Di
masa kini, sepertinya kurang sreg jika setiap momen yang dialami tidak direkam
dalam bentuk visual. Bisa dalam bentuk video maupun foto. Dengan kemajuan
teknologi, sepertinya pengarsipan kisah bukan hal yang sulit. Terlebih, smartphone sudah seperti barang
kebutuhan primer. Setiap orang lazim memilikinya. Semua aktivitas pun dengan mudah
direkam menggunakan perangkat serba bisa itu.
Pengarsipan
kisah sekarang tentu tak sebaik dulu, waktu zaman kamera analog yang masih menggunakan
klise. Keadaan itu tentu saja membatasi keleluasaan dalam mengambil sebanyak
mungkin gambar dalam sebuah momen. Tapi kini, setelah terciptanya perangkat
yang dapat merekam momen dalam bentuk digital, orang-orang pun bisa mengarsipkan
momennya dalam banyak rangkap. Hasil jepretan lalu dipilah-pilah untuk dihapus
atau diarsipkan dalam memori perangkat penyimpanan. Suatu saat, semuanya dapat
dibuka kembali. Sangat praktis.
Alat
pengarsipan kisah ternyata membawa perubahan, pada bagaimana cara orang mengabadikan
kenangannya. Jika dahulu kisah hanya disimpan di memori otak (baca: ingatan),
sekarang orang bisa mengarsipkannya dalam perangkat memori lain. Tapi
masalahnya, penghayatan seseorang terhadap momen yang dialaminya menjadi
dangkal.
Saat
sebelum adanya teknologi pengarsipan kisah, orang-orang tentu cenderung
memerhatikan detail terkait momen yang ia alami. Penuh penghayatan. Itu agar momen
tersebut tergambar secara baik di ingatannya, baik untuk sekadar dikenang atau
diceritakan kepada orang lain nantinya. Tapi sekarang persoalan penting itu
diabaikan. Orang lebih sibuk berpose sana-sini daripada meresapi suasana
momennya.
Sekarang,
orang-orang cenderung mengejar bukti pengarsipan kisah, tapi mengabaikan makna
kisahnya. Orang tak lagi menghayati proses perjalanan yang ia lalui. Yang
penting adalah memiliki bukti bahwa ia pernah melalui sebuah perjalanan. Semuanya
demi memenuhi hasrat pamer. Tidak mengherankan jika banyak terjadi, orang-orang
begitu heboh jika nampak di sebuah foto, padahal kenyataannya mereka senyap-senyap
saja. Kisah-kisah pun berlalu tanpa menyisakan kesan mendalam.
Dampak
negatif dari kebiasaan mencari-cari pengakuan eksistensi dari pamer-pamer arsip
kisah adalah, orang menjadi abai terhadap tujuan momen yang dialaminya. Setiap
momen yang dilalui berlalu begitu saja tanpa ada makna yang terbersit dalam
hatinya. Orang menjadi lebih suka terlihat prihatin, tapi sebenarnya lempeng-lempeng
saja. Orang lebih suka terlihat peduli, tapi sebenarnya masa bodoh.
Tak
mengherankan jika ada seseorang tanpa segan memampang senyum lebarnya saat berfoto
selfie di depan sebuah peristiwa musibah. Ataukah seorang demonstran yang
sebenarnya tak tahu persoalan yang sedang diaspirasikan, namun merasa tujuannya
tercapai jika wajahnya nongol pada sebuah foto bersama ban bekas yang terbakar.
Mereka mendapatkan eksistensi, tapi kering pada persoalan esensi. Hidupnya
nampak terlihat semarak, padahal merasa sangat kesepian.
Mau
tidak mau perkembangan teknologi memang menuntut perilaku manusia turut
menyesuaikan. Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia.
Namun tak bijak juga jika melupakan inti kehidupan, hanya karena terlena tipuan
teknologi. Tak ada buruk mengarsipkan kisah, tapi jangan juga membuat lupa terhadap
makna kisah hidup yang terlalui. Memori manusia akan pupus seiring penuan. Tentu
perlu arsip kisah untuk disibak kembali nantinya. Sebuah peninggalan yang akan
mengantar manusia bernostalgia, hingga merasa terbarukan lagi.
Kisah
selayaknya tak sekadar diarsipkan, lalu mengabai maknanya. Sebuah kisah akan
sangat berarti jika kita punya kesan darinya, termasuk pelajaran hidup. Arsip kisah
tetaplah penting untuk mengantisipasi keadaan pikun, ataukah dijadikan bukti
sejarah bagi generasi selanjutnya. Tapi yang perlu diingat, bahwa meskipun kita
tak terarsipkan dalam sebuah kisah, tapi selama kita mengalaminya, kita
tetaplah bagian di dalamnya. Akhirnya, tak perlu terlihat bahagia untuk
dikatakan bahagia. Cukup bahagia saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar