Malam
itu, aku dilanda kekalutan. Aku diserang rasa tak keruan yang sebabnya entah
apa. Hanya hampa terasa. Aku gelisah tanpa menunggu kabar apa-apa. Aku marah
tanpa membenci siapa-siapa. Aku kesepian tanpa tahu bagaimana bisa. Atas itu,
aku bingung sendiri, bagaimana cara mengatasinya. Tapi kuduga, mungkin aku cuma
butuh sedikit hiburan.
Tanpa
pikir panjang, kuputuskanlah untuk berkunjung ke sebuah pementasan musik
seorang diri. Kurasa itu tepat, sebab konser itu akan menampilkan band
favoritku juga, Gigi. Terlebih lagi, aku terlanjur memiliki tiket. Sebuah
tiket yang terpaksa kubeli dari sahabatku sendiri yang batal menunaikan hasratnya malam
itu, karena terkendala urusan penting.
Bersama kegalauan yang sangat, aku pun menyusuri jalan-jalan kota dengan sepeda
motor bututku. Aku pergi sambil berharap menemukan kedamaian di sana. Tapi kenyataan
tak selalu seindah rencana. Baru saja berangkat, aku sudah terpasung di tengah jalan yang sesak. Kendaraan berjejal entah hendak ke mana.
Macet pun berkepanjangan, dan aku harus sabar.
Akhirnya, dengan kejelian memanfaatkan ruang kosong di tengah waktu yang memburu, aku pun sampai dengan balutan peluh. Aku terlambat.
Akhirnya, dengan kejelian memanfaatkan ruang kosong di tengah waktu yang memburu, aku pun sampai dengan balutan peluh. Aku terlambat.
Kuparkirkan
sepeda motorku segera.
Seketika,
terdengarlah lagu Nirwana tengah didendangkan Arman Maulana Cs. Tak ingin
kehabisan lagu, kupercepat langkahku mendekat ke lokasi pementasan. Jelas, aku
ingin bersuara untuk satu lagu terbaik itu. Tapi belum juga sampai di gerbang
pemeriksaan, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada satu tiket yang nyaris
saja kutapaki.
Setelah
memungut dan mengantongi tiket yang entah siapa pemiliknya itu, aku kembali
bergegas dengan setengah berlari. Tak lama kemudian, aku tiba di depan
gerbang dengan napas yang tersengal-sengal. Segera saja kupersiapkan tiketku
sembari mengantre, menunggu tiga orang di depanku selesai diproses.
Sambil menunggu giliran, kuarahkan pandanganku ke segala arah. Aku bermaksud menemukan
kalau-kalau ada seseorang yang kelimpungan mencari tiketnya. Dan benar saja, aku
melihat seorang gadis di sampingku tampak berdiskusi dengan petugas.
Sayup-sayup kudengar, ia memohon agar diperbolehkan masuk tanpa tiket.
Dengan
terpaksa, aku keluar dari baris antrean, lalu menghampiri gadis itu. “Revita
Riona?”
Gadis
itu lalu berbalik, seakan nama yang kueja di balik tiket, benar-benar
namanya.
“Kau
kehilangan tiketmu kan?” tanyaku, sambil menyodorkan tiket yang kutemukan
sebelumnya.
Ia
diam, tertegun, seakan melihat sesosok malaikat penyelamat berdiri di depannya. Dan setelah mengamati satu tiket yang kuulurkan, senyuman manis
pun, merekah di wajahnya.
“Aku mendapatkannya di sana, tadi, di jalan
masuk ke sini,” jelasku, sembari balas tersenyum.
Matanya tampak berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya, dengan senyuman yang
mengembang makin sempurna.
Aku
mengangguk saja.
Seusai
sesi kejutan itu, aku dan dia, lalu menuju gerbang pemeriksaan. Di sana, tak ada lagi
antrean. Maka tanpa perlu menunggu lama, kami pun masuk ke lapangan pementasan.
Kami berjalan beriringan, menuju depan panggung. Dan entah bagaimana, langkah
kami, sama-sama melambat. Pada momen itulah, di langit-langit udara, mengalun
lagu 11 Januari; sebuah lagu yang tepat menggambarkan waktu pertemuan kami hari
itu: 11 Januari.
“Kamu
sendiri ke sini?” Ia bertanya, tanpa lebih dulu bertanya tentang siapa namaku.
Aku
mengangguk. “Tak ada yang bisa kuajak,” kataku, sedikit gugup, bermaksud menyampaikan kesediaanku kalau-kalau ia bersedia menemaniku menonton konser sampai selesai. Tapi akhirnya, aku sadar, itu terlalu polos. Maka segera
kutimpali dengan kalimat yang ternyata tak lebih baik untuk menutupi
kegalauanku, “Lagi pula, aku memang lebih suka sendiri. Maksudku, aku karakter
lelaki penyendiri.”
Dia tergelak.
“Kau
sendiri?” Aku bertanya, tanpa kuasa memandang sorot matanya yang tajam.
Seketika, ia
tertunduk, seperti berusaha mencari
kalimat balasan yang tepat. “Aku ada janji bertemu dengan seseorang di sini. Mungkin sedari tadi,
dia menungguku,” katanya, lalu menoleh sejenak padaku, melemparkan satu
senyuman lagi.
Dan
tak berselang lama, seorang dari jarak yang tak terlalu jauh, tampak melambaikan
tangan ke arah kami. Seketika aku tahu, ia bermaksud memberikan isyarat pada
wanita di sampingku.
“Itu
dia,” katanya, dengan raut wajah yang terlihat begitu senang. “Aku pergi dulu
ya!”
Tiba-tiba, muncul kekecewaan yang mendalam di hatiku, menyaksikan ia pergi untuk seseorang. Tapi aku tak bisa apa-apa.
Dengan terburu-buru, ia melangkah ke arah lain. Setengah berlari. Lalu, sejenak, langkahnya
terhenti, lalu berbalik padaku, “Hai, kamu! Terima kasih sekali lagi!” serunya, kemudian memunggungiku kembali, dan tak mengacuhkanku lagi.
Sikapnya itu, membuatku dilema. Lidahku kelu. Entah kenapa, aku tak mampu membalasnya
dengan kata-kata apa pun, meski berjuta rasa ingin kuteriakkan ke arahnya. Aku seumpama sosok yang baru saja bertemu dengan mantan kekasih, yang pergi meninggalkan luka.
Di
tengah keguncangan hati, beruntung, akal sehat masih menuntunku berlaku
sewajarnya. Demi menjaga perasaanku, juga untuk tidak mengganggu ketenteramannya dengan
seorang lelaki yang ia sebut teman, maka kupilih menuju sisi yang berlawanan darinya.
Dalam
keheninganku sendiri, terdengarlah lagu Kembalilah Kasih. Aku meresapinya
begitu dalam, seakan-akan, aku baru saja ditinggal pergi seorang kekasih. Tak
sampai lima menit, lagu Jomblo yang mengalun. Untuk satu lagu itu, aku
benar-benar tak bisa menahan diri untuk turut meneriakkan keluh-kesahku, dari
hati.
Dan
setelahnya, aku harus bersusah payah untuk menikmati konser hingga selesai.
Kini,
sungguh, aku tak menyesali apa yang terjadi malam itu. Sebagaimana biasa, aku
selalu senang bertemu dengan orang baru yang mampu membuatku terkesan, meski
hanya sesaat, termasuk bertemu sosok seperti dia: gadis cantik yang dalam
sekejap mampu memberikan semangat hidup yang tak terkira padaku, hingga aku bisa merasakan
nikmatnya menjadi seorang lelaki. Kalau ada masalah setelahnya, aku saja yang
salah, yang terlalu mudah merasa dan suka memendam.
Demi
kesan-kesan indah di malam itu, jika saja aku bisa melenyapkan bagian-bagian kenangan
di dalam memoriku, maka aku tak akan menghapus tentang gambaran dirinya. Itu
terlalu menguntungkan bagiku. Tapi jika itu mungkin, aku hanya ingin menghapus namanya
dalam ingatanku. Nama itu terlalu membahayakan bagi ketenteraman hidupku
sebagai pemendam. Itu memberikanku jalan untuk mengenalnya secara sepihak,
hingga aku tak bisa lepas dari jerat bayang-bayangnya, tanpa ia ketahui.
Dan
malam ini, seperti yang kusesalkan, petaka atas namanya, kembali menimpaku. Sambil berbaring dan memandang kosong ke langit-langit kamarku yang hampa,
kunikmati lagi lagu Kembalilah Kasih, seakan-akan aku pernah memilikinya dan
ada kemungkinan kami bersama lagi. Hingga tak cukup lima menit, lagu beralih ke
My Facebook. Lagi dan lagi, aku menikmati lagu itu, sembari mengintip akun
facebook miliknya, dengan berbekal nama yang unik, yang tak akan kulupa sepanjang waktu:
Revita Riona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar