Selasa, 02 Februari 2016

Nama Pena

Sebelumnya, aku tak punya pengalaman menulis cerita pendek. Terpaksa saja, karena perasaanku pada seseorang, tentang kami, yang masih sekadar harapan. Demi melindungi harga diri, kupikir, tak ada pelampiasan paling aman selain menyiratkan perasaan dalam cerita fiksi dan frasa bermajas. Bisa ditafsirkan sesuai kepentingan. Jika seseorang ataupun dia mengetahui benar bahwa aku sedang bercerita tentang perasaanku sendiri, maka dengan mudah aku mengelak dengan penafsiran berbeda.

Ambiguitas kata dan cerita memang bisa membuat maksud meleset dari sasaran. Tapi itu lebih baik daripada diam tanpa kata. Setidaknya aku telah mengungkapkannya lewat tulisan, walau hanya aku yang mengerti, sedangkan dia tak tahu atau malah menafsirkannya secara melenceng. Bisa juga karena ketidakjelasan itu, dia jadi bertanya-tanya, lalu memberikan tanda-tanda yang kudambakan. Mengirimkanku pesan serupa kode morse, kubaca, lalu kuambil langkah yang tepat. Di situlah kesempatan terbaikku untuk menjelaskan satu arti kepadanya, sejujur-jujurnya.

Tentang tokoh cerita cerpen itu, kupikir, lelaki pecundang sepertiku tak layak menjadi pemenang, walaupun itu dalam cerita fiksi sekalipun. Karena itu, cerita gubahanku seminggu lalu, bukan berkisah tentang diriku, tetapi tentang perempuan yang kumaksud, teman dekatku, Reni. Penulisannya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dialah yang menjadi tokoh utama ceritaku. Tak terlalu sulit menuliskannya. Bahan ceritanya sudah ada. Apalagi dia sering menjadikanku tong untuk menampung sampah-sampah hidupnya, termasuk cerita tentang persoalan asmaranya. Agar tak kentara, aku tak akan membuatnya sepolos diary. Kubuat alur yang apik dan mencengangkan. Intinya, dipelintir sedikit agar saat membacanya, ia tak menyadari itu tentang dirinya.

Cerita nyata tentang Reni sebenarnya biasa saja. Kalau sering-sering menyaksikan FTV, pasti ada episode yang mirip dengan ceritanya itu. Intinya, si A menyukai si B. Tapi sialnya, si B malah menyukai si C yang nota bene menyukainya juga. Kalau dari curhatan Reni, seseimpel itulah jalan ceritanya. Kini, dia terlihat berkabung setelah pujaan hatinya dekat wanita lain. Dua sejoli yang membuat Reni cemburu itu adalah teman sekantor kami di penerbitan majalah remaja. Namanya Arif dan Sophia. Aku akrab dengan Arif, sedangkan Sophia adalah teman “sepermainan” Reni. Nahas memang.

Demi mengaburkan kenyataan dalam cerita pendek gubahanku, tentu aku tak akan menulis cerita Reni sesederhana itu. Jadi aku putuskan untuk memberi sedikit bumbu. Kuimajinasikan, ceritanya akan semakin menarik jika B (Arif) ternyata sebenarnya menyukai A (Reni). B hanya mendekati si C (Sophia) untuk membuat A cemburu. Lama-kelamaan, A pun tahu kalau itu hanya taktik B. Tapi karena C adalah teman baik A, ia memilih menghindar dan membiarkan mereka bersama. Begitulah ceritanya. Dalam cerita itu, aku tak menyebutkan nama tokoh.

“Adit, ini cerpen untuk terbitan minggu ini. Sebagai ilustrator, buat gambar yang tepat. Karena itu, kau harus membacanya terlebih dahulu. Hayatilah ceritanya baik-baik,” perintah Reni kepadaku. Ia bertindak sebagai redaktur rubrik fiksi. Tentu saja aku tak perlu membacanya. Dia benar-benar tak tahu kalau itu adalah cerpen karanganku sendiri. 

Lakon Inisial Pesandiwara Hati. Dari banyak cerpen yang masuk di e-mail, kau pilih ini? Ceritanya memang menarik? Judulnya saja tak menarik,” balasku, pura-pura tak tahu.

“Kalau menurutku sih menarik. Cocok untuk pangsa pasar majalah kita. Ya, biasalah, masalah cinta bersegi-segi. Entah hanya akukah, tapi kurasa setiap orang akan merasa terlibat dalam cerita itu setelah membacanya. Siapa sih yang tak pernah mengalami cinta bersegi-segi? Kau pasti setuju denganku. Tapi sudahlah, kau baca saja dulu!” pungkasnya, lalu pergi dengan senyumannya yang begitu membekas di benakku.

Akhirnya, dua hari lagi, cerpen gubahanku dengan nama pena Sudiran Raja, akan diterbitkan. Tak kusangka, ternyata aku punya bakat menulis cerpen. Setidaknya, telah diakui redaktur yang sok perfect itu, si Reni. Entahlah. Bisa jadi dia memilih cerpenku karena karapuhannya saja. Kuduga ia merasa hanyut dalam cerita cerpenku. Yang pasti, aku benar-benar merasa menang.

Seperti biasanya, kala penat menjalani rutinitas, Reni akan datang ke desk-ku dan meminta untuk ditemani bersantai di sebuah kafe. Sebagai junior, aku terpaksa harus hormat padanya, yang lebih senior. Walau bisa kupastikan, ia hanya akan mengkritisi dan memberi masukan macam-macam untuk ilustrasi cerpen yang kubuat. Dia memang suka mengomentari lukisanku. Padahal, untuk membuat garis linear saja, dia tak mampu. Sebaliknya, aku sama sekali tak berhasrat mengomentari seleranya terhadap cerita fiksi.

“Ilustrasi untuk cerpen tadi sudah kau buat?” tanyanya, terlihat santai.

“Belum,” jawabku singkat. Kuduga ia akan mengaduh dan menggerutu.

“Oh, tak mengapa. Buat sebaik-baiknya. Aku tak ingin mengatur-aturmu kali ini. Aku percayakan padamu. Sebelumnya, kau sudah baca cerpennya kan?

Aku tak menduga responsnya berbeda dari biasanya. Tampak lebih jinak dan anggun. “Sudah.” Matanya memandangiku lamat-lamat. Seperti berharap aku mengeluarkan komentar yang panjang lebar. “Dan, biasa saja menurutku.”

Kupikir, dia pasti menggerutu dalam hatinya: Woi, bagaimana mungkin kau tak merasakan cerita itu menyinggungku? Aku kan sering curhat padamu? Tapi, aku bukan lelaki yang sok pengertian lewat kata-kata.

“Aduh! Kepekaanmu memang cetek,” tuturnya sambil berdecak dan menggeleng-gelengkan kepala. Hening beberapa menit. Sampai akhirnya ia mengeluarkan pernyataan yang tak kusangka sebelumnya. “Karena kau lelaki batu, jadinya kau tak pernah merasa kalau Sophia selama ini menaksirmu. Akhirnya, kini dia bersama Arif. Cerita cerpen itu seperti kisahmu kawan. Kau bak tokoh A dalam cerita itu.”

Ternyata dugaanku tentang keampuhan cerita fiksi dahulu, benar. Dia membuka kesempatan untukku mengorek informasi tentang perasaannya. “Kau juga batu, sampai tak sadar kalau Arif menaksirmu. Kaulah tokoh A dalam cerita,” balasku, sambil tertawa kecil.

“Tidak mungkin. Aku tak akan mengorbankan perasaanku hanya untuk seorang teman. Itu hanya ada di dunia fiksi. Kaulah tokoh A!” balasnya dengan nada tinggi. Wajahnya sangat serius.

“Aku juga sama sepertimu. Perasaan tak bisa ditawar-tawar, apalagi diperjualbelikan,” tuturku. “Ok, begini saja. Perhatikan. Aku adalah tokoh A. B adalah Sophia, sedangkan C adalah kekasihnya, Arif, yang temanku itu. Nah, aku kan sudah bilang aku tak akan merelakan perasaanku demi seorang teman. Buktinya, aku tak masalah dengan hubungan mereka.”

“Jadi kau tak ada niat pada Sophia? Kau teman baik dengan Arif kan? Jadi bagaimana kalau kau tetap toko A, sedangkan aku adalah tokoh B yang tak kau inginkan jika bersama si C?” sergahnya segera.

Aku terenyuh dengan kesimpulannya. Tapi aku masih terlalu enggan untuk berkata jujur. “Apa? GR! Kau yakin aku menyukaimu? Jadi kau ingin mengatakan kalau aku tak ingin kau bersama Arif, dan aku ingin kau bersamaku? Begitu?”

“Seharusnya begitu Pak Sudiran,” balasnya, tampak meledek.

Selang dua detik, aku baru sadar. Kau panggil aku apa? Aku benar-benar merasa kalang kabut. Mukaku pasti aur-auran terlihat olehnya karena rasa malu. Degub jantungku mengencang.

“Sebelumnya kau pernah menerorku dengan alamat e-mailmu itu. Aku tahu itu akunmu setelah suatu hari meminjam laptopmu. Saat itu aku hendak log in ke akun e-mailku. Setelah loading ke alamat email, aku malah masuk ke akun rahasiamu itu. Kau lupa log out kawan,” jelasnya dengan wajah semringah. Terlihat senang memojokkanku. “Ah, sudahlah Pak Sudiran, bilang saja kalau kau menyukaiku.”

Entah apa yang harus kukatakan. Tapi sudahlah. Mungkin baiknya aku diperangkap begini. Sudah waktunya aku keluar dari dunia fiksi.

“Ok. Aku akan mengaku jika aku menyukaimu. Tapi kau tak ada niat dengan Arif kan?” tuturku penuh kepasrahan saat keberanianku pulih.

Kau hanya terdiam. Menatapku dalam-dalam, kemudian tertawa lepas. “Kau sudah mengakuinya!” 

Kulihat, kau tertawa sambil terharu. Seperti sangat bahagia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar