Kita
sudah terlalu dekat, dan aku tak suka keadaan itu. Aku takut kau benar-benar
memasrahkan perasaanmu padaku, sedang aku masih saja ogah mengiyakan atau
menolaknya. Aku tak ingin kau merasa digantungkan oleh perasaanmu sendiri, lalu
aku mengutuk diriku sendiri, padahal aku tak melakukan kesalahan apa-apa.
Demi
kita, aku mengambil jalan tengah. Kutempuh cara untuk membuat hubungan kita
terasa tawar. Sedikit pun, aku tak ingin menunjukkan gelagat perasaanku padamu.
Perlahan, dengan begitu, kau akan bosan sendiri, lalu memupuskan harapanmu
padaku.
Dan
kulihat, rencanaku berjalan baik. Mungkin karena kau gerah sendiri melihat
sikapku yang biasa saja, kau pun mulai bertanya tentang arah perasaanku. Tanpa
sadar, kau telah membuka jalan bagiku untuk membunuh mimpi-mimpimu sekalian.
“Apa
kau tak berhasrat mengikat hati seorang perempuan?” tanyamu, saat kita berjalan
beriringan, sepulang dari kampus, sebagaimana pintamu selalu.
Aku
pura-pura terheran, seakan-akan tak tahu maksud hatimu. “Entahlah. Tapi untuk
sekarang, tidak dulu.”
Kau
tampak kecewa dengan jawabanku. Seakan ketakutan jika jalan perasaanmu menuju
hatiku, tertutup sudah. “Kenapa?” suaramu tertahan sejenak, “Apa karena sosok
perempuan yang sedari dulu mengikat perasaanmu?”
Beberapa
saat, aku berusaha mencerna maksud pertanyaanmu. Dan aku ingat, suatu hari, aku
pernah mengatakan padamu, kalau aku mendambakan sesosok wanita yang masih
kurahasiakan. “Tidak juga. Bukan karena siapa-siapa. Aku hanya merasa belum siap
dan belum pantas mencintai seorang perempuan mana pun. Tapi, jika kelak datang
waktunya, aku tetap mendambakan sosok wanita sepertinya. Sosok wanita yang
tiada duanya.”
Kau
terlihat merengut mendengar pujianku untuknya. “Bukankah sebaiknya kau membuka
hati pada perempuan yang lain?”
“Sepertinya
itu tak mudah. Tak akan ada wanita yang bisa sepertinya,” balasku, sambil
menyelaraskan langkahku dengan langkahmu yang tiba-tiba menggerumit.
“Memangnya,
dia sosok yang bagaimana?” tanyamu lagi.
“Dia
wanita yang pendiam, tertutup, sampai membuatku selalu penasaran,” jelasku,
kemudian menoleh padamu sekilas. Hanya sekilas. Aku tak ingin memberimu kesan
apa-apa lagi, meski itu sekadar isyarat mata sekali pun. “Aku sendiri tak tahu,
kenapa aku menyukai sosok wanita sepertinya.”
Kau
tampak menekur. Seperti kebingungan menyusun kata-kata. “Tapi bukankah dia
telah pergi meninggalkanmu?”
Aku
berdeham. “Kami memang berjarak. Terpisah ruang dan waktu. Tapi karena itulah,
aku tak bisa lepas darinya. Selalu ada harapan yang membuatku tak bisa
melupakannya. Dan dengan doalah, aku yakin itu akan jadi kenyataan.”
Mulutmu
seperti tersekat mendengar penegasanku. Di wajahmu, kulihat satu senyuman
merekah terpaksa. Tapi di baliknya, aku melihat kegetiran.
Dan
keesokan harinya setelah obrolan kita tentang sosok perempuan rahasiaku, kau
pun jadi jarang kujumpai. Kau melanglang entah ke mana. Tapi satu kali, aku
melihatmu tertunduk kala berpapasan denganku. Hingga di waktu selanjutnya, kau
bernar-benar menghilang dari pengindraanku.
Kini
aku kembali bertanya pada diriku sendiri, mungkinkah kau telah menjadi seperti
sosok wanita yang kumaksud? Apakah kau telah menjadi sosok wanita pendiam,
tertutup, dan berjarak dengan laki-laki, temasuk padaku? Entahlah.
Dan
hari ini, dua tahun setelah kau menghilang dari pandanganku, bersembunyi dari
jamahan indra para lelaki, aku mendengar kabar bahwa kau telah dipersunting
oleh seorang lelaki, sosok yang menjadi prototipe kepribadianku di masa
depan. Kau telah menemukan pasangan yang sepadan denganmu.
Di
sini, aku masih saja seperti dulu. Aku tetaplah seorang lelaki biasa yang
sejujurnya menyukai sosokmu di masa lalu, meski mencita-citakan sosokmu di masa
depan. Tapi karena harapanku tak mungkin lagi tentang dirimu, maka aku pun masih
tersandera di antara ruang dan waktu, dengan sesosok perempuan rekaan yang
pernah kuceritakan padamu, entah siapa, nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar