Sabtu, 14 November 2015

Sampai Kau Melihat



Rista, kita memang harus berbeda. Jika begitu, aku akan membutuhkanmu dan kau akan membutuhkanku. Memang seharusnya segala tentang kita tak mesti sama. Kita kemungkinan tak saling membutuhkan lagi jika memiliki hal yang sama. Yang penting, kita tak mempertentangkan perbedaan. Apa yang kau tuntut seharusnya apa yang kupunya. Begitu pun sebaliknya. Kita harus saling memahami satu sama lain. 

Kita punya hobi yang berbeda. Kau menggemari musik, hingga merelakan waktu-waktumu habis di studio musik rumahmu. Kau tampak senang bermanja-manja dengan deretan tombol piano. Sedangkan aku, masih seperti dulu yang kau kenal. Suka tenggelam menikmati makna kata-kata dalam setiap buku, terutama cerita fiksi. 

Sesekali jika iseng, akan kucoba menulis cerita pendek. Buntutnya, rangkaian karanganku keseringan macet di tengah jalan. Tapi sesekali, berhasil juga mencapai ending. Kalaupun cerita fiksiku sampai tamat, biasanya aku geli sendiri membacanya. Tapi anehnya, kau selalu memuji dan berkata kalau aku berbakat menjadi pengarang cerita fiksi. Entahlah. Mungkin kau tak ingin membuatku kecewa. Bisa jadi juga, kau menginginkan aku memuji balik dirimu, berkata bahwa permainan pianomu sangat menyentuh.

Singkatnya, tanpa kau sadari, kau adalah motivator dan inspirator terbesarku dalam menulis. Karena saran dan pujianmulah, aku terpacu menjadi penulis fiksi yang lebih baik lagi. Kini aku bertekad menjadi penulis karenamu. Sesekali, aku juga bercerita tentang dirimu dalam gubahanku. Meskipun kuyakini, kau akan sulit menyadarinya. Tentangmu tersirat dalam kata-kata yang kurangkai. Kuharap aku juga yang menjadi motivator dan inspirator terbaikmu.

Pernah suatu hari kau memintaku membaca sebuah cerita pendek untukmu. Kau memang malas membaca. Parahnya, kau banyak pinta kalau lagi suntuk mengharmonisasikan nada-nada pianomu. Kala itu, kau kelelahan berlatih piano di ruang privasimu yang kecilmu, demi memberikan penampilan terbaik pada acara penamatan SMP kita.

“Bon. Bondan, bangun! Kalau tak keberatan, tolong bacakan satu cerita pendek untukku dong. Satu saja,” pintamu sambil menegakkan jari telunjukmu. Kau berusaha terlihat kasian. Mengusap dan mengedip-ngedipkan mata sipitmu yang sulit melihat jika kau tak mengenakan kacamata. Ya, kau memang mengidap rabun yang parah.

Aku segela bangun dari didurku. Padahal baru sekejap saja aku terlelap setelah menikmati alunan nada dari ketikan jari-jarimu yang mungil. Kusibak segera buku kumpulan cerita pendek di sampingku. “Ok ok. Siap Non Rista. Cerita untukmu. Cocoknya cerita yang mana ya? Baiklah. Aku dapat,” balasku.

Aku pun mulai membaca cerita tentang dua teman baik yang diam-diam memiliki perasaan yang saling berbalas. Namun akhirnya mereka harus berpisah tanpa saling tahu tentang perasaan masing-masing. Si laki-laki harus berkuliah di pulau lain, mengikuti ayahnya yang pindah tempat kerja. Setelah empat tahun berlalu, si laki-laki berkunjung ke kota kenangannya. Ia pun hendak menemui si perempuan dan berharap masih bisa mengutarakan perasaan yang masih terjaga. Tapi nahas, maut benar-benar mengabadikan perasaan terpendam itu. Si perempuan telah meninggal dunia.

“Aduh…, ceritanya menyedihkan. Tapi intriknya menarik,” tuturmu semasih menumpu dagu dengan tangan kanan. Kau duduk tepat di kursi depanku. Memerhatikanku bertutur sedari tadi. “Andai saja kau yang menulis cerita itu, akan kupaksa kau mengubah ending-nya. Kalau bisa, jangan sampai si perempuannya meninggal. Biarkanlah mereka bertemu kembali dan akhirnya menikah. Kalau ceritanya begitu, kan kasian,” tuturmu seperti menggerutu. Mimikmu antara sedih dan kesal.

“Haha, ini kan fiksi. Kau seperti lupa ingatan saja,” balasku meledek. Kali ini aku merasa berhasil. Kau tak menduga akulah pengarang cerita itu sesungguhnya. Pasti kau tak mengira aku mampu merangkai kata secara baik dan menimajinasikan cerita yang menguras emosi seperti itu. 

***

Enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling mengenal. Ya, perkenalan kita dimulai sejak di tingkat sekolah menengah pertama. Takdir membuat kita selalu sekelas hingga tamat. Pertemanan kita pun sangat akrab. Tak mengherankan jika banyak orang menduga kita lebih dari teman. 

Pertemanan kita berlanjut saat di bangku sekolah menengah atas. Kita masih sering bermain dan belajar bersama, meski kita tak satu sekolah lagi. Jarak rumah kita memang dekat, hanya sekitar 100 meter. Terpisah dua rumah saja. Belum lagi, ayahku dan ayahmu berteman baik di bangku kuliah. Karena itu juga, tak ada yang mempermasalahkan jika aku sering-sering bermain ke rumahmu. Kita layaknya remaja puber yang baru menikmati dunia kanak-kanak. Seperti anak kecil yang selalu ingin bermain bersama. 

Tapi saat ini, demi cita-cita, kita harus berpisah. Aku telah menjadi seorang mahasiswa fakultas sastra di sebuah perguruan tinggi di pulau Jawa. Kini aku hanya bergelut dengan dunia merangkai kata. Waktuku lebih banyak habis untuk membaca cerita-cerita fiksi klasik. Aku harap setelah sarjana, aku akan pulang dan mempersembahkan karya terbaikku untukmu. 

Di sisi lain, kutahu kau masih di kota yang dulu. Kau kini adalah mahasiswa fakultas ekonomi, jurusan akuntansi. Tak kuduga jika kau yang lemah di perhitungan, akan lulus di jurusan yang bergelut dengan persoalan angka. Perkiraanku dulu, kau akan masuk fakultas seni untuk mengembangkan bakatmu. Tapi sudahlah. Kuharap jari-jarimu tak kaku menari di atas deretan tombol piano. Aku selalu rindu menikmati nada-nada yang kau rangkai.

Satu kesalahan yang seharusnya tak terjadi. Kita mengakhiri kebersaamaan tanpa saling berpamitan. Akibatnya, kini aku segan padamu. Kuyakin kau pun segan padaku. Kita pun eggan untuk saling berbagi kabar. Tapi kurasa, sudah sepantasnya kita fokus menggapai cita-cita kita masing-masing. Itu lebih baik.

Sesudah penamatan SMA, kita memang tak lagi bercengkrama sehangat sebelumnya. Palingan, kita saling menyapa apa adanya jika kebetulan berpapasan. Seperti terpaksa. Bisa jadi karena kita mulai sadar telah menua dan selayaknya belajar untuk bersikap dewasa. Atau perasaan kita mulai merasakan kebimbangan. Khawatir terjerembat menikmati khayalan tingkat tinggi sebelum saatnya; hidup bersama. 

Waktu itu, aku pergi dari pandanganmu tanpa memberi kabar. Aku tak ingin kau tahu jika aku lolos tes masuk di sebuah perguruan tinggi favorit, tempat aku kuliah sekarang. Kupikir, masih ada kemungkinan kau terharu dan bimbang melepasku pergi. Kau akan merasa berat kutinggalkan sekitar empat tahun. Atau paling tidak, aku jadi kecele. Jika aku pamit padamu, kau malah tak mengucapkan kata perpisahan yang berarti. Saat kuharap kau menyimpan rindu selama aku jauh di sana, tapi nyatanya kau tak sedikit pun mengharapkan aku tetap di dekatmu, walau sebagai teman. 

Sepertinya ada jarak di antara kita. Waktu demi waktu membuatnya semakin senjang. Tak ada lagi kepolosan untuk saling memuji, atau setidaknya saling menyemangati. Tak kuduga, seiring menanjaknya popularitasku sebagai penulis, kau malah enggan memberiku apresiasi.  Padahal, kaulah salah satu alasan terbesarku serius menjadi penulis. Ya, di awal kelas 3 SMA, memang aku sudah dikenal sebagai penulis fiksi mumpuni yang masih muda. Karyaku banyak dimuat di media cetak. Aku juga sesekali nongol di stasiun TV lokal sebagai narasumber.

Akhirnya teringat lagi percakapan kita di ruang musikmu saat kita masih duduk di bangku kelas 2 SMA.

“Bon, kelak nanti, kau ingin menjadi apa?” tanyamu tiba-tiba saat tengah memainkan pianomu.

“Sepertinya menjadi penulis itu asyik. Aku ingin jadi penulis. Semoga kau juga menjadi pemain piano yang handal nantinya. Kuharap kelak, aku bisa menyaksikanmu memainkan piano di panggung yang megah. Aku tak akan malu berdiri dan memberimu tepuk tangan di antara kerumunan penonton. Yakinlah, aku akan jadi penggemar terbaikmu,” balasku, mencoba menyemangatimu.

“Haha. Semoga saja. Tapi sejujurnya, aku tak ingin menjadi terkenal. Aku berlatih piano hanya untuk menghibur diriku sendiri. Menghiburmu juga, kalaupun kau merasa terhibur. Kuharap saat kau menjadi penulis terkenal dengan berjuta penggemar, kau tak melupakanku. Aku takut jika nanti, kau tak sudi lagi membaca cerita pendek untukku. Aku tak berharap pada yang lain,” tuturmu dengan mimik serius. Seperti mengutarakan kata hati. 

Aku terdiam dan tersentuh untuk sejenak. Selepas itu, aku mencoba memecah keheningan. Aku ingin bercanda lagi. Berusaha mengaburkan bahwa kata-katamu itu membuatku terkesan.

Setelah percakapan itu, kita mulai saling segan satu sama lain.

***

Sekarang adalah hari-hari yang sepi untuk Rista. Ia ditinggal Bondan, teman terbaiknya, ke kota lain untuk kuliah. Masih terekam jelas di memorinya tentang kebersamaan dengan lelaki yang bercita-cita menjadi penulis itu. Hanya Bondan teman yang mengerti dia selama bertahun-tahun. Akibatnya, ia pun kesulitan bersikap mandiri, layaknya perempuan dewasa. Kenangan memaksanya selalu ingin bernostalgia. Kenangan memang kadang-kadang menyesatkan.

Rista adalah perempuan yang berbeda. Ia lebih suka menyendiri daripada bersendau-gurau dalam keramaian. Seperti tak percaya diri dalam bergaul. Ia terlihat culun dengan kecamatanya. Ia pun tak mampu bertingkah modern seperti yang dipamerkan perempuan seumurnya. Lebih lagi, kemampuan visibilitas matanya mulai menurun dari waktu ke waktu. Ia mengidap penyakit yang membuat penglihatannya akan hilang total beberapa tahun ke depan.

Empat tahun berjalan, kehidupan Rista tetap tak menggembirakan. Tak ada teman yang bisa memahami dan menghibur kecuali orang tuanya dan piano. Ia pun tetap menyimpan kesan kepada Bondan. Lelaki yang membuat dirinya bimbang, apakah harus terus mengenang ataukah melupakan, berharap ataukah pasrah. Kini ia berserah kepada waktu agar mengikis sedikit demi sedikit kenangannya. Ataukah, ia dipertemukan segera dengan sosok yang bisa menjadi teman baiknya, yang bisa menggantikan Bondan di benaknya.

Dan doa Rista pun terkabul. Seminggu kemudian, ia dikenalkan sang ibu pada seorang lelaki yang akan menemani ia dan adik laki-lakinya setiap hari. Terlebih jika ada urusan kantor, ayah dan ibunya biasa ke luar kota selama tiga hari. Ibunya pun berhasil meyakinkan Rista yang pemalu dan penakut bahwa lelaki itu punya sikap yang baik. Lelaki yang dipanggil Irsan itu akan menjadi asisten rumah tangga keluarga Rista. 

Di hari hari-hari selanjutnya, Rista mulai enggan kuliah. Kacamata mulai tak mempan membantunya untuk melihat dengan jelas. Ia pun terpaksa menghabiskan waktu-waktunya di rumah. Beruntung baginya, ada Irsan yang setia menemani dan memenuhi pintanya. Ya, Irsan selalu bersedia mengantarnya  ke tempat yang diinginkan Rista. Irsan juga adalah koki terhebat kala perut Rista mulai keroncongan. Meski begitu, Rista bukanlah wanita yang rewel dan banyak mintanya. Sebisa mungkin, ia berusaha memenuhi keperluannya tanpa merepotkan orang lain. 

Di satu sore yang cerah, kerinduan pada Bondan tiba-tiba menggerogoti perasaan Rista. Semilir angin mengingatkan ia kala Bondan datang dan mengajaknya bersepeda keliling kompleks. Demi mendamaikan rindunya, ia pun meminta Irsan untuk membacakannya cerita pendek yang ada pada sebuah buku. 

“Om Isran, kalau tak merepotkan, tolong bacakan salah satu cerita pendek dalam buku ini dong? Terserah Om saja, baca yang mana,” pinta Rista.

“Yang mana ya kira-kira cerita yang tepat untuk Non Rista. Oh, ok. Ini saja Non. Sepertinya menarik,” tutur Irsan. Dari suaranya yang masih berat dan tegas, ia lebih layak dipanggil kakak.

Irsan pun mulai membaca cerita tentang dua teman baik yang memendam perasaan saling berbalas secara diam-diam. Namun akhirnya, mereka harus berpisah tanpa saling tahu tentang perasaan masing-masing. Si laki-laki harus berkuliah di pulau lain, mengikuti ayahnya yang pindah tempat kerja. Setelah empat tahun berlalu, si laki-laki berkunjung ke kota kenangannya. Ia pun bertekad menemui si perempuan. Ia berharap bisa mengutarakan perasaannya yang masih terjaga. Akhirnya, mereka dipertemukan kembali, dan sepakat menikah setahun setelahnya.

Mendengar cerita itu, mata Rista yang menatap kosong mulai berkaca-kaca. Tak lama, tetesan air mata tergelincir di pipinya. 

“Ada apa Non Rista menangis? Ceritanya menyedihkan ya?” tanya Irsan.

“Tidak apa-apa Om. Aku hanya ingat teman baikku, yang pernah membaca cerita serupa itu untukku. Namanya Bondan. Tapi seingatku, ceritanya tak mengharukan waktu ia membacakannya. Ending-nya menjengkelkan malah. Om tidak mengarang-ngarang ceritanya kan?” tanya Rista.

“Tidak mungkinlah aku mengarang-ngarang ceritanya Non. Aku tak punya bakat mengarang cerita,” pungkas Irsan.

Irsan ikut bersedih melihat Rista menangis. Tak mungkin disadari Rista.

***

Enam bulan setelahnya, sekitar setahun setelah Rista hidup dalam dunia yang gelap total, ia akhirnya menjalani operasi mata. Ia mendapatkan donor mata. Ini adalah kesempatan baik untuknya, kembali melihat kenyataan dunia yang hanya bisa dikhayalkannya. Ia akan kembali menikmati lingkungan rumah dan kampus, mengamati perubahan wajah keluarganya, termasuk mencocokkan wajah Irsan dengan apa yang ia bayangkan. Ia merasa penasaran dengan lelaki yang hampir setahun setia menemani hari-harinya itu.

Hari terus berganti. Berselang dua bulan, tibalah saatnya Rista kembali membuka matanya dan melihat dunia. 

“Bagaimana Nak, kamu bisa melihat kami kan?” tanya sang ibu was-was, selepas perban yang menutup mata Rista tersingkap. 

Rista yang duduk bersila di atas kasur, berbalik ke arah suara, di samping kananya. Ia mulai menerawang anggota keluarga kecilnya. Senyuman pun mulai merekah di wajahnya. “Ibu…. Iya, aku bisa melihat ibu, ayah, dan adik. Alhamdulillah, kini aku bisa melihat lagi. Terima kasih Ibu,” tutur Rista yang masih menangis tersedu, sambil memeluk ibunya. 
Suasana haru pun menyelimuti mereka. 

“Irsan mana?” tanya Rista lagi.

“Itu dia,” tunjuk ayahnya ke arah belakang Rista.

Rista pun berbalik, dan tak melihat wajah orang asing sesuai ingatannya. Ia hanya terkejut melihat Bondan dan orang tuanya berdiri di depannya sambil tersenyum. 

“Bondan…. Jadi…. Jadi selama ini kau adalah Irsan?” tanyanya secara terbata-bata. Wajahnya tampak penasaran, seperti ingin jawaban singkat secepatnya.

Bondan hanya tersenyum, lalu menggenggam tangannya. Ia menyimpan harapan, semoga gubahan cerita pendeknya yang pernah ia bacakan untuk Rista semasih melihat dalam gelap, menjadi kisah nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar