Aku
berada pada satu titik di mana aku tak suka atas perhatianmu. Tak suka kalau kau
bertanya tentang kabarku. Tak suka kalau kau memerhatikan detail wajahku. Sampai
aku tak suka kalau kau memberi kado apa pun untukku, seperti yang selalu kau lakukan di
hari ulang tahunku. Kurasa, semua itu sudah sangat berlebihan.
Mauku,
kita berteman dengan cara yang biasa saja. Cukup jika kita saling menyapa dan berbalas
senyuman. Cukup jika kita mengobrol tentang hal-hal yang penting, tanpa perlu
menyinggung persoalan pribadi. Cukup jika kita saling membantu untuk soal yang
memang tak bisa dilakukan seorang diri, tanpa harus bersusah-susah menawarkan
bantuan, apalagi memaksakannya.
Namun
kenyataannya, kepedulianmu padaku, tak juga berubah. Kau tetap memerhatikanku seperti
dulu. Sekeras apa pun aku menolak laku baikmu, sekaras itu juga kau memaksaku
menerimanya. Dan atas semua itu, sungguh aku jadi bingung harus menyikapinya
bagaimana. Mengabaikan dan meninggalkanmu karena alasan itu, juga bukan pilihan
yang tepat.
Akhirnya,
aku pasrah. Kubiarkan saja kau melakukan apa pun terhadapku, tanpa ada
sedikitpun niatku meminta. Kusederhanakan saja persoalan di antara kita, bahwa kepedulianmu
adalah urusanmu sendiri, dan pembalasanku atas itu adalah urusanku sendiri. Dan
untuk itu, aku mulai memaksakan diri menerima pemberianmu, tanpa memberikan balasan
apa pun, walau sekadar terima kasih.
Sikap
cuekku padamu, tak mengartikan bahwa aku ingin kau pergi meninggalkanmu, dan kita
saling membenci. Mauku sederhana saja, bahwa kau berhenti memerhatikanku
secara berlebihan, sehingga aku tak mengharapkanmu secara berlebihan pula.
Mauku, kau berhenti menumbuhkan kekaguman dan kesan yang indah dalam hatiku, di
saat kau hanya bisa menggantungkan perasaanku.
Seiring
waktu, dalam hubungan kita yang begitu-begitu saja, aku pun sadar bahwa segalanya
tak mungkin bisa dipaksakan. Aku sadar bahwa segala bentuk perlakuanmu padaku,
memang hanya atas nama persahabatan. Aku sadar kalau tentang dilema yang
kurasakan, adalah kesalahanku sendiri. Akulah yang terlalu berharap padamu, dan
kau tak bisa disalahkan karena itu.
Demi
meredam rasa kagumku yang semakin menjadi-jadi padamu, kuputuskanlah untuk
mendekati seorang lelaki yang kutahu jelas, juga mengharapkanku sedari dulu. Setidaknya
dengan begitu, aku tak lagi menghabiskan banyak waktu dan mengukir kenangan
bersamamu. Atau paling tidak, itu akan memicu rasa cemburumu, hingga aku tahu
maksud hatimu yang sesungguhnya.
“Din, kau tampak ceria hari ini. Ada apa? Bukankah belakangan ini kau lebih suka
menyendiri dan menyimpan masalahmu sendiri dariku?” tanyamu dengan raut wajah
yang antusias, seakan siap melakoni obrolan panjang di kantin kampus, seperti
biasa.
Melihat
sikapmu, aku pun jadi tertarik untuk memulai sebuah penelusuran terselubung. Maka
kuarahkanlah perbincangan kita pada persoalan yang selama ini kuanggap
sensitif. “Ya, siapa yang tidak senang kalau perasaan pada lelaki pujaan,
bersambut mulus?” balasku, sembari berharap kau menampakkan raut kecewa.
Dan
entah bagaimana, kau malah tampak semringah. “Selamat. Akhirnya, harapanku
terwujud juga. Siapa lelaki yang kau maksud?”
Menyaksikan
responsmu, sungguh membuatku semakin tak paham dengan arah perasaanmu. “Adalah.
Biar aku rahasiakan dulu. Yang pasti, dia lebih gagah darimu.”
Kau
malah tergelak. “Iya, terserah kau saja. Yang pasti, aku juga tak berharap kau
menjadikanku tolok ukur perbandingan tentang kegagahan.”
Aku
semakin heran melihat sikapmu. “Kau sendiri bagaimana? Apa kau tak berencana
melakukan hal serupa?” sentilku.
Kau
terdiam sejenak, lalu memampang raut wajah yang tak bisa kutafsir maknanya.
“Kurasa, aku pernah bercerita tentang masa laluku padamu?" katanya. "Ya, aku sendiri
tak tahu kenapa aku masih tak ingin menambatkan hatiku pada seorang wanita.
Untuk waktu sekarang, aku hanya bisa menganggap semua perempuan sebagai teman.
Aku tak berhasrat lebih dari itu.”
Aku
mengangguk saja. Paham jika yang kau maksud itu adalah kisah tragismu di masa
lalu. Kisah saat kau ditinggal pergi seorang perempuan tanpa alasan yang jelas,
hanya karena dia menganggapmu tak senormal lelaki biasannya. Dan karena soal
itu juga, aku bingung harus memberikan nasihat bagaimana padamu. Aku takut
membuatmu tersinggung.
“Kau
tahu, Din, sepertinya, jiwa perempuanlah yang terperangkat dalam ragaku,”
katamu, dengan nada suara yang rendah.
Jelas
saja, aku tersentak mendengar penuturanmu. Sebuah hal yang kini kuyakini,
menjadi alasan utamamu hingga tak pernah mengungkapkan perasaan padaku, atau
pada perempuan yang lain.
Tiba-tiba,
lelaki yang kumaksud, datang menghampiri kita.
Sorot
matamu akhirnya beralih padanya. Raut wajahmu seketika berubah suram. Bahkan
untuk melayangkan senyuman dari bibirmu yang lembap, kau tampak sangat kaku.
Bisamu hanya menyengir dengan tatapan yang tajam, tanpa berkedip.
“Dini,
aku pamit dulu. Aku ada persoalan penting,” katamu, sambari menoleh pada jam
tangan yang kau kenakan.
Kau
pun pergi, tanpa senyuman perpisahan seperti biasanya.
Aku
mengangguk saja. Tak kuasa berucap apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar