan gambaran jelas kisahnya dalam setiap kata-kata yang ia ukir. Pembaca jadinya sulit mengetahuinya, apakah jalan cerita pada sebuah tulisan adalah kisah nyata atau tidak. Keadaan itu tentu membuat penulis dilematis. Terlebih baginya, tulisan adalah pelarian ataupun tempat sampah untuk menampung keresahan jiwa agar tak membebani. Itulah risiko menjadi penulis yang baik.
Janganlah
heran ketika menemui seorang penulis yang enggan banyak cakap tentang
perasaannya, namun sangat enteng mengutarakannya melalui tulisan. Juga, jangan
heran ketika menjumpai seorang penulis yang tak mampu mengucapkan kata-kata
selangit, ataukah melakukan tindakan mengesankan untuk mengungkapkan perasaan jatuh
hatinya. Carilah bagaimana sesungguhnya perasaan seorang penulis di balik
kata-kata tulisannya.
Bagi
seorang penulis, tulisan adalah lidah. Bukan berarti bahwa penulis adalah
pecundang. Tidak benar juga mengatakan penulis adalah pengecut yang tak punya
nyali mengutaraan perasaannya saat sedang jatuh hati. Di luar pelabelan itu,
sesungguhnya penulis adalah seseorang pemberani yang siap bertanggung jawab.
Berani mengungkapkan perasaannya, bahkan mengabadikannya untuk setiap saat bisa
diapresiasi atau dicela. Bukan sekadar kata-kata lewat mulut yang terdengar
secepat kilat, lalu menghilang. Intinya, ini hanya perbedaan pilihan media
untuk menyatakan perasaan.
Banyak
cara mengungkapkan perasaan. Dan bagi penulis, lewat tulisanlah semua sebaiknya
terjadi. Termasuk untuk menyatakan dan berbagi perasaan. Penulis pun kemungkinan
besar mencari jawaban atas setiap keresahan hatinya melalui tulisan. Penulis
adalah orang-orang yang senang mengeja huruf-huruf. Bahkan untuk mengetahui
pesan-pesan terselubung dari hati yang lain. Bagi penulis, tulisan adalah dunia
yang sangat menyenangkan. Dunia sesungguhnya. Semua bisa terjadi lewat tulisan.
Hingga datang saatnya, penulis pun merindukan seseorang untuk menulis untuknya,
tentang persoalan jatuh hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar