Kesan
pertama memang sulit dilupakan. Yang kedua atau seterusnya, hanya akan
mengingatkan kembali terhadap kesan pertama yang tak terkalahkan. Sekadar
pembanding tak sebanding. Begitu juga tentang awal kisah kita. Kaulah yang
pertama kali menimbulkan kesan ambigu di jiwaku. Sebuah perasaan yang inginnya
kuabaikan, tetapi selalu saja terindukan. Layaknya bermain di dunia fantasi, menegangkan
tetapi enggan untuk mengakhiri. Kuharap kesan itu abadi.
Dari
sepuluh tahun lalu mulanya. Tepatnya ketika kita masih di kelas dua SMA. Saat
itu, seusia kita lazimnya bersikap polos dan tak enggan mengumbar perasaannya.
Tapi tidak bagimu, Lika, siswi pindahan, wanita pendiam yang selalu membuatku
penasaran. Cantikmu tak cukup digambarkan dengan kata-kata. Kau pun hemat
berkata-kata. Seakan takut jatah durasi bicaramu habis dan kau jadi bisu. Namun
kau perlu tahu, aku lelaki “bermodal” yang tak ada ruginya jual mahal. Tak
akanlah aku kalah jutek.
Semua
serba menerka-nerka. Entah bagaimana suasana hatimu ketika seisi kelas iseng
menjodoh-jodohkan kita. Itu sering terjadi. Tapi palingan kau mendecakkan
bibir, menopang kembali dagu, lalu menyorot bacaanmu. Kau tak pernah mengelak
dan membela diri secara berlebihan. Sikap biasa seperti itu membuatmu sangat
sulit dibaca. Aku pasrah. Biarlah kita diam-diam begini saja. Tak perlu tahu
tentang perasaan masing-masing. Selamanya!
Yang
paling menjengkelkan, kau tak sedikitpun memberikan penghargaan padaku, lelaki
paling tenar di sekolah waktu itu. Seorang vokalis band terkenal yang dengan
mudah saja meluluhkan hati wanita jika mau. Hingga puncaknya terjadi ketika
sekolah kita menyelenggarakan porseni dan bandku akhirnya menjadi pemenangnya.
Kutahu, saat penampilanku di babak final, kau hanya berdiam di kelas dan
membaca komikmu yang tak penting.
Akhirnya
waktu membawa kita di awal sebuah bencana. Satu momen berkesan yang membuat
rasa penasaranku seperti kuis teka-teki silang, terjadi. Waktu itu masih jam
pelajaran. Namun lagi-lagi, guru pelajaran tak datang. Alasannya ada rapat.
Kuhabiskanlah waktuku di kantin sekolah. Apalagi aku tak sempat mengisi perut
saat waktu istirahat. Sehabis makan semangkuk bakso, kuteguk sedikit demi
sedikit air minumku sambil memandangi para tukang batu yang mulai membangun
gedung-gedung bertingkat di sekeliling gedung sekolah kita. Jadinya, pohon-pohon
rindang pun dibabat habis. Tak akan bisa lagi kuperhatikan kau duduk pada
bangku di bawah pohon rindang, menyendiri dengan buku-bukumu, tanpa kau sadari.
“Boleh
duduk di sini?” sapa suara sendu. Seperti tak asing. Ya, itu suara kau, Lika,
si wanita misterius. Aku mendadak kikuk. Seperti tiba-tiba kejatuhan
bintang-bintang. Perasaanku seperti gado-gado, campur aduk. Kusilangkan kakiku
yang berselonjoran agar tak terlihat gemetaran. Kubalas tanyamu dengan anggukan
semasih air di mulutku membusungkan pipi. Aku takut salah berucap dan membuat
wibawaku keok.
Kau
hanya meluruskan pandanganmu saat kucoba menatap bola matamu. Mungkin kau
mencari bangkumu yang telah sirna di depan sana. Aku pun sigap buang muka saat
kau berbalik padaku. Kita hanya berbagi pipi. Suasana memang seperti tak
mendukung. Pastinya salah besar jika memperbincangkan pembangunan gedung ruko
yang melenyapkan perpustakaan privatmu. Kau akan tahu betapa gugupnya aku jika
membahas itu, sebab itu perihal yang istimewa tentangmu. Gengsi pun membuat suasana bertahan senyap. Enggan kupertanyakan
masalah personal. Akhirnya, berlalu tiga menit tanpa kata. Bunyi krek lemparan kaleng minumanmu ke tempat
sampah menjadi penanda perpisahan kita di ruang hampa saat itu. Tak ada
perbincangan. Peristiwa itu membuatku menyesal menjadi laki-laki yang dituntut
harus memulai lebih dulu.
Kau
benar-benar berlalu. Meski sejujurnya aku suka lebih lama dalam suasana tegang
seperti itu. Tapi ternyata, kejutan hari itu belum selesai. Kau lupa membawa buku
cacatanmu di sampingku. Aku terpaksa berpikir keras lagi, bagaimana menyikapi dampak
tulalitmu itu. Tak mungkin aku sekonyong-konyong masuk ke dalam kelas,
menghampirimu jauh di sudut belakang ruang, lalu menyerahkan buku itu sambil
tersenyum dan banyak cakap. Entah bagaimana riuhnya kelas jika itu kulakukan.
Dan yang paling utama: gengsi! Akhirnya kuselipkan bukumu itu dalam bajuku,
kumasuki kelas, lalu kususupkan dalam tasku. Aku berniat membawanya untuk sehari
saja. Pasti akan kukembali juga kepadamu. Tentu dengan cara yang tidak
merendahkan harga diriku, ataupun kau.
Di
masa penyanderaan buku risalahmu itu, rasa penasaran membuatku begitu bernafsu mengorek
isinya secara teliti. Apakah yang selama ini kau tulis kala semua teman sekelas
kita bertebaran saat jam istirahat, sedang kau hanya mencoret-coret bukumu?
Langsung saja kusorot lembar demi lembar tulisanmu di kamar sunyiku saat malam
telah larut. Berharap ada rahasia pribadimu yang kutahu sebelum terlelap,
sehingga wajar kuyakini bahwa sia-sia saja kau bersikap sok jaim padaku. Ya,
tentang bagaimana perasaanmu. Betapa bersyukurnya aku. Terkejut juga, ternyata
itu adalah buku diary-mu. Suasananya semakin menegangkan. Rahasiamu mulai terkuak.
Tapi yang terpenting adalah goresanmu di lembaran terakhir.
“Sejak aku pindah ke sekolah baruku
ini, aku merasa akan biasa saja seperti sekolah lamaku dulu. Membosankan. Tapi
ternyata suasananya berbeda kali ini. Lebih menyenangkan tentunya. Apalagi
sekitar tiga bulan yang lalu, kutemukan sosok yang selama ini memaksa untuk
kumimpikan. Ya, lelaki yang humoris dan akrab dengan semua teman sekelasku.
Tapi kecuali terhadapku. Entah kenapa.
Dia terlihat rendah hati dan
tak sok. Kuakui, dia orang yang menarik dan cerdas. Ia juga piawai bermusik dan melukis. Bermodal besar untuk meluluhkan hati wanita labil yang
ia inginkan. Tapi selama ini, aku tak pernah melihatnya dekat lebih dari teman dengan
seorang wanita pun. Di akun media sosialnya, aku juga tak pernah melihat ia
bergenit-genitan dengan lawan jenisnya. Mudah-mudahan saja ia tak kelainan.
Terus terang aku segan padanya.
Apalagi karena teman sekelasku sering menyoraki nama kami berdua, sedang ia tak
ada respons berarti. Mustahil aku memulai. Tapi melenyapakan kekaguman ini juga
sepertinya tak akan. Mungkin karena
harapan berlebih-lebihan yang kupendam dan menumpuk-numpuk. Kendala terbesarnya
adalah aku tak percaya diri. Kusadari, dari banyak wanita yang menginginkannya,
mungkin aku menjadi yang paling tak berharga jika dilakukan penjurian. Dia layak
disebut artis top. Sedangkan aku hanyalah penggemar rahasia. Tapi biarlah. Akan
tetap kujaga harapan ini, sampai benar-benar diruntuhkan olehnya dan aku
diharamkan berharap. Ya, ketika ia mengikrarkan pilihannya pada hati yang
lain.”
Kau
tak menulis kata Abam, namaku. Tapi berdasarkan ciri-ciri yang kau tuliskan,
sepertinya tak menyesatkan jika aku merasa pantas memimpikanmu. Kesimpulannya: kita
saling mengidamkan secara diam-diam.
Keesokan
harinya, kuserahkan buku itu pada teman sebangkumu, Lia. Kumohon padanya untuk
menyerahkan buku itu padamu tanpa mengatakan akulah yang menemukannya. Kuminta
padanya untuk mengatakan pegawai pembersih sekolahlah yang menemukannya.
***
Kita
tetap saling menyimpan rasa yang sama hingga empat tahun kemudian berjalan. Tak
terasa. Kini kita telah menjadi mahasiswa dan duduk di semester IV. Lagi-lagi,
kita satu fakultas di sebuah kampus. Entah minat kita memang sama atau kau
sengaja membututiku. Jika aku punya keberanian berbicara padamu, akan kutegaskan
bahwa sudah seharusnya engkau menganggap tentang perasaan kita di bangku
sekolah hanyalah wujud jiwa labil anak muda. Kita telah dewasa dan tak seharusnya
menggingat-ingat cerita cengeng itu lagi. Masa depan kita lebih penting. Tapi
sudahlah, aku saja tak bisa melupakan kesan pertama itu. Bagaimana denganmu
yang kutahu pasti perasaanmu dahulu?
Sepertinya
pertempuran batin kita tak akan berkesudahan. Masih sama-sama pura-pura lupa
pernah sekelas di sekolah dulu. Tak bisa mencair. Bisanya kita saling melirik,
atau paling banternya saling lemparan senyuman saat terpaksa berpapasan.
Bernostalgia tentang masa lalu di kelas sepertinya tak mungkin. Kenangan apa
yang akan diulas kembali? Tapi syukurlah, waktu-waktu tak memenjarakan kita
dalam satu ruang yang sama, seperti di sekolah dahulu. Pergaulan kita berbeda. Aku
dengan sesama pecandu seni, sedangkan kau masih gemar berkutat dengan
huruf-huruf.
Kurasa
hitungan empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengabaikan kemungkinan
ketertarikan terhadap lawan jenis. Kurasa kau setuju denganku. Terus terang,
karena kodratku sebagai lelaki, sering juga wajah manis lukisan Tuhan membuatku
tertarik. Tapi tak pernah sekalipun terucap. Juga lekas hilang dan
berganti-ganti untuk waktu yang singkat. Mungkin itu tepatnya disebut suka.
Aku
masih yakin cintaku telah terikat olehmu bertahun-tahun yang lalu. Perhatianku
terperangkap di kesan pertama itu. Tentang rangkaian huruf yang membuatku
merasa beralasan merindukan masa depan bersamamu. Seperti yang pernah
kutuliskan di tepi lukisanku pada selembar kertas yang hilang: “Bertahanlah hingga waktunya ia menyatakan cinta sejati itu.” Entah
bagaimana denganmu. Yang kutahu, kau juga tak pernah akrab dengan lelaki secara
mencurigakan. Kecuali dengan teman-temanmu yang agak keibu-ibuan.
Waktu
seperti merangkak, hingga datanglah hari di mana bayang-bayang masa lalu kita seperti
hidup kembali. Seusai organisasiku mengadakan pameran lukisan, coba kubaca satu
per satu lembaran berisi komentar dari para mengunjung. Kurasa, bertahun-tahun
berimajinasi dengan tinta dan kanvas, lukisanku pasti mendapatkan banyak
sanjungan. Setelah menyela-nyela sejumlah komentar pendek, aku menjadi tertarik
pada sebuah komentar yang lumayan panjang. Kuingat lagi bentuk tulisan di diary
empat tahun lalu. Ya, milikmu! Semoga aku tak salah menduga.
“Aku tahu kau berbakat melukis
sejak empat tahun yang lalu. Teruslah berkarya. Semoga beberapa tahun ke depan
semua menjadi nyata, bukan lagi sekadar imajinasi.”
Sudah
bukan salahku lagi jika menduga-duga sang penulis adalah kau. Tapi aku masih
tak mengerti makna kalimat terakhir yang kau tuliskan.
Dua
tahun selanjutnya, tepat menjelang hari wisuda kita yang bertepatan lagi, kau
membuatku berpikir untuk membakar lembar-lembar kenangan. Tepat di depanku, kau
berlagak sangat romantis dengan seorang lelaki saat berjalan di trotoar gedung
rektorat kampus. Begitu dekat. Seketika itu, tampakanmu yang cuek kuanggap
sebagai muslihat belaka. Dasar munafik!
Tepat
di hari wisuda setelahnya, aku tak ingin mencarimu lagi. Walaupun kutahu
mungkin itu adalah perjumpaan kita terakhir kalinya. Malam ramah tamah juga
kulewatkan. Padahal sebelumnya telah kurancang untuk membuat kesan terakhir di
malam itu bersamamu.
Hari-hari
selanjutnya adalah waktu untuk menghapus jejakmu. Tapi sial! Melupakanmu dengan
keterpaksaan, sama saja dengan mengingat, namun dengan rasa benci. Begitu
meresahkan. Mungkin sebaiknya kusahabati saja kenangan yang mustahil
terlupakan. Tak ada gunanya terus-terusan membenci. Sepertinya, hanya dengan
mendapatkan sosok pengganti yang akan mengukir lembaran baru di memoriku,
tulisan tentangmu akan memudar. Walau kutahu, lembaran yang terukir sejak enam
tahun mengenalmu, tidaklah sedikit.
Setahun
berselang setelah kucoba melupakanmu, aku tak juga mampu melupakan tentang
kesan pertama. Hingga kudapat keterangan yang membuatku harus mengingat-ingat
kembali lembaran-lembaran yang mulai buram dengan kesibukanku sebagai pekerja
di sebuah perusahaan pers. Ya, aku kini menjadi kartunis untuk sebuah koran
harian. Aku baru pindah kerja. Di perusahaan itu pula, aku bertemu dan akrab
dengan redakturku yang menangani rubrik opini. Aku belum lupa wajah lelaki yang
kudoakan mati itu.
“Hai
Abam, namaku Agi, redakturmu di sini,” sapanya sok akrab sambil menjulurkan
tangannya.
Terpaksa,
sebagai pekerja baru, aku harus berlaku seperti anak manis. Kulemparkan
senyuman terpaksa padanya, lalu menjabat tangannya yang mencengkeram kuat.
“Kamu
lulusan dari mana?” serangnya lagi.
“Aku
lulusan Fakultas Sastra Universitas Bandar, angkatan 2011,” balasku tanpa
bertanya ulang. Aku ingin percakapan tak penting untuk waktu kali ini cepat
berakhir.
“Oh,
berarti kamu kenal dengan adikku, Ralika Sezaria Munaf?” balasnya sambil menepuk punggungku.
Ternyata?
Otot-otot wajahku meregang seketika. Aku mulai bisa bertingkah biasa dengan
emosi yang perlahan normal. “Iya, aku kenal. Dia tak pernah menceritakan kalau dia
punya kakak yang tampan. Mungkin karena kami memang tak terlalu akrab,”
candaku. “Ngomong-ngomong, Lika sekarang di mana?”
“Dia
sekarang di Australia. Sedang menempuh studi lanjutan. Mungkin tak lebih dari
dua tahun lagi dia akan kembali ke Indonesia,” jawabnya.
Ternyata
selama ini aku salah sangka. Aku masih pantas berharap sehidup denganmu.
***
Sekitar
dua tahun setelah kudapat penjelasan bahwa lelaki itu hanyalah kakakmu,
tepatnya hari ini, adalah tiga hari setelah kunyatakan cintaku. Setelah 10
tahun yang lalu kesan pertama itu tercipta, kini kita telah disatukan dengan
cinta yang sebenarnya, dalam ikatan pernikahan. Saat ini kita sedang berayun,
di beranda lantai dua rumah baru kita yang sederhana. Kau tepat di sampingku.
Kita saling menarik dan menggoyangkan ayunan untuk menabrak-nabrak angin.
Berbaring menatap bulan dan ribuan bintang di langit cerah. Sesekali bangkit
dan memandang bebukitan di seberang. Di bawah langit, kita saling bergenggaman.
Indahnya waktu. Datang rasaku ingin bernostalgia, tentang bagaimana rasa suka
kita bisa bertahan lama hingga berujung pada cinta sejati.
“Kau
ingat masa lalu kita? Sebelum kau menghampiriku di kantin sekolah, lama
sebelumnya kau pasti sudah mengidamkan aku kan? Kau hebat juga, bisa
memendam perasaanmu hingga sepuluh tahun lamanya. Kenapa kau tak mengaku saja
sejak kita masih sekelas? Sok jual mahal!” pancingku, sembari tertawa meledek.
Kau
sontak meninju lenganku. Mengempiskan pipimu yang dari tadi
dikembung-kembungkan. “Enak saja. Kaulah yang seharusnya mengaku duluan.
Lagian, kau juga yang lebih dulu suka padaku,” sangkalmu, lalu mengalihkan
pandangan ke arah bulan.
“Tuduhan tak berdasar. Jelas saja kau suka padaku lebih dulu. Apa kau mau
mengatakan kalau bahasa polos yang kau tulis di diary-mu bukan kejujuran. Kau
kira aku tak tahu? Akui saja!” balasku seperti mengejek, sambil tertawa panjang.
Kau
sontak menarik tanganmu yang kugenggam. Mengangkatnya ke atas sambil terkepal.
Menggoyang-goyangkannya, seperti tanda kemenangan. “Ternyata kau mudah
tertipu. Saat itu, aku sengaja meninggalkan diary-ku di sampingmu. Aku yakin
rasa penasaran akan membuatmu membawanya, mengutak-atiknya, lalu mencari
ungkapanku seperti yang kau damba-dambakan. Kau kira aku tak tahu kalau kau
yang membawanya. Lia, teman akrabku itu yang mengatakannya padaku. Dasar!”
Aku
merasa terperangkap, tapi aku tak mau mengalah. “Kau menjebak dirimu sendiri. Berarti kamu yang
suka duluan sama aku. Buktinya, kau menuliskan perasaanmu di diary tanpa pernah
kau tahu aku suka padamu atau tidak?” sanggahku. Aku tak akan kehabisan
argumentasi!
Aneh,
kau hanya berdecak-decak sambil menggeleng-gelengkan kepalamu. Seperti tembakanku
meleset saja. Padahal kurasa kau bak tertangkap basah. Sambil menyun-manyun,
kau berceloteh lagi, “Lagi-lagi kau mengakui kelemahanmu. Mengaku kalah saja!
Kau kira aku tak tahu kau pernah melukis wajahku di selembar kertas disertai
tulisan lebay-mu: ‘Untuk wajah sejuta bintang di balik
mendung, jangan merasa sendiri di pojok ruangan. Ada seseorang yang berharap
kau jatuh di pelukannya. Tunggulah 10 tahun ke depan, ketika roketnya telah
siap menembus awan, biarkan ia menghampiri dan memasangkan cincin di jari
manismu. Bertahanlah hingga waktunya
ia menyatakan cinta sejati itu.’ Dio,
teman sebangkumu yang mencurinya di laci mejamu dan memberikannya kepadaku
melalui Lia. Karena itu juga, teman sekelas menjodoh-jodohkan kita. Ayolah,
minta ampun saja. Aku tak akan menganggap itu aibmu,” balasmu dengan mimik yang
sangat meremehkan.
Aku
seperti kehabisan peluru. Memang sulit untuk mengakui kekalahan. “Baiklah, aku
mengaku kalah untuk sementara waktu. Walaupun sulit saja untuk membuktikan
bahwa kau yang lebih dulu memendam perasaan padaku. Apa aku harus bersujud?”
Kau
nampak kegirangan. Jika begitu, aku tak rugi mengaku kalah. Baru kali ini kulihat
senyummu yang paling manis. Sangat tulus. “Tapi kenapa juga kau tak pernah
mencari sosok penghibur selama 10 tahun berjalan. Atau memang tak ada yang sudi
mendampingimu?” tanyamu.
“Entahlah,
aku yakin saja bahwa kaulah jodohku. Kau seperti tercipta untuk kurindukan
menjadi pasangan hidupku. Aku juga tak ingin mengotori memoriku. Jika bukan
tentang kau, kubiarkan saja kekosongan melandaku di antara waktu-waktu
penantian selama sepuluh tahun itu. Aku tak ingin dalam kenanganku, kau punya
pembanding yang akan membuatku lebih cinta kepada kenangan daripada kau,
walaupun kita akhirnya tetap menikah. Ada bagian memoriku yang merekam tentang lawan
jenis, dan kupikir sebaiknya terisi satu wajah saja. Itu kamu, nona manis!”
jujurku, lalu memetik dagumu.
“Dasar
gombal! Terus, apa kamu tak terluka saat kugandeng tangan kakakku di pelataran
rektorat kampus, sehari sebelum wisuda? Padahal aku tahu kau di belakangku
waktu itu,” tanyamu lagi. Seperti masih berhasrat menyerang.
“Apa?
Kamu memang keterlaluan. Hampir saja gara-gara itu aku tak jadi menikahimu. Kurang ajar!” balasku polos. Sudah terlanjur juga aku kalah. “Kau sendiri
kenapa bisa bertahan selama itu?”
Kau
terdiam untuk beberapa detik. Sepertinya kau sudah kelelahan melampiaskan
tawamu. Aku berbalik ke samping menatapmu. Wajahmu terlihat tenang, terbasuh
sinar rembulan. “Aku sama sepertimu. Kau telah mengikat hatiku waktu itu.
Kurasa kaulah cintaku sesungguhnya. Selalu kudambakan kita terlahir untuk
dipasangkan bersama. Aku pegang waktu 10 tahun yang kau janjikan. Selama kau
tak memulai untuk berpaling ke lain hati, aku tak akan melakukannya juga. Terus
terang, sebelum aku ke Australia, aku telah relakan kalau kau ingin menambatkan hatimu ke yang lain. Kurasa dua tahun tanpa saling berbagi kabar
adalah waktu yang sangat membunuh. Tapi nyatanya, kau masih juga mejaga
perasaanmu seperti pertama kali aku tahu. Terima kasih telah menjaga hatimu
untuku,” balasmu, seperti berat kau untuk mengungkapkannya. Terdengar
terbata-bata. Seperti mendung di pelupuk matamu.
Jiwaku
bergetar. Kuharap kau merasakannya. Tiba-tiba aku seperti jatuh cinta kembali.
Lebih dari saat kesan pertama itu bermula. Kugenggan tanganmu yang dingin.
Kutarik. Tanda pintaku agar kau bangun dari baringmu. Dan semuanya terjadi
lagi. Kita saat ini tengah berhadapan di atas dua ayunan tali yang terpisah
jarak semeter. Jika hanya pipimu yang kutatap 10 tahun lalu di kantin, kini aku
bisa menatap jelas wajah manismu seluruhnya.
“Lika,
maukah kau jadi pacarku?” kataku.
Kau
hanya tertunduk. Mengusapkan kedua telapak tanganmu di mata. Kau terisak sambil
tersenyum, lalu terjatuh di bahuku. Kini benar, kaulah bintang yang dulu
kuharap jatuh di pelukanku. Ada kata yang terbenam harumu. Kupastikan itu
adalah jawaban yang membuatku menjadi lelaki paling beruntung di dunia.
Teruslah menangis nona manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar