Hari
ini, Juhri tak ikut kondangan. Padahal yang berhajat adalah tetangganya
sendiri. Bahkan lokasi acara dengan rumahnya, cuma diselingi tiga buah rumah
dan sebuah masjid. Tapi sebagaimana ketetapannya sedari awal, ia tak akan melangkahkan
kaki ke sana. Banyak hal yang ia takutkan, terutama omongan miring orang-orang
kala ia muncul di kerumunan warga.
Tak
hadir kondangan, tak lantas membuat Juhri aman. Seperti biasa, ia tahu,
anaknya, Karim, akan merengut dan memaksanya turut. Juhri tahu pasti, kalau
Karim, seorang anak laki-laki yang manja, tak akan senang menghadiri acara
tanpa dirinya. Seperti dulu, anak kelas II SD itu akan hadir di satu acara
dengan tujuan utama: menyombongkan dan mengelu-elukan sang ayah saat
berceramah, di antara teman-teman sepermainannya.
Demi
mengantisipasi sikap Karim, jelas saja, Juhri telah mempersiapkan sejumlah
alasan. Bakal alasannya, klasik. Ia akan pura-pura tak enak badan dengan segala
macam komplikasi penyakit, hingga sang anak iba dan tak memaksa lagi. Berbohong
pada anaknya sendiri, rela ia lakukan sekali ini saja, ketimbang harus setengah
mati menegakkan harga diri di tengah kerumunan warga.
Dan
sebagaimana biasanya, setiap kali ada hajatan, anak-anak sekolah di desa akan
dipulangkan sebelum waktunya, sebab guru-guru juga butuh waktu untuk
mempersiapkan diri menuju acara. Semua
ingin hadir di pesta dengan penampilan terbaik. Maka, saat masih jam 10
siang, Karim pun tiba di rumah dengan riang-gembira. Cekatan, ia bergegas
mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian pesta yang pantas.
Setelah
merasa siap, Karim pun menghadap kepada ayahnya. “Aku sudah siap ke pesta, Ayah!”
serunya, sambil memamerkan penampilannya pada sang ayah yang tengah
berselonjoran di atas sofa. Dan setelah menyaksikan penampilan ayahnya yang
biasa saja, ia mulai menaruh curiga. “Ayah tak pergi ke pesta pernikahan?”
Sambil
melepas batuk yang dibuat-buat, Juhri pun memelas. “Hari ini, aku merasa tak
enak badan, Nak. Badanku panas dingin. Aku sakit kepala dan sempoyongan. Sepertinya,
aku tak bisa hadir, Nak.”
Karim pun jadi bersungut-sungut. “Ayah…,” keluhnya, bermaksud membuat sang ayah iba.
“Kalau tidak sama Ayah, aku pergi dengan siapa? Ibu kan ke kampung, dan tak
tahu kapan pulangnya.”
Juhri
lalu bangun dari pembaringan. Ia kemudian merangkul dan mengusap-usap rambut
anak semata wayangnya. “Maafkan aku, Nak. Tapi kali ini, aku benar-benar
tak bisa.”
Raut
wajah Karim, semakin muram. Ia seakan tak terima dengan keputusan ayahnya,
meski dengan alasan apa pun.
“Kau
pergi sendiri saja, Nak. Kan acaranya cuma di seberang rumah. Kau hanya perlu
berjalan kaki beberapa detik, lalu sampai,” pesan Juhri, terkesan memohon.
“Aku
ingin pergi kalau sama Ayah! Aku malu jika harus pergi sendiri! Aku takut
teman-teman sekolah akan memandang rendah padaku,” bantah Karim. Jelas saja ia
masih ingat rasanya hadir di pesta dengan tamu terhormat.
Mendengar
keluh-kesah anaknya, Juhri kembari teringat di hari-hari kemarin, saat ia masih
berstatus sebagai tokoh agama, sebagai seorang imam desa. Di masa itu, dengan berwibawa,
ia sering berceramah di acara pernikahan warga desa, dengan pesan utama:
menjaga keluarga dari perbuatan tercela.
“Apa
Ayah tak dipanggil untuk berpidato lagi?” tanya Karim yang masih belum
mengetahui status sang ayah di struktur pejabat desa dan di mata masyarakat.
“Yang
ceramah nanti, bukan aku, Nak. Yang punya hajatan memanggil penceramah dari
luar,” tutur Karim. “Pergilah, Nak. Kali ini, Ayah tak bisa menemanimu.”
Tanpa senyuman dan kata-kata lagi, Karim pun melangkahkan kaki dengan berat. Ia pergi ke pesta tanpa
tahu kalau Ayahnya hanya pura-pura sakit. Ia pergi tanpa tahu kalau ayahnya telah
mengundurkan diri sebagai imam desa. Dan ia juga tak akan sampai tahu kalau
pengunduran diri ayahnya itu, berhubungan dengan kepergian ibunya. Yang
sesungguhnya terjadi, ibunya tidaklah sekadar pulang kampung, tetapi juga
menghindari hujatan warga desa, setelah ia ketahuan menggelapkan dana pembinaan keagamaan desa untuk kepentingannya sendiri.
“Nak,
kalau warga desa tanya tentang aku, bilang saja kalau aku sedang sakit,” pesan
Juhri, seakan butuh meyakinkan sang anak atas alasan yang sedari tadi
diungkapkannya.
Karim
menggangguk pelan sambil berungut-sungut, kemudian meneruskan langkahnya, pergi ke pesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar