Sengaja kubuat raut wajahku berdusta.
Setiap pujian selalu kusikapi dengan dingin. Kukatakan kalau aku hanya orang
biasa yang punya cela, meski dalam hatiku sangat merasa tersanjung. Kupikir
jika menyombongkan kesempurnaan, yang ada malah dihinakan nantinya.
Aku terus saja merendahkan diriku, tampil
sesederhana mungkin, meskipun aku sebenarnya mendambakan pujian yang lebih dari
sikapku itu. Dan berkatalah mereka kalau aku tampan, cerdas, dan menyenangkan.
Semua pujian semakin meninggikan nilai pribadiku, hingga tak sulit bagiku
menaklukkan wanita pujaan lelaki di kampusku, termasuk juga Rani.
Aku seperti ditakdirkan memilih sendiri
pendamping hidupku. Termasuk juga, aku bebas menolak tawaran perasaan seorang
wanita kepadaku. Rima, teman dekatku di kampus, wanita yang cerdas dengan paras
yang kurang menarik, pernah kutolak cintanya. Meski begitu, ia tetap mengulang
pernyataannya untuk mengetuk pintu hatiku.
Suatu hari, Rima bertanya padaku untuk ke
sekian kalinya, “Za, mungkin tidak, kau mencoba untuk menerima aku apa
adanya?"
Aku benci mendengar pertanyaannya itu.
Ingin aku membuatnya yakin jika aku benar-benar tak punya sedikit pun rasa
padanya. Maka kukatakanlah dengan nada tinggi, “Kau sadar tidak sih! Aku tidak
akan tertarik kepada orang jelek sepertimu!"
Setelah itu, dia tidak pernah lagi
mengungkapkan perasaannya kepadaku. Ia mulai sadar diri, meski ia tak sedikit
pun merasa cangung kepadaku. Dan aku berharap ia tak tersakiti karenaku, serta
bisa memperlakukan aku sebagai teman baiknya saja, selamanya.
Hingga akhirnya, aku pun tertarik kepada
seorang mahasiswi cantik. Namanya Rani. Ia mahasiswi pindahan beberapa dari
kota seberang. Dia seakan menjadi idola mahasiswa di kampusku. Dia memang
menarik dan sangat ramah kepada siapa pun, termasuk aku. Poninya, mata sipitnya,
lesung pipinya, bahkan cara bertuturnya, sungguh memesona.
Sampai suatu hari, tanpa kuduga, ia
menemuiku dan bertanya mengenai tugas kuliahnya. Aku pun merasa tersanjung,
sekaligus deg-degan. Tapi aku berusaha menyikapi tingkahnya secara wajar, sebab
ia memang tampak dodoh, sehingga perlu menanyai mahasiswa cerdas sepertiku. Dan
kukira, ia akan beruntung jika mendapatkan cintaku.
Hari berganti, dia semakin sering
mendatangiku. Aku jadi besar kepala. Mungkinkah dia menyukaiku? Jika itu nyata,
pasti banyak laki-laki yang akan cemburu. Entah sudah berapa tawaran cinta dari
laki-laki untuknya, tapi sama sekali ia tak menggubris. Sedang untukku, ia
malah mendekat sendiri. Dan kutaksir, ia ingin menjadi pemenang di antara wanita
yang ingin mendapatkan perhatianku, sebagaimana aku ingin menjadi pemenang di
antara lelaki yang ingin mendapatkan perhatiannya.
Waktu terus bergulir. Pada sore hari, aku
sengaja menyendiri di taman kampus selepas kuliah. Keadaan itu biasanya
mengantarkan si cantik di sampingku. Tepat jam 4, ia pun datang
menghampiriku. Setelah menyodorkan sekaleng minuman, ia lalu melayangkan satu
senyuman manis. Dan seperti biasa, aku pun menanyakan soal tugas kuliah apa
lagi yang hendak ia tanyakan.
Tapi tiba-tiba, ia menyergah, “Tidakkah
kau berpikir apa alasanku sering mendatangimu?”
Aku yakin jawabannya karena ia
menyukaiku. Sejak tiga bulan mengenalnya, pertanyaan ini yang selalu
kunantikan. Apalagi, aku sangat kesulitan menyatakan perasaan lebih dulu. Namun
seperti biasa, aku mencoba terlihat abai. “Ada tugas lagi, kan?”
“Sudahlah, kali ini aku benar-benar bukan
soal tugas. Kali ini, aku ingin...," kata-katanya tersendat, dengan mata
berkaca-kaca yang menatapku begitu dalam. "Aku ingin bilang..., aku suka
padamu!”
Sontak, aku merasa terkejut. Senarsisnya
aku, sungguh tak kusangka kalau perkiraanku memanglah benar. Seketika, aku jadi
gugup. Namun tetap kuupayakan juga untuk membalas sewajarnya, “Sebenarnya, aku
juga suka padamu sejak kemarin-kemarin," tuturku, sembari menguatkan diri
untuk beradu tatapan. "Aku mencintaimu sejak pertama kali berjumpa!"
Ia pun tampak terkesima. Ia lalu tertunduk, tersipu malu.
Beberapa waktu berselang, kami hanya
saling mendiamkan. Seperi sama-sama belum yakin kalau kami telah melalui
tahapan tersulit dalam menjalin hubungan.
Kemudian, sepanjang waktu setelahnya, aku
pun menjalani hari-hari yang penuh kebahagiaan. Dia yang begitu berharga
bagiku, menjadi pengiring jalanku. Pulang-pergi kuliah, kami selalu bersama,
layaknya raja dan ratu. Dan tak bisa dimungkiri, bertebaran mata-mata insan
yang menatap kami dengan perasaan cemburu.
Sampai akhirnya, waktu mengubah keadaan
begitu cepat. Setelah tiga bulan kebersamaan kami, ia lenyap entah ke mana.
Sedang aku di sini, masih terus memimpikan dan mengkhayalkannya saja. Aku rindu
pada raut wajahnya yang ceria. Aku rindu kala ia bertingkah aneh hanya untuk
memancing senyuman dan tawaku. Dan karena itu, aku terus mencarinya, meski ia
mungkin tak melakukan hal yang sama untukku.
Kejadian sebulan lalu memang mengubah
segalanya, termasuk sikapnya padaku. Kecelakaan telah merenggut ketampananku,
yang sedari dulu kuandalkan dan kubangga-banggakan pada khalayak. Ada bekas
luka yang melebar di pelipis kananku, sampai menyasar sisi kelopak mata dan alisku,
hingga membuatku jadi tampak menyeramkan.
Dan hari demi aku, aku pun kehilangan
pujian dan penghargaan dari orang-orang, termasuk dari seseorang yang telah
bersepakat untuk menjadi kekasihku. Hingga kusaksikanlah dengan mata kepalaku
sendiri, kala ia bergandengan tangan dengan lelaki lain saat aku masih harus
berjibaku untuk menerima keadaan diriku sendiri.
Segalanya telah berubah. Kini, sepanjang
waktu hanya menghadirkan siksaan batin bagiku. Aku malu atas diriku sendiri.
Aku tak kuasa lagi beradu tatap dengan orang lain dan lebih keseringan
menunduk. Aku ingin sembunyi dari mata orang-orang yang senantiasa menilai
fisik. Maka selepas kuliah, aku pun bergegas pulang, kemudian menepi di dalam
kamar, seorang diri, bersama luka-luka pada segenap diriku.
Dalam kondisi yang memilukan, sungguh,
aku membutuhkan kehadiran seorang teman. Aku ingin membagikan keluh-kesah hati
yang akan membuatku merasa tak sendiri menanggung beban hidup. Dan kupikir, aku
akan merasa berarti jikalau ada seorang saja yang sudi menjadi temanku. Tapi
entah pada siapa pula aku harus berharap. Selama ini, aku memang tak pernah
berteman baik dengan siapa pun, sebab aku terlalu percaya diri untuk mejalani
hidup tanpa mengandalkan siapa-siapa.
Aku pun menyerah pada keadaan. Jika tak
ada lagi orang yang peduli pada kehidupanku, maka tak ada pula yang akan peduli
pada kematianku. Aku punya hak atas diriku sendiri, sebab tak ada lagi orang
yang merasa berhak memiliki diriku. Maka, aku pun memutuskan untuk menyambut
kematian dan mengakhiri penderitaanku. Aku berhasrat pergi untuk selamanya,
tanpa memberi kesempatan kepada dia, Rani, untuk meminta maaf atas perlakuannya
padaku.
“Reza, Apa yang kamu lakukan?” seru
seseorang dari arah belakangku. Dari suaranya, seketika, aku mengenalnya: Rima.
Perlahan aku menoleh padanya, “Untuk apa
kau datang?" tanyaku, lalu mengalihkan pandangan ke arah bawah, pada
deretan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya.
Ia terdengar melepas menangis. "Aku
mohon, jangan lakukan tindakan bodoh, Za!"
Aku bergeming. "Kau tak akan bisa
membayangkan rasanya dihina dan dicampakkan seperti aku. Tak akan,"
kataku, sambil tetap berdiri di tepi sebuah bangunan bertingkat.
"Pulanglah! Nasihatmu tak akan membuat takadku surut!”
Isakannya terdengar semakin menjadi-jadi.
“Pernahkah sejenak kau membayangkan perasaanku yang kau campakkan?"
suaranya yang lirih, tertahan sejenak, kamudian melanjutkan, "Kau telah
menghancurkan perasaanku secara hina, tapi aku bisa menerima keadaan diriku
sendiri, bahwa kau memang tak bisa mencintaiku. Lalu, Jika aku bisa bertahan,
kenapa kau tidak?”
Seketika, aku teringat pada perlakuanku
kepadanya dahulu. Dan perlahan, aku sadar telah melukai perasaannya,
sebagaimana Rani melukai perasaanku. Lalu dengan hati yang meriut kecil, aku
pun tertunduk malu pada diriku sendiri. "Sudahlah..." Aku mencoba
mengelak lagi.
Detak langkahnya terdengar menghampiriku.
“Za, hidup memang tak selalu seperti yang kita mau. Begitu pula cinta, yang
bukan berarti memiliki," katanya, yang tampak berdiri di serong sisi
kananku. "Aku mencintaimu, tapi pasrah untuk tidak memilikimu. Itu karena
aku memahami bahwa cinta tak melekat pada perkara fisik. Cinta itu abadi, meski
yang dicinta telah mati atau lenyap dimakan waktu."
Aku jadi tersetuh mendengar perkataannya.
Sepintas, kulirik wajahnya penuh keseganan.
"Kau tak benar-benar sendiri, Za.
Masih ada aku, seseorang yang masih mencintaimu seperti dulu," katanya
lagi, lalu mendekat ke sisiku. "Maafkan aku yang tak bisa berubah.”
Perlahan kemudian, kujejakkan kakiku
beberapa langkah ke belakang. Lalu, kuarahkanlah sisi badanku kepadanya.
Kudekati ia, sebagaimana ia mendekatku. Dan, seketika, kami berhadapan di jarak terdekat. “Maafkanlah aku!" kataku, menyesal
sedalam-dalamnya. "Ajarilah aku bagaimana cara mencintaimu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar