Minggu, 15 November 2015

Nurani di Teror Paris


Terjadi lagi kisah memilukan yang mengoyak jiwa kemanusiaan kita. Di Paris, Prancis, Jumat, 13 November, terjadi aksi brutal para teroris, berupa serangan bersenjata dan bom bunuh diri di beberapa tempat berbeda, dalam durasi waktu yang tak berjarak lama. Kabar terakhir, sebagaimana dilansir kompas.com, serangan tersebut menewaskan 153 orang dan melukai lebih dari 200 orang. Menyaksikan kasus itu, tanpa perlu mengetahui latar belakang pelaku dan korban, sebagai manusia normal, kita pasti sangat terkejut, miris, dan kesal. Jiwa kemanusiaan kita akan melampaui perbedaan unsur teritorial dan SARA. Secara refleks, kita akan berduka melihat orang-orang tak bersalah dan tak tahu apa-apa diberondong peluru bak sasaran tembakan. 

Belakangan, penyerangan teroris tersebut disikapi secara beragam oleh khalayak ramai. Ada yang menganggapnya sebatas aksi keji para teroris yang harus dibalas dengan hukum setimpal. Namun ada pula pihak yang menyeret-nyeret isu keagamaaan ke dalamnya, lalu menuduh penganut agama tertentu sebagai pelakunya. Di sisi lain, penganut agama tertuduh merasa bahwa itu adalah konspirasi untuk terus menjatuhkan nama baik agamanya. 

Lebih jauh lagi, ada juga sikap beberapa pihak yang menganggap aksi teror berujung maut di Paris adalah reaksi setimpal terhadap aksi kekejaman yang dilakukan kelompok tertentu. Sebuah tindakan peringatan atau balasan atas perilaku beringas bangsa Barat terhadap bangsa lain. Bahayanya, kesimpulannya sering kali menyempit, sekadar aksi pertentangan antar penganut agama berbeda. Misalnya, sebut saja kebrutalan tak terperikan oleh Israel terhadap rakyat Palestina. Ataukah kecongkakan dan kekejian bangsa Barat, terutama Amerika, terhadap bangsa-bangsa di negara-negara Timur Tengah. Kejahatan tersebut melibatkan dua kelompok yang rakyatnya secara moyoritas berbeda agama atau kepercayaan.

Akibat kebiasaan menyeret-nyeret agama dalam perilaku kebinatangan para teroris, tanpa sadar, sisi kemanusiaan pun tergerus, hingga bisa sampai tak tersisa. Menganggap bahwa balas-membalas atas nama agama lebih mulia ketimbang menjaga kemanusiaan. Wujudnya, rasa kasihan jadi sulit tergugah menyaksikan pembunuhan ratusan orang di Paris, akibat dendam tak bertepi menyaksikan kekejaman terhadap manusia di Timur Tengah. 

Di sisi lain, rasa kesal pun semakin membara pada jiwa-jiwa manusia yang termakan stereotip sesat, bahwa label teroris melekat pada penganut agama tertentu. Penganut salah satu agama pun dicap teroris ulung. Ujung-ujungnya, manusia dengan penuh kebencian, tak merasa berdosa membawa-bawa nama Tuhan dalam pertumpahan darah. Jika begitu jadinya, entah sampai kapan akhirnya, sebab perbedaan agama dan kepercayaan mustahil dimusnahkan.

Jika aksi balas-membalas atas nama agama terus berlangsung, serta dianggp wajar dan seharusnya, bisa saja kehidupan sampai pada keadaan saat manusia membenci agama, sampai membenci Tuhan. Sampai datanglah masa, manusia memimpikan lagi kehidupan utopis, yaitu damai tanpa agama, yang tentu memiliki kemungkinan lebih berutal lagi. Fenomenanya kini, manusia tak segan lagi saling “membinatangkan” hanya karena perbedan keyakinan yang tak mungkin dipaksakan sama. Keadaan itu tak akan terjadi jika setiap manusia sadar betul bahwa perbedaan sejatinya adalah rahmat. Pun, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tak satu pun agama menyeru penganutnya untuk saling memurkai hanya karena perbedaan, termasuk karena perbedaan keyakinan. 

Setiap nurani manusia pasti sepakat bahwa perlakuan keji manusia di Timur tengah atau di daerah lainnya adalah kejahatan luar biasa. Sangat biadab! Wajar jika doa mengalir untuk saudara-saudara semanusia di sana, ataupun menimpakan sumpah serapah untuk para penjahat kemanusiaan. Respons terhadap itu bahkan bisa berupa tindakan nyata untuk memberikan pelajaran yang setimpal bagi para penghianat nurani. Namun, naïf juga jika menganggap bahwa pembantaian manusia di Paris adalah tindakan yang biasa saja, apalagi membenarkannya. Kita seharusnya berlaku adil atas dasar kemanusiaan. Perbedaan negara, bangsa, dan agama bukanlah alasan yang benar untuk tak saling mengasihi. Manusia tetaplah manusia yang punya sisi kemanusiaan. Itulah yang terpenting. Atas dasar kemanusiaanlah sehingga kedamaian seutuhnya di muka bumi, masih wajar kita impikan.

Jangan sampailah, akibat kebencian yang tak berdasar dan berlebihan terhadap kekejian, kita malah membenarkan tindakan buruk serupa. Akhirnya tanpa sadar, kita juga menjadi seorang manusia yang keji. Berhentilah menuruti dendam yang tak pernah terpuaskan secara membabi-buta, layaknya mengejar bayang-bayang diri sendiri. Sudah saatnya dan seharusnya, manusia merasa damai dan hidup dalam kedamaian kerena agama. Agama diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk menjaga hakikat kemanusiaan. Tak ada gunanya bersikap diskriminatif dan sentimen hingga mengobarkan kebencian atas nama agama. Jangan sampailah kita membunuh sisi kemanusiaan kita dengan agama. Sangat ironis jika begitu. 

Satu hal yang kita sadari secara naluriah sebagai manusia, tanpa perlu bertapa atau menghatamkan tak terhingga bacaan berbobot tinggi, bahwa tak ada manusia yang bahagia kehilangan sanak-saudaranya. Tak ada manusia yang tak sedih dan geram melihat pembantaian manusia secara keji, kecuali mereka yang telah membungkam sisi kemanusiaannya. Setiap nurani manusia normal pasti tersentuh menyaksikan lakon manusia yang mengharukan. Nurani sebagai sumber kemanusiaanlah senantiasa membisikkan kebajikan kepada kita, tentang kata-kata Tuhan. Agama tak sedikit pun bertentangan dengan nurani. Nafsu amarahlah yang sering kali menentangi ajaran agama. Maka sudah sepantasnya kita memelihara nurani kemanusiaan kita dengan agama. Dan untuk orang-orang yang merasa beragama, sering-seringlah bertanya pada nurani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar