Rista,
kita memang harus berbeda. Jika begitu, aku akan membutuhkanmu dan kau akan
membutuhkanku. Memang seharusnya segala tentang kita tak mesti sama. Kita kemungkinan
tak saling membutuhkan lagi jika memiliki hal yang sama. Yang penting, kita tak
mempertentangkan perbedaan. Apa yang kau tuntut seharusnya apa yang kupunya.
Begitu pun sebaliknya. Kita harus saling memahami satu sama lain.
Kita
punya hobi yang berbeda. Kau menggemari musik, hingga merelakan waktu-waktumu habis
di studio musik rumahmu. Kau tampak senang bermanja-manja dengan deretan tombol
piano. Sedangkan aku, masih seperti dulu yang kau kenal. Suka tenggelam menikmati
makna kata-kata dalam setiap buku, terutama cerita fiksi.
Sesekali
jika iseng, akan kucoba menulis cerita pendek. Buntutnya, rangkaian karanganku keseringan
macet di tengah jalan. Tapi sesekali, berhasil juga mencapai ending. Kalaupun cerita fiksiku sampai
tamat, biasanya aku geli sendiri membacanya. Tapi anehnya, kau selalu memuji dan
berkata kalau aku berbakat menjadi pengarang cerita fiksi. Entahlah. Mungkin kau
tak ingin membuatku kecewa. Bisa jadi juga, kau menginginkan aku memuji balik dirimu,
berkata bahwa permainan pianomu sangat menyentuh.
Singkatnya,
tanpa kau sadari, kau adalah motivator dan inspirator terbesarku dalam menulis.
Karena saran dan pujianmulah, aku terpacu menjadi penulis fiksi yang lebih baik
lagi. Kini aku bertekad menjadi penulis karenamu. Sesekali, aku juga bercerita
tentang dirimu dalam gubahanku. Meskipun kuyakini, kau akan sulit menyadarinya.
Tentangmu tersirat dalam kata-kata yang kurangkai. Kuharap aku juga yang
menjadi motivator dan inspirator terbaikmu.
Pernah
suatu hari kau memintaku membaca sebuah cerita pendek untukmu. Kau memang malas
membaca. Parahnya, kau banyak pinta kalau lagi suntuk mengharmonisasikan nada-nada
pianomu. Kala itu, kau kelelahan berlatih piano di ruang privasimu yang kecilmu,
demi memberikan penampilan terbaik pada acara penamatan SMP kita.
“Bon.
Bondan, bangun! Kalau tak keberatan, tolong bacakan satu cerita pendek untukku
dong. Satu saja,” pintamu sambil menegakkan jari telunjukmu. Kau berusaha
terlihat kasian. Mengusap dan mengedip-ngedipkan mata sipitmu yang sulit melihat jika
kau tak mengenakan kacamata. Ya, kau memang mengidap rabun yang parah.
Aku
segela bangun dari didurku. Padahal baru sekejap saja aku terlelap setelah
menikmati alunan nada dari ketikan jari-jarimu yang mungil. Kusibak segera buku
kumpulan cerita pendek di sampingku. “Ok ok. Siap Non Rista. Cerita untukmu.
Cocoknya cerita yang mana ya? Baiklah. Aku dapat,” balasku.
Aku
pun mulai membaca cerita tentang dua teman baik yang diam-diam memiliki
perasaan yang saling berbalas. Namun akhirnya mereka harus berpisah tanpa
saling tahu tentang perasaan masing-masing. Si laki-laki harus berkuliah di pulau
lain, mengikuti ayahnya yang pindah tempat kerja. Setelah empat tahun berlalu,
si laki-laki berkunjung ke kota kenangannya. Ia pun hendak menemui si perempuan
dan berharap masih bisa mengutarakan perasaan yang masih terjaga. Tapi nahas,
maut benar-benar mengabadikan perasaan terpendam itu. Si perempuan telah
meninggal dunia.
“Aduh…,
ceritanya menyedihkan. Tapi intriknya menarik,” tuturmu semasih menumpu dagu
dengan tangan kanan. Kau duduk tepat di kursi depanku. Memerhatikanku bertutur
sedari tadi. “Andai saja kau yang menulis cerita itu, akan kupaksa kau mengubah
ending-nya. Kalau bisa, jangan sampai
si perempuannya meninggal. Biarkanlah mereka bertemu kembali dan akhirnya
menikah. Kalau ceritanya begitu, kan kasian,” tuturmu seperti menggerutu. Mimikmu
antara sedih dan kesal.
“Haha,
ini kan fiksi. Kau seperti lupa ingatan saja,” balasku meledek. Kali ini aku
merasa berhasil. Kau tak menduga akulah pengarang cerita itu sesungguhnya.
Pasti kau tak mengira aku mampu merangkai kata secara baik dan menimajinasikan
cerita yang menguras emosi seperti itu.
***
Enam
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling mengenal. Ya, perkenalan kita
dimulai sejak di tingkat sekolah menengah pertama. Takdir membuat kita selalu
sekelas hingga tamat. Pertemanan kita pun sangat akrab. Tak mengherankan jika banyak
orang menduga kita lebih dari teman.
Pertemanan
kita berlanjut saat di bangku sekolah menengah atas. Kita masih sering bermain
dan belajar bersama, meski kita tak satu sekolah lagi. Jarak rumah kita memang
dekat, hanya sekitar 100 meter. Terpisah dua rumah saja. Belum lagi, ayahku dan
ayahmu berteman baik di bangku kuliah. Karena itu juga, tak ada yang mempermasalahkan
jika aku sering-sering bermain ke rumahmu. Kita layaknya remaja puber yang baru
menikmati dunia kanak-kanak. Seperti anak kecil yang selalu ingin bermain
bersama.
Tapi
saat ini, demi cita-cita, kita harus berpisah. Aku telah menjadi seorang
mahasiswa fakultas sastra di sebuah perguruan tinggi di pulau Jawa. Kini aku hanya
bergelut dengan dunia merangkai kata. Waktuku lebih banyak habis untuk membaca
cerita-cerita fiksi klasik. Aku harap setelah sarjana, aku akan pulang dan
mempersembahkan karya terbaikku untukmu.
Di
sisi lain, kutahu kau masih di kota yang dulu. Kau kini adalah mahasiswa
fakultas ekonomi, jurusan akuntansi. Tak kuduga jika kau yang lemah di
perhitungan, akan lulus di jurusan yang bergelut dengan persoalan angka. Perkiraanku
dulu, kau akan masuk fakultas seni untuk mengembangkan bakatmu. Tapi sudahlah. Kuharap
jari-jarimu tak kaku menari di atas deretan tombol piano. Aku selalu rindu
menikmati nada-nada yang kau rangkai.
Satu
kesalahan yang seharusnya tak terjadi. Kita mengakhiri kebersaamaan tanpa saling
berpamitan. Akibatnya, kini aku segan padamu. Kuyakin kau pun segan padaku. Kita
pun eggan untuk saling berbagi kabar. Tapi kurasa, sudah sepantasnya kita fokus
menggapai cita-cita kita masing-masing. Itu lebih baik.
Sesudah
penamatan SMA, kita memang tak lagi bercengkrama sehangat sebelumnya. Palingan,
kita saling menyapa apa adanya jika kebetulan berpapasan. Seperti terpaksa.
Bisa jadi karena kita mulai sadar telah menua dan selayaknya belajar untuk
bersikap dewasa. Atau perasaan kita mulai merasakan kebimbangan. Khawatir terjerembat
menikmati khayalan tingkat tinggi sebelum saatnya; hidup bersama.
Waktu
itu, aku pergi dari pandanganmu tanpa memberi kabar. Aku tak ingin kau tahu
jika aku lolos tes masuk di sebuah perguruan tinggi favorit, tempat aku kuliah
sekarang. Kupikir, masih ada kemungkinan kau terharu dan bimbang melepasku
pergi. Kau akan merasa berat kutinggalkan sekitar empat tahun. Atau paling
tidak, aku jadi kecele. Jika aku pamit padamu, kau malah tak mengucapkan kata
perpisahan yang berarti. Saat kuharap kau menyimpan rindu selama aku jauh di sana,
tapi nyatanya kau tak sedikit pun mengharapkan aku tetap di dekatmu, walau
sebagai teman.
Sepertinya
ada jarak di antara kita. Waktu demi waktu membuatnya semakin senjang. Tak ada
lagi kepolosan untuk saling memuji, atau setidaknya saling menyemangati. Tak
kuduga, seiring menanjaknya popularitasku sebagai penulis, kau malah enggan
memberiku apresiasi. Padahal, kaulah
salah satu alasan terbesarku serius menjadi penulis. Ya, di awal kelas 3 SMA,
memang aku sudah dikenal sebagai penulis fiksi mumpuni yang masih muda. Karyaku
banyak dimuat di media cetak. Aku juga sesekali nongol di stasiun TV lokal sebagai narasumber.
Akhirnya
teringat lagi percakapan kita di ruang musikmu saat kita masih duduk di bangku
kelas 2 SMA.
“Bon,
kelak nanti, kau ingin menjadi apa?” tanyamu tiba-tiba saat tengah memainkan
pianomu.
“Sepertinya
menjadi penulis itu asyik. Aku ingin jadi penulis. Semoga kau juga menjadi
pemain piano yang handal nantinya. Kuharap kelak, aku bisa menyaksikanmu memainkan
piano di panggung yang megah. Aku tak akan malu berdiri dan memberimu tepuk
tangan di antara kerumunan penonton. Yakinlah, aku akan jadi penggemar
terbaikmu,” balasku, mencoba menyemangatimu.
“Haha.
Semoga saja. Tapi sejujurnya, aku tak ingin menjadi terkenal. Aku berlatih
piano hanya untuk menghibur diriku sendiri. Menghiburmu juga, kalaupun kau
merasa terhibur. Kuharap saat kau menjadi penulis terkenal dengan berjuta
penggemar, kau tak melupakanku. Aku takut jika nanti, kau tak sudi lagi membaca
cerita pendek untukku. Aku tak berharap pada yang lain,” tuturmu dengan mimik serius.
Seperti mengutarakan kata hati.
Aku
terdiam dan tersentuh untuk sejenak. Selepas itu, aku mencoba memecah keheningan.
Aku ingin bercanda lagi. Berusaha mengaburkan bahwa kata-katamu itu membuatku
terkesan.
Setelah
percakapan itu, kita mulai saling segan satu sama lain.
***
Sekarang
adalah hari-hari yang sepi untuk Rista. Ia ditinggal Bondan, teman terbaiknya, ke
kota lain untuk kuliah. Masih terekam jelas di memorinya tentang kebersamaan
dengan lelaki yang bercita-cita menjadi penulis itu. Hanya Bondan teman yang
mengerti dia selama bertahun-tahun. Akibatnya, ia pun kesulitan bersikap mandiri,
layaknya perempuan dewasa. Kenangan memaksanya selalu ingin bernostalgia. Kenangan
memang kadang-kadang menyesatkan.
Rista
adalah perempuan yang berbeda. Ia lebih suka menyendiri daripada bersendau-gurau
dalam keramaian. Seperti tak percaya diri dalam bergaul. Ia terlihat culun
dengan kecamatanya. Ia pun tak mampu bertingkah modern seperti yang dipamerkan
perempuan seumurnya. Lebih lagi, kemampuan visibilitas matanya mulai menurun
dari waktu ke waktu. Ia mengidap penyakit yang membuat penglihatannya akan
hilang total beberapa tahun ke depan.
Empat
tahun berjalan, kehidupan Rista tetap tak menggembirakan. Tak ada teman yang
bisa memahami dan menghibur kecuali orang tuanya dan piano. Ia pun tetap menyimpan
kesan kepada Bondan. Lelaki yang membuat dirinya bimbang, apakah harus terus
mengenang ataukah melupakan, berharap ataukah pasrah. Kini ia berserah kepada
waktu agar mengikis sedikit demi sedikit kenangannya. Ataukah, ia dipertemukan
segera dengan sosok yang bisa menjadi teman baiknya, yang bisa menggantikan Bondan di benaknya.
Dan
doa Rista pun terkabul. Seminggu kemudian, ia dikenalkan sang ibu pada seorang lelaki
yang akan menemani ia dan adik laki-lakinya setiap hari. Terlebih jika ada
urusan kantor, ayah dan ibunya biasa ke luar kota selama tiga hari. Ibunya pun
berhasil meyakinkan Rista yang pemalu dan penakut bahwa lelaki itu punya sikap
yang baik. Lelaki yang dipanggil Irsan itu akan menjadi asisten rumah tangga
keluarga Rista.
Di
hari hari-hari selanjutnya, Rista mulai enggan kuliah. Kacamata mulai tak
mempan membantunya untuk melihat dengan jelas. Ia pun terpaksa menghabiskan
waktu-waktunya di rumah. Beruntung baginya, ada Irsan yang setia menemani dan
memenuhi pintanya. Ya, Irsan selalu bersedia mengantarnya ke tempat yang diinginkan Rista. Irsan juga
adalah koki terhebat kala perut Rista mulai keroncongan. Meski begitu, Rista
bukanlah wanita yang rewel dan banyak mintanya. Sebisa mungkin, ia berusaha memenuhi
keperluannya tanpa merepotkan orang lain.
Di
satu sore yang cerah, kerinduan pada Bondan tiba-tiba menggerogoti perasaan
Rista. Semilir angin mengingatkan ia kala Bondan datang dan mengajaknya
bersepeda keliling kompleks. Demi mendamaikan rindunya, ia pun meminta Irsan untuk
membacakannya cerita pendek yang ada pada sebuah buku.
“Om
Isran, kalau tak merepotkan, tolong bacakan salah satu cerita pendek dalam buku
ini dong? Terserah Om saja, baca yang mana,” pinta Rista.
“Yang mana ya kira-kira cerita yang tepat
untuk Non Rista. Oh, ok. Ini saja Non. Sepertinya menarik,” tutur Irsan. Dari
suaranya yang masih berat dan tegas, ia lebih layak dipanggil kakak.
Irsan
pun mulai membaca cerita tentang dua teman baik yang memendam perasaan saling
berbalas secara diam-diam. Namun akhirnya, mereka harus berpisah tanpa saling
tahu tentang perasaan masing-masing. Si laki-laki harus berkuliah di pulau
lain, mengikuti ayahnya yang pindah tempat kerja. Setelah empat tahun berlalu,
si laki-laki berkunjung ke kota kenangannya. Ia pun bertekad menemui si
perempuan. Ia berharap bisa mengutarakan perasaannya yang masih terjaga.
Akhirnya, mereka dipertemukan kembali, dan sepakat menikah setahun setelahnya.
Mendengar
cerita itu, mata Rista yang menatap kosong mulai berkaca-kaca. Tak lama,
tetesan air mata tergelincir di pipinya.
“Ada
apa Non Rista menangis? Ceritanya menyedihkan ya?” tanya Irsan.
“Tidak
apa-apa Om. Aku hanya ingat teman baikku, yang pernah membaca cerita serupa itu
untukku. Namanya Bondan. Tapi seingatku, ceritanya tak mengharukan waktu ia
membacakannya. Ending-nya
menjengkelkan malah. Om tidak mengarang-ngarang ceritanya kan?” tanya Rista.
“Tidak
mungkinlah aku mengarang-ngarang ceritanya Non. Aku tak punya bakat mengarang
cerita,” pungkas Irsan.
Irsan
ikut bersedih melihat Rista menangis. Tak mungkin disadari Rista.
***
Enam
bulan setelahnya, sekitar setahun setelah Rista hidup dalam dunia yang gelap
total, ia akhirnya menjalani operasi mata. Ia mendapatkan donor mata. Ini adalah
kesempatan baik untuknya, kembali melihat kenyataan dunia yang hanya bisa
dikhayalkannya. Ia akan kembali menikmati lingkungan rumah dan kampus, mengamati
perubahan wajah keluarganya, termasuk mencocokkan wajah Irsan dengan apa yang
ia bayangkan. Ia merasa penasaran dengan lelaki yang hampir setahun setia
menemani hari-harinya itu.
Hari
terus berganti. Berselang dua bulan, tibalah saatnya Rista kembali membuka
matanya dan melihat dunia.
“Bagaimana
Nak, kamu bisa melihat kami kan?” tanya sang ibu was-was, selepas perban yang
menutup mata Rista tersingkap.
Rista
yang duduk bersila di atas kasur, berbalik ke arah suara, di samping kananya. Ia
mulai menerawang anggota keluarga kecilnya. Senyuman pun mulai merekah di
wajahnya. “Ibu…. Iya, aku bisa melihat ibu, ayah, dan adik. Alhamdulillah, kini aku bisa melihat lagi.
Terima kasih Ibu,” tutur Rista yang masih menangis tersedu, sambil memeluk
ibunya.
Suasana
haru pun menyelimuti mereka.
“Irsan
mana?” tanya Rista lagi.
“Itu
dia,” tunjuk ayahnya ke arah belakang Rista.
Rista
pun berbalik, dan tak melihat wajah orang asing sesuai ingatannya. Ia hanya
terkejut melihat Bondan dan orang tuanya berdiri di depannya sambil tersenyum.
“Bondan….
Jadi…. Jadi selama ini kau adalah Irsan?” tanyanya secara terbata-bata.
Wajahnya tampak penasaran, seperti ingin jawaban singkat secepatnya.
Bondan
hanya tersenyum, lalu menggenggam tangannya. Ia menyimpan harapan, semoga gubahan
cerita pendeknya yang pernah ia bacakan untuk Rista semasih melihat dalam gelap, menjadi kisah nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar