Sabtu, 07 November 2015

Uang dan Kemanusiaan


Nenek moyang kita, beribu-ribu tahun yang lalu, tentu tidak pernah membayangkan bagaimana peradaban masa kini. Banyak yang berubah. Sekarang, manusia tak lagi hidup secara nomaden serta membentuk komune. Tak perlu juga seperti zaman dahulu, mengutamakan kesetiakawanan sosial untuk bertahan hidup ataupun meraih kebahagiaan. Semua persoalan bisa dilakukan sendiri-sendiri. Setiap pemburu nikmat duniawi cukup tega berlaku egois untuk mewujudkan mimpinya. 

Kehidupan memang tak lepas dari pergumulan. Keinginan untuk menjadi lebih dari yang lain adalah perangsangnya. Kasta-kasta sosial elit, berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan materiil pun, memacu sisi individualis jiwa manusia menjadi semakin liar. Rasa malu pun menjadi tawar. Tak kuasa lagi nurani membendung nafsu kerakusan pada sisi kebinatangan manusia. Demi kepentingan pribadinya, sebagian manusia tega mengobrak-abrik keharmonisan sosialnya. Pertiakain karena persoalan harta benda dan perhiasan hidup lainnya, telah menjadi fenomena. Konklusinya, pola hidup sejumlah manusia saat ini adalah berlomba-lomba berjaya untuk “memperbudak”  manusia lain. 

Kita tentu pernah belajar sejarah, dan mengetahui jika tempo dulu, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dari alam secara langsung. Saat itu, tumbuhan dan hewan memang masih melimpahkan berkahnya. Namun seiring perilaku manusia yang tak berkawan dengan alam, kebutuhan manusia, terutama pangan, pun jadi sulit didapatkan. Demi bertahan hidup, manusia pun melakukan barter. Masyarakat dari kawasan dengan karakteristik geografis berbeda, saling bertukar hasil potensi alam demi memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Sistem barter itu tentu dilatarbelakangi naluri manusia yang saling membutuhkan, memiliki hasrat untuk membalas budi, serta memiliki ketulusan untuk berkorban demi kepentingan orang lain. 

Kehidupan di masa barter menunjukkan bahwa setiap individu sadar memiliki peran dalam menjamin tercukupinya kebutuhan masyarakat. Di masa itu, tak ada keinginan seorang manusia untuk menguasai semua lapangan atau sumber-sumber hajat hidup orang banyak. Setiap individu juga merasa menanggung beban moril untuk memberi kala menerima sebuah pemberian. Tak ada yang lebih penting daripada tolong menolong. Lebihnya lagi, mereka tak gemar memperkarakan tepat tidaknya keseimbangan barang yang mereka barter. Semua dilandasi ketulusan. Tak heran jika kita pernah mendengar kisah barter seekor kambing dengan beberapa karung beras, yang di masa kini pasti dianggap tak adil. Mungkinkah suasana kemanusiaan itu terjadi di masa modern ini?

Ujung dari peradaban komunal yang sarat dengan keharmonisan sosial adalah ketika masyarakat menyepakati alat tukar-menukar. Alasannya karena kebutuhan hidup yang semakin kompleks, sehingga ada kemungkinan, sulit mempertemukan dua orang yang siap membarterkan barangnya. Alasannya karena barang di satu pihak belum tentu menjadi kebutuhan bagi pihak lainnya. 

Merunut sejarah, awalnya, yang disepakati sebagai alat tukar adalah kulit hewan, logam mulia, dll. Ujungnya, di masa sekarang adalah uang. Nominal uang disepakati merepresentasikan nilai kebutuhan pada sebuah barang. Uang pun dapat digunakan untuk memperoleh barang atau menikmati jasa. Manusia akhirnya tak sadar dan berbuat untuk turut dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Untuk makan, tak usah lagi pusing-pusing bercocok tanam. Individu pun berjibaku menumpuk benda yang tak dapat dimakan itu, tapi dapat ditukar dengan apa saja: uang. Parahnya, sejumlah cara ditempuh, termasuk “mengembang-biakkannya” tanpa tetesan keringan sebutir pun. 

Mau tak mau, kehadiran uang adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Itulah benda ajaib yang dinilai menjadi jawaban atas dugaan ketidakseimbangan nilai barang saat barteran. Karena kesepakatan bahwa nominal tertentu sebanding dengan barang atau jasa dalam ukuran tertentu, orang tidak akan segan menukar barangnya dengan selembar kertas. Namun ada masalah yang terabaikan tapi tak termungkiri, bahwa nilai-nilai luhur sebelum uang ada ternyata ikut terdegradasi. 

Di zaman uang inilah lahir manusia pemalas yang sudi menabung uang hasil keringat manusia lain. Mencuri uang untuk dilipatgandakan. Manusia menjadi perhitungan dan tak ada kesadaran untuk berbakti tanpa balasan (baca: uang). Hilanglah kebiasaan masyarakat untuk bahu-membahu dan bergotong royong demi kebaikan bersama. Setiap gerak di ranah publik butuh perangsang berupa uang. Tak heran jika didapati fenomena pembangunan fasilitas umum yang terhambat berpuluh-puluh tahun akibat kekurangan dana. Padahal di sekitar lokasi pembangunan, berserakan para pemuda bertenaga. Tapi sayang, mereka lebih memilih menghabiskan waktunya bermain kartu daripada menyumbang tenaganya untuk kepentingan masyarakat. Tak ada uang!

Uang juga ternyata mengubah struktur sosial dan membentuk pengkastaan sosial yang baru. Bisa disaksikan, golongan bangsawan yang di masa lampau dihormati dan disegani, kini malah tersisih dari tengah masyarakat akibat persaingan yang keras. Gelar kebangsawanan kini terkesan hanya seperti nama biasa, kecuali si bangsawan masih mapan dari segi ekonomi. Contohnya, banyak penyandang gelar kebangsawanan yang terpaksa jadi pesuruh. Di sisi lain, orang-orang berduit membentuk kasta tersendiri nan eksklusif. 

Lebih lagi, uang ternyata mengubah nilai kesopanan dalam relasi sosial. Lihatlah fenomena ketika ada orang tua zaman sekarang dipandang sebelah mata, bahkan terhina, hanya akibat struktur sosial-ekonomi yang dibentuk oleh uang. Permisalannya, seorang direktur perusahaan yang masih muda, akan dinilai biasa saja jika tak berlaku sopan pada orang tuu yang kebetulan berprofesi sebagai petugas kebersihan kantor. Ironis, sebaliknya, si orang tualah yang jadi segan dan senantiasa memberi hormat pada pak direktur yang kebetulan memegang kuasa, dan tentunya punya setumpuk uang yang akan “dipercikkan” sedikit saja kepada si pak tua di setiap akhir bulan.

Jika kenyataan edan begitu, apakah uang yang salah? Tidak juga, sebab adanya uang sebenarnya ditujukan untuk memudahkan manusia dalam lalu luntas perekonomian. Juga untuk mengakomodir dan menyimpulkan tafsir keadilan tentang keseimbangan nilai barang/jasa dalam aktivitas jual-beli. Kehadiran uang adalah sesuatu yang diakui, disepakati, dan sulit untuk ditepiskan pada zaman globalisasi dan modern. Salahnya adalah, diri manusia sendiri yang berlebihan dalam menghargai uang. Ujung-ujungnya, kita lebih mengagung-agungkan uang dibandingkan kemanusiaan, yang notabene adalah salah satu sebab diciptakannya uang sebagai nilai tukar yang sah. 

Penting untuk direfleksikan kembali bahwa tanpa uang, kita bisa menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu, dibutuhkan sikap bijak untuk sadar bahwa uang bukanlah tujuan hidup. Uang hanyalah sarana. Tak ada salahnya jika menumpuk uang dengan cita-cita mulia, untuk memberi atau berbagi dengan orang lain nantinya. Yang salah adalah jika kita menganggap bahwa tanpa uang, kita tak dapat melakukan kebajikan. Rasa-rasanya, kita perlu belajar dari sejarah kehidupan nenek moyang kita, tantang bagaimana mereka hidup harmonis dan saling menghargai tanpa uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar