Terjadi
lagi kisah memilukan yang mengoyak jiwa kemanusiaan kita. Di Paris, Prancis, Jumat,
13 November, terjadi aksi brutal para teroris, berupa serangan bersenjata dan
bom bunuh diri di beberapa tempat berbeda, dalam durasi waktu yang tak berjarak
lama. Kabar terakhir, sebagaimana dilansir kompas.com,
serangan tersebut menewaskan 153 orang dan melukai lebih dari 200 orang. Menyaksikan
kasus itu, tanpa perlu mengetahui latar belakang pelaku dan korban, sebagai
manusia normal, kita pasti sangat terkejut, miris, dan kesal. Jiwa kemanusiaan
kita akan melampaui perbedaan unsur teritorial dan SARA. Secara refleks, kita
akan berduka melihat orang-orang tak bersalah dan tak tahu apa-apa diberondong
peluru bak sasaran tembakan.
Belakangan,
penyerangan teroris tersebut disikapi secara beragam oleh khalayak ramai. Ada
yang menganggapnya sebatas aksi keji para teroris yang harus dibalas dengan
hukum setimpal. Namun ada pula pihak yang menyeret-nyeret isu keagamaaan ke
dalamnya, lalu menuduh penganut agama tertentu sebagai pelakunya. Di sisi lain,
penganut agama tertuduh merasa bahwa itu adalah konspirasi untuk terus
menjatuhkan nama baik agamanya.
Lebih
jauh lagi, ada juga sikap beberapa pihak yang menganggap aksi teror berujung
maut di Paris adalah reaksi setimpal terhadap aksi kekejaman yang dilakukan
kelompok tertentu. Sebuah tindakan peringatan atau balasan atas perilaku
beringas bangsa Barat terhadap bangsa lain. Bahayanya, kesimpulannya sering
kali menyempit, sekadar aksi pertentangan antar penganut agama berbeda.
Misalnya, sebut saja kebrutalan tak terperikan oleh Israel terhadap rakyat
Palestina. Ataukah kecongkakan dan kekejian bangsa Barat, terutama Amerika,
terhadap bangsa-bangsa di negara-negara Timur Tengah. Kejahatan tersebut melibatkan
dua kelompok yang rakyatnya secara moyoritas berbeda agama atau kepercayaan.
Akibat
kebiasaan menyeret-nyeret agama dalam perilaku kebinatangan para teroris, tanpa
sadar, sisi kemanusiaan pun tergerus, hingga bisa sampai tak tersisa.
Menganggap bahwa balas-membalas atas nama agama lebih mulia ketimbang menjaga kemanusiaan.
Wujudnya, rasa kasihan jadi sulit tergugah menyaksikan pembunuhan ratusan orang
di Paris, akibat dendam tak bertepi menyaksikan kekejaman terhadap manusia di
Timur Tengah.
Di
sisi lain, rasa kesal pun semakin membara pada jiwa-jiwa manusia yang termakan
stereotip sesat, bahwa label teroris melekat pada penganut agama tertentu.
Penganut salah satu agama pun dicap teroris ulung. Ujung-ujungnya, manusia
dengan penuh kebencian, tak merasa berdosa membawa-bawa nama Tuhan dalam
pertumpahan darah. Jika begitu jadinya, entah sampai kapan akhirnya, sebab
perbedaan agama dan kepercayaan mustahil dimusnahkan.
Jika
aksi balas-membalas atas nama agama terus berlangsung, serta dianggp wajar dan
seharusnya, bisa saja kehidupan sampai pada keadaan saat manusia membenci
agama, sampai membenci Tuhan. Sampai datanglah masa, manusia memimpikan lagi kehidupan
utopis, yaitu damai tanpa agama, yang tentu memiliki kemungkinan lebih berutal
lagi. Fenomenanya kini, manusia tak segan lagi saling “membinatangkan” hanya
karena perbedan keyakinan yang tak mungkin dipaksakan sama. Keadaan itu tak
akan terjadi jika setiap manusia sadar betul bahwa perbedaan sejatinya adalah
rahmat. Pun, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tak satu pun agama menyeru
penganutnya untuk saling memurkai hanya karena perbedaan, termasuk karena perbedaan
keyakinan.
Setiap
nurani manusia pasti sepakat bahwa perlakuan keji manusia di Timur tengah atau
di daerah lainnya adalah kejahatan luar biasa. Sangat biadab! Wajar jika doa
mengalir untuk saudara-saudara semanusia di sana, ataupun menimpakan sumpah
serapah untuk para penjahat kemanusiaan. Respons terhadap itu bahkan bisa
berupa tindakan nyata untuk memberikan pelajaran yang setimpal bagi para penghianat
nurani. Namun, naïf juga jika menganggap bahwa pembantaian manusia di Paris
adalah tindakan yang biasa saja, apalagi membenarkannya. Kita seharusnya
berlaku adil atas dasar kemanusiaan. Perbedaan negara, bangsa, dan agama
bukanlah alasan yang benar untuk tak saling mengasihi. Manusia tetaplah manusia
yang punya sisi kemanusiaan. Itulah yang terpenting. Atas dasar kemanusiaanlah sehingga
kedamaian seutuhnya di muka bumi, masih wajar kita impikan.
Jangan
sampailah, akibat kebencian yang tak berdasar dan berlebihan terhadap kekejian,
kita malah membenarkan tindakan buruk serupa. Akhirnya tanpa sadar, kita juga
menjadi seorang manusia yang keji. Berhentilah menuruti dendam yang tak pernah
terpuaskan secara membabi-buta, layaknya mengejar bayang-bayang diri sendiri. Sudah
saatnya dan seharusnya, manusia merasa damai dan hidup dalam kedamaian kerena
agama. Agama diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk menjaga
hakikat kemanusiaan. Tak ada gunanya bersikap diskriminatif dan sentimen hingga
mengobarkan kebencian atas nama agama. Jangan sampailah kita membunuh sisi
kemanusiaan kita dengan agama. Sangat ironis jika begitu.
Satu
hal yang kita sadari secara naluriah sebagai manusia, tanpa perlu bertapa atau
menghatamkan tak terhingga bacaan berbobot tinggi, bahwa tak ada manusia yang
bahagia kehilangan sanak-saudaranya. Tak ada manusia yang tak sedih dan geram
melihat pembantaian manusia secara keji, kecuali mereka yang telah membungkam
sisi kemanusiaannya. Setiap nurani manusia normal pasti tersentuh menyaksikan
lakon manusia yang mengharukan. Nurani sebagai sumber kemanusiaanlah senantiasa
membisikkan kebajikan kepada kita, tentang kata-kata Tuhan. Agama tak sedikit
pun bertentangan dengan nurani. Nafsu amarahlah yang sering kali menentangi
ajaran agama. Maka sudah sepantasnya kita memelihara nurani kemanusiaan kita
dengan agama. Dan untuk orang-orang yang merasa beragama, sering-seringlah
bertanya pada nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar