Segalanya
telah dilakukan Jumadi untuk merebut hati istinya. Meski raga sang istri masih
dalam pelukannya, tapi rasa dan pikiran wanita itu, melayang entah ke mana.
Padahal, ia telah memberikan perhatian dan pengorbanan semaksimal yang ia bisa.
Bahkan tak terhitung lagi berapa banyak harta-benda yang ia relakan untuk itu.
Tapi tetap saja, sang istri, tak bisa berpaling kepadanya.
Jumadi
benar-benar kehabisan akal. Ia tak tahu lagi, bagaimana meluluhkan hati istrinya
yang membatu. Padahal, sang istri dahulu cuma anak nelayan miskin yang
seharusnya mudah luluh atas segala macam kenikmatan dunia. Apalagi, banyak
sudah perubahan yang dialami Jumilah setelah menikah dengannya. Tidak sekadar
hidup dalam kemewahan, utang-utang keluarganya pun, telah diimpaskan oleh
Jumadi.
Kalau
begitu keadaannya, Jumadi akan kembali teringat pada sosok Landi, pemuda miskin
yang selama bertahun-tahun menjadi buruh di kapal penangkap ikan miliknya, demi
mencari uang pelunas utang. Pemuda yang datang dari pulau seberang itulah yang
selama waktu berlalu, menaksir Jumilah, gadis desa yang cantik jelita. Dan sial
bagi Jumadi, sebab Jumilah juga tergila-gila pada lelaki yang belaku santun dan
lugu itu.
Bukti
bahwa Landi menjadi dalang dari serongnya hati Jumilah, tampak dari sikap
Jumilah sendiri. Sering kali, setiap sore, ia akan menghabiskan waktunya di
tepi pantai, dengan hanya memandang tepian yang jauh di ujung timur. Ia tampak
seperti menunggu seseorang kembali melaut.
Dan
sore ini, Jumilah kembali menampakkan kecenderungan hatinya. Ia kembali
merenung di depan pantai, di atas sebuah balai-balai kecil, sambil menatap gulungan
ombak sore yang meninggi dan membiaskan lembayung senja.
“Kamu
kenapa sayang? Sejak pernikahan kita, kau tetap saja seperti ini. Apa yang
harus kulakukan untukmu?” tanya Jumadi, sesaat setelah duduk di samping
istrinya.
Jumilah
tak merespons dengan baik. Bahkan ia tak menoleh sedikit pun kepada sang suami.
“Kita
kan sudah menikah. Kau istriku, dan aku suamimu. Kita seharusnya saling
menyayangi dan saling berbagi cerita tentang masalah apa pun,” tutur Jumadi
dengan lemah lembut. “Jika ada yang salah dengan hubungan kita, katakanlah.”
Jumilah
seketika berpaling padanya. “Jadi, sampai sekarang, kau tak tahu apa yang
salah?” bentaknya, dengan tatapan yang nanar. Jelas tampak kurang sopan. “Salahnya
karena kau menikahiku, dan aku tak pernah mau menikah denganmu.”
Perasaan
Jumadi, lagi-lagi terguncang. Tapi tak mengapa baginya, sebab kata-kata semakna
itu, sudah sering didengarnya. “Apa ada lelaki lain di hatimu?” tanya Jumadi
lagi, masih dengan nada suara yang lemah lembut. “Apa karena Landi, lelaki yang
sudah mati di tengah laut itu?”
Jumilah
tak menjawab. Ia malah menampakkan kegusaran di raut wajah dan gerak-geriknya. Dan
seketika, ia pergi meninggalkan suaminya, sembari menggerutu tak jelas.
Lagi-lagi,
Jumadi merasa dipecundangi. Namun ia tak pernah kesal dan membenci istrinya karena
begitu. Itu karena ia yakin kalau hanya butuh waktu untuk meluluhkan perasaan
sang istri. Ia tahu, bahwa seiring waktu, Landi akan lenyap dari angan-angan
Jumilah.
Dan
kini, teringat lagi oleh Jumadi, sebuah kesepakatan terselubung antara ia
dengan Landi:
“Jika
kau ingin Jumilah hidup bahagia, tinggalkanlah dia untukku. Aku akan memberimu
sejumlah uang jika kau mau,” tawar Jumadi.
Landi
jelas kaget atas tawaran bosnya. Ia menggeleng. Menandakan bahwa ia tak mau
perasaannya diperjualbelikan.
“Apa
kau ingin memaksakan hidup bersama Jumilah, sedang kau tak punya bekal hidup
yang mencukupi. Kau ingin Jumilah sengsara?” tegas Jumadi. “Jika kau bersedia,
bukan hanya keluarga Jumilah yang akan hidup enak dan terbebas dari utang-utangnya,
utang-utangmu padaku sekalian, biar kuanggap lunas.”
Jelas
saja, itu bukan pilihan yang mudah bagi Landi. “Tapi bagaimana dengan Jumilah?
Aku takut dia mencariku,” keluhnya.
“Itu
masalah gampang. Besok ketika kapal pergi berlayar, kau tak usah ikut.
Pulanglah ke kampungmu. Nanti, biar aku sampaikan saja ke teman-temanmu untuk
mengabari Jumilah kalau kau jatuh dari kapal saat berada di tengah laut, lalu kau
mati dimangsa binatang buas,” tutur Jumadi.
Landi
tak menyanggah. Ia hanya terdiam. Sebuah tanda bahwa ia telah setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar