Ada
kehebohan di lingkungan kampus. Bukan karena tawuran antarmahasiswa, cuma
sebuah keanehan kecil: Jinggo, si anak pemalu yang sering diolok-olok atas
penampilan culunnya, tiba-tiba berubah drastis. Rambutnya tak lagi dibelah dua,
tapi ditegak-tegakkan. Celana dan bajunya pun, modis nan bermerek. Bahkan dengan
percaya diri, ia telah berani menegakkan badannya dan memandang lurus ke segala
arah.
Kehebohan
semakin menjadi-jadi saat orang tahu, Jinggo sanggup berbasa-basi dengan lagak
mencurigakan di depan seorang wanita. Padahal, sepanjang waktunya sebagai
mahasiswa, ia terkenal gugup setengah mati jika berhadapan dengan kaum hawa.
Bahkan banyak mahasiswa yang iseng menyapanya dengan panggilan Jiho, Jinggo
Homo, karena ia tampak tak bernyali dan berhasrat pada perempuan. Tapi serangkaian anggapan dan julukan itu, serasa sudah tak pantas untuknya
sekarang.
Tak
tanggung-tanggung, Jinggo tampak melakukan pendekatan pada Julia, mahasiswi
idaman warga kampus. Jika pada awalnya, para mahasiswa menilai kedekatan keduanya
cuma sebatas teman biasa, sekadar partner dalam mengerjakan tugas kuliah, maka
akhirnya, mereka harus mengaku salah tebak. Dengan mudah, mata-mata sinis mereka
bisa melihat Jinggo dan Julia pulang beriringan, makan bersama di kantin, atau
sekadar becanda-ria di segala tempat.
Hubungan
Jinggo dan Julia, tak pelak, merisaukan banyak mahasiswa, terutama mereka yang
sedari awal menyimpan harapan besar pada Julia. Kecewa bukan karena kalah saja,
tapi juga karena merasa dipermalukan. Secara kasat mata, mereka bisa memvonis kalau
Jinggo tak serasi dengan Julia. Bagaimana pun, Jinggo tak memiliki kelebihan
apa-apa, meski ia telah berusaha menutupi segala kekurangan pada dirinya
sendiri. Sedang Julia, tampak menawan sedari dulu.
Kerisaukan
warga kampus semakin tak terbendung, mengingat Julia pernah memadu kasih dengan
seorang laki tampan bernama Juan. Dan jika penampilan Jinggo dibandingkan
dengan Juan, maka perbedaannya bak langit dan bumi. Juan yang paling getol
memanggil Jinggo dengan Jiho, sungguh menawan di mata para wanita. Namun apa
mau dikata, Julia rela memutuskan hubungan dengannya, dan malah mengikatkan
diri pada Jinggo.
Bak
pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, hari demi hari, hubungan Jinggo dan Julia semakin mesra saja. Seusil apa pun para warga kampus menghujat dan
menggungjingkan hubungan keduanya, tetap saja tak berpengaruh apa-apa. Jinggo
telah berevolusi menjadi penakluk hati wanita. Ia telah menggenggam hati Julia, bahkan tampak dibuatnya semakin berbunga-bunga. Hingga orang-orang pun berani
bertaruh, kalau Julia mungkin lebih tersakiti jika saja keduanya terpisahkan.
Dan
sampailah waktunya, Jinggo handak mengulik isi hati Julia atas hubungan mereka,
setelah baru sehari lalu, mereka resmi mengikrarkan diri sebagai pasangan
kekasih. “Apa kau tak risih menyaksikan orang-orang terus membicarakan hubungan
kita?” selidik Jinggo, dengan kegugupan yang sampai kini, belum sepenuhnya
berhasil ia redam. Ia bertanya tanpa sekali pun memandang mata Julia lebih dari
sedetik.
Julia
pun menoleh pada Jinggo yang duduk tepat di depannya. Mereka hanya dipisahkan
sebuah meja kantin. “Kalau yang kau maksud adalah omongan orang-orang kalau
kita tak serasi, itu tak masalah bagiku. Itu kan penilaian mereka. Yang pasti,
hubungan ini, adalah urusan kita berdua. Kalau kita sama-sama senang, tak ada
urusan dengan mereka.”
Jinggo
sedikit tergugah dengan penuturan Julia. “Apa kau benar-benar serius dengan
hubungan kita?”
“Iya,”
tegas Julia. Matanya membeliak. Jelas ia heran mendengar Jinggo meragukan kesungguhannya. “Kau sendiri
bagaimana?”
Dengan kekakuan yang sangat, Jinggo pun menuturkan kadar perasaannya sedari dulu. “Maafkan aku. Mungkin benar kata orang-orang kalau aku tak pantas untukmu. Meski pun kau mengingkari anggapan mereka, kurasa itu belum cukup untuk kelangsungan hubungan kita,” katanya, kemudian terdiam sejenak, menelan ludahnya yang tiba-tiba tertahan di tenggorokan.
“Maksudmu?”
Julia bertanya seketika.
Jinggo
menatap mata Julia sejenak. Ia hendak memastikan kalau gadis itu telah siap
menerima ungkapan perasaannya. Sebuah kejujuran yang mungkin menyakitkan. “Jujur, kurasa, hatiku tak tertuju padamu. Aku
tak bisa pura-pura untuk terus menyenangkan hatimu setiap waktu. Aku tak ingin mempertahankan
hubungan kita dalam kemunafikanku. Aku ingin tentang kita, cukup sampai di sini
saja.”
Julia
tertunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang tawar; tidak sedih ataupun gembira. Ia
melewatkan beberapa detik untuk mengonsepkan balasan yang pantas untuk Jinggo.
“Kalau itu maumu, aku tak apa-apa. Kau tahu sendiri, perasaan memang tak bisa
dipaksakan. Aku hanya berharap, kau tetap menganggapku sebagai teman baik
setelah ini.”
Mendengar
balasan Julia, Jinggo pun terheran. Ia tak menyangka kalau Julia begitu legowo
menerima keputusannya. Tapi semua telah diputuskan. “Kita akan tetap berteman,”
katanya. “Terima kasih kau telah memahamiku.”
Tak
berselang lama, Jinggo pun pergi, tanpa membawa suka-duka yang berlebihan. Dalam
hatinya, terbersit satu kemenangan, sebab ia telah berhasil menjadi kekasih
Julia, meski sekarang tidak lagi. Setidaknya, ia telah membuktikan pada
orang-orang, terutama pada Juan, kalau ia adalah lelaki yang tak pantas
dipandang sebelah mata.
Sedangkan
Julia, terus memandang Jinggo pergi dengan perasaan yang juga biasa saja. Ia
tak sedikit pun merasa terluka atas akhir hubungannya yang singkat. Bahkan di
sisi hatinya yang terdalam, mencuat rasa iba dan haru melihat keadaan Jinggo,
kini. Itu karena ia tahu kalau atas hubungannya yang telah berakhir, Jinggo
hanyalah korban indimidasi Juan, mantan kekasihnya sendiri.
Dan
hari-hari selanjutnya, obrolan warga kampus pun, semakin riuh. Tersiar kabar
yang lebih menghebohkan dari sebelumnya: Jinggo yang cupu, memutuskan hubungan dengan wanita idaman warga kampus, Julia.
Atas kehebohan itu, Julia merasa berhasil membuat Jinggo terpandang di mata
orang-orang, sekaligus membuat Juan kalah untuk kedua kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar