Nenek
moyang kita, beribu-ribu tahun yang lalu, tentu tidak pernah membayangkan
bagaimana peradaban masa kini. Banyak yang berubah. Sekarang, manusia tak lagi
hidup secara nomaden serta membentuk
komune. Tak perlu juga seperti zaman
dahulu, mengutamakan kesetiakawanan sosial untuk bertahan hidup ataupun meraih
kebahagiaan. Semua persoalan bisa dilakukan sendiri-sendiri. Setiap pemburu
nikmat duniawi cukup tega berlaku egois untuk mewujudkan mimpinya.
Kehidupan
memang tak lepas dari pergumulan. Keinginan untuk menjadi lebih dari yang lain
adalah perangsangnya. Kasta-kasta sosial elit, berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan
materiil pun, memacu sisi individualis jiwa manusia menjadi semakin liar. Rasa
malu pun menjadi tawar. Tak kuasa lagi nurani membendung nafsu kerakusan pada
sisi kebinatangan manusia. Demi kepentingan pribadinya, sebagian manusia tega mengobrak-abrik
keharmonisan sosialnya. Pertiakain karena persoalan harta benda dan perhiasan
hidup lainnya, telah menjadi fenomena. Konklusinya, pola hidup sejumlah manusia
saat ini adalah berlomba-lomba berjaya untuk “memperbudak” manusia lain.
Kita
tentu pernah belajar sejarah, dan mengetahui jika tempo dulu, manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya dari alam secara langsung. Saat itu, tumbuhan dan hewan memang
masih melimpahkan berkahnya. Namun seiring perilaku manusia yang tak berkawan
dengan alam, kebutuhan manusia, terutama pangan, pun jadi sulit didapatkan. Demi
bertahan hidup, manusia pun melakukan barter. Masyarakat dari kawasan dengan
karakteristik geografis berbeda, saling bertukar hasil potensi alam demi
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Sistem barter itu tentu dilatarbelakangi
naluri manusia yang saling membutuhkan, memiliki hasrat untuk membalas budi,
serta memiliki ketulusan untuk berkorban demi kepentingan orang lain.
Kehidupan
di masa barter menunjukkan bahwa setiap individu sadar memiliki peran dalam menjamin
tercukupinya kebutuhan masyarakat. Di masa itu, tak ada keinginan seorang
manusia untuk menguasai semua lapangan atau sumber-sumber hajat hidup orang
banyak. Setiap individu juga merasa menanggung beban moril untuk memberi kala
menerima sebuah pemberian. Tak ada yang lebih penting daripada tolong menolong.
Lebihnya lagi, mereka tak gemar memperkarakan tepat tidaknya keseimbangan barang
yang mereka barter. Semua dilandasi ketulusan. Tak heran jika kita pernah
mendengar kisah barter seekor kambing dengan beberapa karung beras, yang di
masa kini pasti dianggap tak adil. Mungkinkah suasana kemanusiaan itu terjadi
di masa modern ini?
Ujung
dari peradaban komunal yang sarat dengan keharmonisan sosial adalah ketika
masyarakat menyepakati alat tukar-menukar. Alasannya karena kebutuhan hidup
yang semakin kompleks, sehingga ada kemungkinan, sulit mempertemukan dua orang
yang siap membarterkan barangnya. Alasannya karena barang di satu pihak belum
tentu menjadi kebutuhan bagi pihak lainnya.
Merunut
sejarah, awalnya, yang disepakati sebagai alat tukar adalah kulit hewan, logam
mulia, dll. Ujungnya, di masa sekarang adalah uang. Nominal uang disepakati
merepresentasikan nilai kebutuhan pada sebuah barang. Uang pun dapat digunakan
untuk memperoleh barang atau menikmati jasa. Manusia akhirnya tak sadar dan berbuat
untuk turut dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Untuk makan, tak usah lagi
pusing-pusing bercocok tanam. Individu pun berjibaku menumpuk benda yang tak
dapat dimakan itu, tapi dapat ditukar dengan apa saja: uang. Parahnya, sejumlah
cara ditempuh, termasuk “mengembang-biakkannya” tanpa tetesan keringan sebutir
pun.
Mau
tak mau, kehadiran uang adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Itulah benda
ajaib yang dinilai menjadi jawaban atas dugaan ketidakseimbangan nilai barang saat
barteran. Karena kesepakatan bahwa nominal tertentu sebanding dengan barang
atau jasa dalam ukuran tertentu, orang tidak akan segan menukar barangnya dengan
selembar kertas. Namun ada masalah yang terabaikan tapi tak termungkiri, bahwa nilai-nilai
luhur sebelum uang ada ternyata ikut terdegradasi.
Di
zaman uang inilah lahir manusia pemalas yang sudi menabung uang hasil keringat
manusia lain. Mencuri uang untuk dilipatgandakan. Manusia menjadi perhitungan
dan tak ada kesadaran untuk berbakti tanpa balasan (baca: uang). Hilanglah
kebiasaan masyarakat untuk bahu-membahu dan bergotong royong demi kebaikan
bersama. Setiap gerak di ranah publik butuh perangsang berupa uang. Tak heran
jika didapati fenomena pembangunan fasilitas umum yang terhambat berpuluh-puluh
tahun akibat kekurangan dana. Padahal di sekitar lokasi pembangunan, berserakan
para pemuda bertenaga. Tapi sayang, mereka lebih memilih menghabiskan waktunya
bermain kartu daripada menyumbang tenaganya untuk kepentingan masyarakat. Tak ada
uang!
Uang
juga ternyata mengubah struktur sosial dan membentuk pengkastaan sosial yang
baru. Bisa disaksikan, golongan bangsawan yang di masa lampau dihormati dan
disegani, kini malah tersisih dari tengah masyarakat akibat persaingan yang
keras. Gelar kebangsawanan kini terkesan hanya seperti nama biasa, kecuali si
bangsawan masih mapan dari segi ekonomi. Contohnya, banyak penyandang gelar
kebangsawanan yang terpaksa jadi pesuruh. Di sisi lain, orang-orang berduit
membentuk kasta tersendiri nan eksklusif.
Lebih
lagi, uang ternyata mengubah nilai kesopanan dalam relasi sosial. Lihatlah
fenomena ketika ada orang tua zaman sekarang dipandang sebelah mata, bahkan
terhina, hanya akibat struktur sosial-ekonomi yang dibentuk oleh uang.
Permisalannya, seorang direktur perusahaan yang masih muda, akan dinilai biasa
saja jika tak berlaku sopan pada orang tuu yang kebetulan berprofesi sebagai
petugas kebersihan kantor. Ironis, sebaliknya, si orang tualah yang jadi segan
dan senantiasa memberi hormat pada pak direktur yang kebetulan memegang kuasa,
dan tentunya punya setumpuk uang yang akan “dipercikkan” sedikit saja kepada si
pak tua di setiap akhir bulan.
Jika
kenyataan edan begitu, apakah uang yang salah? Tidak juga, sebab adanya uang
sebenarnya ditujukan untuk memudahkan manusia dalam lalu luntas perekonomian.
Juga untuk mengakomodir dan menyimpulkan tafsir keadilan tentang keseimbangan
nilai barang/jasa dalam aktivitas jual-beli. Kehadiran uang adalah sesuatu yang
diakui, disepakati, dan sulit untuk ditepiskan pada zaman globalisasi dan modern.
Salahnya adalah, diri manusia sendiri yang berlebihan dalam menghargai uang. Ujung-ujungnya,
kita lebih mengagung-agungkan uang dibandingkan kemanusiaan, yang notabene adalah salah satu sebab diciptakannya
uang sebagai nilai tukar yang sah.
Penting
untuk direfleksikan kembali bahwa tanpa uang, kita bisa menjadi manusia seutuhnya.
Untuk itu, dibutuhkan sikap bijak untuk sadar bahwa uang bukanlah tujuan hidup.
Uang hanyalah sarana. Tak ada salahnya jika menumpuk uang dengan cita-cita
mulia, untuk memberi atau berbagi dengan orang lain nantinya. Yang salah adalah
jika kita menganggap bahwa tanpa uang, kita tak dapat melakukan kebajikan. Rasa-rasanya,
kita perlu belajar dari sejarah kehidupan nenek moyang kita, tantang bagaimana
mereka hidup harmonis dan saling menghargai tanpa uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar